That girl

1176 Words
Jalanan Jakarta yang kosong terbentang bagaikan permainan komputer. Langit gelap tanpa bintang dengan udara dingin menandakan hujan akan segera turun. Segala yang telah terjadi tidak sanggup dipikirkan otak saat ini. Aku harus mendapatkan kembali Read Eat. Buku-buku itu harus kembali pada rumahnya, walau jalan yang harus aku tempuh begitu terjal. Vivian, kenapa kau melakukan ini padaku. Seharusnya kau bicara padaku kalau kau sedang kesulitan keuangan. Kita cari jalan keluar yang baik. Bahkan aku tidak tahu di mana keberadaanmu sekarang. Apakah kau baik-baik saja atau tidak. Sungguh tidak apa-apa kau ambil uangku, tapi tidak dengan cara seperti ini. Bukankah kau tahu kalau Read Eat segalanya bagiku. Bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi Read Eat adalah mimpiku. Sekarang mimpi indah yang telah aku bangun sekeras yang aku bisa, hilang dalam sekejap, dan aku tidak akan memaafkan dia. Entah untuk alasan apapun. Motor ojek online yang aku tumpangi saat ini perlahan berhenti di depan rumah. Rintik hujan mulai berjatuhan bersamaan dengan suara petir menyambar saat aku turun dari motor, seraya memberi uang sesuai tagihan. Bergegas aku berlari kecil, tapi baru beberapa kali aku melangkah si Abang Ojek itu memanggilku, otomatis aku memutar tubuhku. "Helmnya, Mbak." Masih dilingkupi kebingungan aku hanya bisa melongo melihat abang ojek itu menunjuk-nunjukan jarinya padaku. Beberapa saat kemudian aku baru menyadari masih ada sesuatu yang menempel di kepalaku. Helm. Aku nyengir saat menyadari itu, lalu membuka helm dan memberikannya pada abang ojek. "Maaf Pak, kelupaan." Aku mengangguk sungkan, sementara si abang ojek hanya tersenyum maklum dan Menerima helmnya. Kebiasaan buruk saat aku sedang panik memang tidak hilang. Atau tidak akan pernah. Tepat saat aku mengunci pintu rumah, hujan turun dengan lebat. Aku menghela napas. Bersyukur aku sudah ada di dalam. *** Setelah ini aku harus memikirkan pekerjaan apa yang cocok untuk Jems. Pekerjaan yang bisa menguntungkanku, mengembalikan Read Eat padaku seutuhnya. Karena Jems sudah aku bayar mahal, jadi hasilnya harus sempurna. Aku kembali mendesah kesal saat mengingat sisa uangku. Seharusnya aku tidak menjanjikan bayaran semahal itu padanya. Tapi tidak. Jangan menyesalinya. Aku akan tuai banyak keuntungan dari semua pengorbanan ini. Mungkin dengan mandi dan membersihkan rambut ide itu akan muncul. Jadi yang aku lakukan sekarang adalah menanggalkan pakaian, masuk ke kamar mandi, dan menyalakan shower. Di bawah guyuran air yang menyirami rambutku seolah rambut ini adalah rumput, aku mencari-cari cara yang tepat. Cara yang mudah untuk dikerjakan oleh Jems. Tapi sampai aku mengoleskan conditioner lalu membasuh kembali rambutku ide itu belum muncul. Atau tidak akan pernah. Ya Tuhan bagaimana aku harus mendapatkan Read Eat dari tangan Sera. Ah b*****h itu membuat aku hilang akal. Aku menggulung handuk di atas kepala, membungkus rambutku yang basah. Lalu duduk di sofa sambil meluncur ke mesin pencarian segalanya alias Mbah google. - Cara mendapatkan barang sitaan - Bagaimana mendapatkan sertifikat tanah yang disita - Menyelesaikan perkara utang piutang Semua hasilnya adalah dengan melaporkan perkara ke pengadilan. Apa tidak ada cara lain selain ke pengadilan? Ah! Curi saja berkas-berkasnya di rumahnya. Dia pasti menyimpannya di sana. Ah tidak. Tidak. Bagaimana kalau ketahuan. Bisa-bisa aku yang di penjara. Tapi bagaimana. Apa aku mempekerjakan Jems saja. Aku mengumpat kesal saat layar ponsel menggelap lalu menyala lagi saat aku sedang melakukan pencarian di google. Panggilan masuk dari Naya. "Ya, Nay." "An, aku punya berita penting." Suara Naya terdengar antusian di seberang sana. "Berita apa?" "Wanita yang bersama Abi di Grand Indonesia tempo hari, tadi siang datang menemui Emma." Sesaat dahiku berkerut bingung. "So?" Tidak ada jawaban di sana. Aku sempat berpikir sambungan telepon sudah berakhir. Tapi ternyata sambungan masih menyala saat aku memeriksa layarnya. "Dia sakit, An." "Ya, teruuus?" tandasku kesal. "Apa urusannya denganku? Dia mau sakit, mau sehat, mau nyungsep ke jurang. Aku tidak peduli." Ku dengar Naya terkekeh di sebrang sana. Anak ini apa tidak ada kegiatan lain yang bisa dia lakukan. "Sebenarnya aku punya kode etik untuk tidak memberikan informasi tentang pasien, tapi karena kau temanku, dan aku rasa ini akan menjadi berita penting, jadi aku beri tahu saja." "Sepenting apa sih? Coba katakan. Awas kalau tidak penting." "Dia mengidap Bi.po.lar." "Apa? Dia gila?" Aku terlonjak kaget. "No no no Ana, dia bukan gila. Dia.. Punya masalah dalam pengendalian emosi saja. Tapi, itu cukup berbahaya mengingat riwayatnya bahwa dia menolak untuk di obati." "Kenapa tidak mau diobati?" "Ya, itu wajar. Artinya dia belum bisa menerima keadaannya. Dia perlu dukungan dari orang-orang terdekatnya, supaya dia bisa membuka dirinya bahwa dia memang sedang sakit mental." "Dia.. Bisa mencelakai orang?" Tanyaku hati-hati. "Mmhh.. Bisa jadi. Dia kan tidak bisa mengontrol emosinya. Dia bukan saja bisa menyakiti orang lain, tapi juga dirinya sendiri. Maka dari itu dia butuh penanganan. Dia tidak boleh melepaskan obatnya. Karena kalau tidak.." Di tengah penjelasan Naya, terdengar pintu rumahku diketuk membuatku terlonjak di tempat. Aku menyudahi panggilan telepon dan berjanji pada Naya untuk menghubunginya lagi. Lalu melangkah menuju pintu yang masih diketuk tidak sabaran. Siapa sih malam-malam begini di saat hujan berderai-derai di luar sana dengan petir yang masih mendominasi. Saat aku membuka pintu rumah, angin kencang langsung menerpa dan rasa dingin langsung menyelimuti kulit. Aku memejamkan mata ketika suara petir diikuti kilat menyambar di langit gelap. Dan saat itu juga seseorang berdiri tepat di hadapanku membuat jantungku nyaris copot. Orang itu langsung berbalik dan jantungku copot beneran. Sera? Wanita itu menyeringai padaku di tengah malam dengan hujan yang deras. "Hai," katanya lembut. Mendadak bulu-bulu di tanganku berdiri tegak. "Kau," suaraku mulai bergetar. "Kenapa kau bisa ada di sini?" "Aku hanya mampir," dia menunjuk pada mobio putih di depan sana. "Kebetulan aku lewat jalanan dekat sini. Jadi, bukan ide yang buruk kalau aku mengunjungimu sebentar." Katanya. "Boleh aku masuk?" "Tidak." Jawabku cepat dan buru-buru aku memegang gagang pintu. Entah kenapa aku menjadi takut pada wanita ini. Bagaimana jika dia melakukan hal nekat. "Kenapa?" Wajah Sera tampak kaget. "Aku tidak harus punya alasan, kan?" Kataku. "Aku punya hak untuk mengizinkan siapa saja yang boleh atau tidak, untuk masuk ke dalam rumahku." Oh Ana, seharusnya kau bisa Call down sedikit. Bagaimana kalau dia tersinggung. Naya bilang Sera bisa saja menyakiti orang lain. "Kau tidak perlu tegang seperti itu," Sera tersenyum. Tapi senyumnya menakutkan. "Oke, langsung saja kalau begitu. Aku menolak kau mendekati Jems," ucapnya. Dan aku terperangah. "Kalau kau ingin restauran mulai kembali, cari orang lain. Jangan Jems." Seluruh bulu-bulu di tubuhku seketika berdiri. Bukan, bukan karena udara dingin akibat hujan. Tapi, nada bicara Sera yang begitu kejam jelas terdengar di telingalu. Sorotan matanya juga begitu tajam memandang langsung ke mataku. Seolah ingin mengeluarkan mataku dari rongga nya. Sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, aku segera menutup pintu dengan kencang. Sehingga mengeluarkan bunyu debuman keras. Lalu menguncinya cepat-cepat. Wanita itu memang benar-benar gila. Kurasa dia bukan hanya mengidap bipolar. Tapi sudah mengalami gangguan jiwa. Ya Tuhan kuharap dia sudah pergi. Secara perlahan aku memeriksa keberadaannya di luar melalui kaca jendela dengan menyingkap sedikit gordainnya. Aku bisa melihat wanita itu menyunggingkan senyumnya, kemudian pergi dari depan pintu rumahku, masuk ke dalam mobilnya, kemudian melaju menerobos hujan deras. Apakah aku baru saja mendapat ultimatum dari wanita gila itu. Sepertinya dia mengawasi gerak-gerikku. Karena setiap aku punya rencana, dia pasti tahu. Mata-matanya pasti banyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD