Kembalinya Vivian

1049 Words
Apa yang sudah Abi sangkakan padaku telah mencoreng wajahku. Melukai hati kecilku. Aku memang tidak suka pada wanita tidak waras itu, sejak pertama kali aku bertemu. Bahkan sebelum aku mengetahui bahwa dia ibu Rey, bahwa dia adalah wanita yang sudah memporak porandakan hidupku. Tapi aku masih waras untuk tidak melakukan tindakan kriminal terhadapnya, apalagi kepada Rey. Apa untungnya untukku. "Kau pikir aku melakukan apa?" Aku mengangkat dagu ke atas, mendorong bahu Abi hingga pria itu terjungkal duduk bersimpuh di atas tanah bebatuan. "Kau pikir aku sudah mencelakai mereka? Hah? Serendah itu pikiranmu terhadapku, Bi." Aku tahu air mataku sudah menganak dan siap untuk terjun bebas. "Tapi kau ada bersama mereka." Cicitnya nyaris meragu. Seperti naik roller coaster, ada yang menyayat hatiku. Dia pikir aku ini apa. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu. "Kalau kau masih peduli dan mencintainya, silakan," kini aku sudah tak bisa membendungnya lagi. Cairan asin itu mengalir deras, menyayat hati. "Kalau kau masih ingin bersamanya, silakan. Asal kau tahu, pernyataanmu sudah sangat melukai hatiku." Aku pernah merasakan sakitnya patah hati karena di kecewakan, patah tulang saat belajar mengendarai motor. Tapi pertanyaan Abi yang baru saja dia lontarkan terhadapku lebih sakit dari ke duanya. Lebih pedih dari apapun. Pertanyaannya terhadapku sudah sangat jelas membuktikan kalau dia tidak sepenuh hati mencintaiku. Pria itu masih memiliki sisa rasa sayang terhadap Sera. Wanita yang dia gilai selama ini. Wanita yang tidak pernah membalas cintanya. Ini lebih menyedihkan dibanding aku kehilangan pernikahan impianku. Aku menarik tangan Rama yang ada di sekitar bahuku, meminta tolong padanya untuk membantuku berdiri. Peduli setan terhadap Abi. Kembali lagi, hidup benar-benar soal meninggalkan dan ditinggalkan. Kita akan mengalami salah satunya tanpa kita rencanakan. Dan aku meninggalkan Abi yang masih bersimpuh di atas tanah bebatuan dengan ekspresi wajah yang tidak bisa aku gambarkan, tanpa aku rencanakan. *** Rama membawaku ke rumah Bi Endah. Kemudian dengan panik, bi Endah membawakan ramuan beras kencur yang ditumbuk untuk dibubuhkan di kakiku yang bengkak. Sebenarnya aku khawatir bagaimana dengan keadaan Rey. Apakah dia masih hidup atau.. Ah tidak. Aku tidak mau memikirkan hal buruk lainnya. Tapi, Abi sudah cukup melukai hatiku. "Anak laki-laki dan perempuan itu sudah ditemukan, mereka langsung di bawa ke rumah sakit." Suara Adit membahana di seluruh ruangan. Bergema di telingaku, menyayat di hatiku. Aku hanya menatap Adit, lalu meringis saat kakiku mulai terasa nyut- nyutan. "Mau ke rumah sakit?" Tanya Adit sambil membawakan aku satu gelas air putih. Aku memang dehidrasi sehingga menghabiskan satu gelas besar air putih dalam satu kali tegukan. Wajahku sudah memanas kacau. "Tidak mau menyusul kekasihmu?" Masih dalam suasana yang panas, aku mendongak menyipitkan mata pada Adit. Tidak mengerti siapa yang dia maksud. Tapi selang detik berikutnya aku tahu siapa yang dimaksud oleh Adit. "He is not my boyfriend, Dit." Desisku. Adit menganggukan kepala tanda mengerti. "Tapi paling tidak, kau tidak mau melihat anak itu?" "Menurutmu, aku harus bagaimana?" Adit duduk di sampingku. Walau kami sangat jarang bertemu tapi, aku dan Adit cukup dekat. Mungkin karena jarak usia kami tidak terlampau jauh. Hanya beda satu tahun. Dia sepupu yang bisa diajak untuk diskusi meskipun dadakan. "Sebaiknya, kau ke rumah sakit, lihat anak itu. Aku tahu kalian dekat." Adit menepuk-nepuk pundakku. Aku membasahi bibir kemudian menghela napas. Aku bukannya egois. Tapi mungkin keberadaanku di sana juga tidak dibutuhkan. Jadi aku ragu apakah aku harus ke rumah sakit atau tidak. "Ana, ada yang mencarimu." Bi Endah muncul dari ruang depan. Aku berdiri dibantu Adit, lalu berjalan pincang menuju teras untuk melihat siapa yang datang mencariku. Setelah aku ada di teras rumah, aku meminta Adit untuk melepaskan aku, dan dia bisa istirahat sebentar. Aku melihat seorang wanita dengan rambut sebahu warna hitam kelam, sedang berdiri memunggungiku. Dia memakai baju rajut dengan kerah tinggi menutupi leher, dipadukan dengan rok span sebatas lutut. Nuansa warna coklat tua dan coklat muda begitu menawan, membungkus tubuh ramping itu. "Permisi, siapa?" Wanita itu memutar badannya begitu aku menyapa. Dia tersenyum jenaka ketika melihatku. Kemudian mendekat dan memeluk tubuhku. Merasa tidak nyaman, aku langsung mendorongnya. Melepaskan pelukannya. Memangnya dia siapa, seenaknya saja peluk-peluk. "Maaf, apa kita saling kenal?" Bukannya menjawab, wanita itu malah berjinjit kemudian menutup mulutnya oleh kedua tangan. "Apa perubahanku sangat signifikan?" Aku mengernyit tidak mengerti. Bicara apa sih dia. Jangan-jangan dia wanita gila yang berkeliaran di kebun teh. Tapi mana ada orang gila secantik ini. "Maaf, kau siapa? Dan ada keperluan apa?" "Astaga!" Dia menepuk keningnya. Lalu memegang kedua pundakku, dan setelah itu mendekatkan wajahnya padaku, memiringkan kepalanya ke kana ke kiri. Seperti sedang berkaca. Rasanya aku ingin menggaruk wajahnya saja. "Apa menjadi calon pengantin membuatmu hilang ingatan?" Dia menghela napas, melihat aku bergeming menatap penuh tanya padanya. "You don't know me?" Tegasnya, memajukan wajahnya sambil menunjuk wajah cantik itu oleh telunjuknya. "Really?" Dia berdiri tegak kembali "Ayolah, Ana. Ini aku. Vivi." What the-- "Vivi?!" Mataku nyaris keluar dari rongganya. Bagaimana bisa dia semenawan ini. "Vivian?" Aku nyaris jantungan. "Yes, Ana. Bagaimana aku? Cantik, kan?" Vivi. Dia benar-benar tidak waras. Bagaimana bisa dia mengubah dirinya yang tomboy menjadi seperti model iklan di tv. Cantik sekali dia. Tapi sekarang bukan itu yang penting. Apa selama ini dia membawa kabur uangku untuk operasi plastik. "Vivi," aku menggeram. "Aku berniat membunuhmu kalau sampai kau muncul di depan mataku. Sekarang aku harus melakukannya." "Sabar.. Sabar.." Vivi mengangkat kedua tangan ke atas. "Aku ke sini justru ingin menjelaskan semuanya padamu." *** "Jadi begitu An, ceritanya." Vivi menutup penjelasannya yang panjang lebar. "Im so sorry." Orang tua Vivi terlibat utang di kampung halamannya, di Palembang. Tidak tanggung-tanggung sang penagih melakukan pemukulan kepada orang tua Vivi. Maka dari itu dia nekat menggelapkan uang Read Eat. Tapi uang itu juga tidak cukup untuk membayar hutang orang tuanya. Dia diancam akan dilaporkan ke polisi kalau tidak melunasi utang piutang tersebut. Sampai pada akhirnya dia bertemu dengan si klimis, orang suruhan Sera. "Lalu, dari mana perempuan itu tahu kalau kau butuh uang?" "Aku tidak tahu, bahkan aku juga tidak tahu kalau si pemberi utang itu orang suruhan Sera." Aku mengusap wajahku kasar. "Aku sudah tidak punya apa-apa, Vi. Dan ini semua karena ulahmu." "Justru aku ke sini untuk menyelesaikan semuanya. Aku akan mengembalikan restauranmu, An." "Kau punya uang 800 juta?" Vivi menjentikan jarinya. Kemudian menyeret tas besar yang tadi dia bawa. Mengangkat tas besar yang terlihat berat itu ke atas meja. Lalu secara perlahan membuka resletingnya dan copotlah jantungku seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD