Crazy Rich

1267 Words
Kali ini Vivian memang sudah benar-benar tidak waras. Habis ngepet dari mana dia, bisa membawa uang sebanyak ini di dalam tas besar. Aku menganga tidak percaya, lalu tanpa diperintah tanganku mengusap tumpukan uang seratus ribu tersebut. Lalu mengambil satu lembar uang tersebut, membawanya ke atas dan menerawangnya. "Itu asli, Ana." Kata Vivi terdengar jengah. "Aku tidak mau kecolongan dua kali." Jawabku masih membolak-balikan uang seratus ribu itu. Setelah mengusap dan merasakan bahwa uang ini benar-benar asli, aku menaruhnya kembali ke dalam tas. "Semua orang pernah punya kesalahan, An." Ucap Vivi. "Dan aku akan menebuskan secara tunai." Aku menatap Vivi, meneliti setiap jengkal dirinya, dari ujung rambut hingga kaki. "Kau melakukan operasi plastik di mana?" Sungguh, aku masih tidak percaya dengan perubahan Vivi. Dia berubah begitu drastis. Tanpa diduga Vivi justru tertawa terbahak. Ya, fisiknya boleh berubah. Tapi, kelakuannya sepertinya sulit untuk menjadi feminin. "Aku tidak melakukan operasi apapun An," ucapnya. "Hanya perawatan biasa pada umumnya." "Bagaimana bisa kau leha-leha melakukan perawatan sementara aku di sini tersika." Aku menekan dadaku berkali-kali. "Banyak hal tak terduga yang terjadi padaku selama kau menghilang." "Namanya, Artur." Katanya tiba-tiba. Dan aku menyipitkan mata. "Dia yang menolongku selama ini. Dan, dia juga mengubah aku menjadi seperti sekarang." "Artur?" Tanyaku tidak mengerti. "Siapa orang tidak waras itu?" Vivi menyunggingkan senyumnya. Mungkin dia tersinggung. Atau mungkin tidak. Aku sudah tidak bisa lagi menerka-nerka. Karena angin Lembang yang berembus sejuk, Vivi menyibakan rambut panjang coklatnya. Aku yakin rambut panjang itu hasil dari extention. "Calon suamiku." "What?!" Suaraku melengking nyaring, dengan kedua bola mata melebar. Pernyataannya barusan adalah hal paling gila yang pernah aku dengar dari mulut Vivi. Cewek half dan bar-bar bisa-bisanya punya calon suami. *** Vivi memundurkan tubuhnya karena terkejut mendengar jeritanku yang nyaring. Tidak ketinggalan, kedua telunjuknya menutupi lubang telinganya. Aku sampai tidak habis pikir, bagaimana bisa Vivi akan menikah. Bukannya aku meremehkannya, tapi selama aku mengenal Vivi, aku tidak pernah satu kalipun melihatnya berkencan dengan seorang pria. Bahkan punya pacar saja, tidak. Lalu, dari mana dia mendapat keyakinan penuh untuk menikahi seseorang. Maksudku, ini tidak masuk diakal. Oh, ayolah dia itu tomboy sekali. Mana pernah dia membicarakan tentang cowok. "Vi, kau yakin?" Tanyaku ragu. "Maksudku, aku tidak pernah melihatmu memiliki hubungan khusus dengan seorang pria.. Jadi.. Bagaimana bisa?" Kemudian, Vivi menghela napas. Melihat dari ekspresinya, dia begitu sangat lelah kalau harus menceritakan detail yang terjadi. "Ceritanya panjang, An." Katanya. "Bisa dibilang, pernikahanku adalah sebuah bencana yang dibalut dengan sebuah anugrah." "Maksudnya?" Mataku menyipit. Wanita tomboy yang sudah berubah menjadi wanita super feminin ini, memanjangkan lehernya lalu menolah ke arah luar pekarangan rumah. Aku mengikuti gerakannya. "Kau lihat empat orang pria tinggi yang berdiri sigap di sana?" Setelah beberapa saat aku baru menyadari kalau ada empat orang pria dewasa dentan setelan jas hitam dan celana bahan hitam berdiri tegap di sana. "Mereka adalah pengawalku." "Hah?" Aku memiringkan kepala. Kejutan apalagi ini. "Calon suamiku yang memerintahkan mereka untuk mengawalku ke manapun aku pergi." Aku semakin tidak mengerti. "Kenapa?" "Takut aku menipunya, dan kabur membawa semua uangnya." "Vi, stop berkata omong kosong," ucapku jengah. "Jelaskan padaku, sebenarnya kau sedang berurusan dengan siapa?" "Oke," ucap Vivi. "Aku dibayar untuk menjadi seorang istri." "Apa?" Lolongku. "Orang tuaku terlilit utang pada reintenir, menjual rumah dan tanah di kampung saja belum cukup. Bahkan restoranmu yang aku jaminkan, hanya untuk membayar seperempatnya saja. Lalu disaat aku mulai putus asa dan mau menghilangkan nyawa dengan menceburkan ke diri di jembatan Suramadu, tiba-tiba ada pria kaya raya yang sama putus asanya denganku, ingin menikahi. " "Tapi, kenapa?" "Dia tidak mau menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Jadi, dia membayarku untuk menjadi calon istrinya, agar dia tidak menikah dengan wanita itu." "Hah? Kenapa harus kau yang dia nikahi?" Tanyaku aneh. Lalu dengan cepat membekap mulutku. Karena kutahu itu kurang ajar. "Maksudku.. Apakah itu sepadan?" "Aku sebut dia pria kaya raya yang gila." Katanya antusias. "Kau tahu tidak, wanita pilihan ibunya sempurna sekali. Tapi, dia lebih memilihku, untuk dia nikahi. Dibayar lagi. Kurang gila apa dia?" "Dia.. Normal?" Vivi menjetikan jarinya. "Dugaanku, dia memang tidak normal. Pasti dia punya 'kekasih' sejenis." Kepalaku tambah berdenyut saja mendengarnya. "Kau cinta, tidak?" Vivi berdecak, lalu menggelengkan kepalanya, sambil merogoh tasnya. Dan tak lama mengeluarkan ponselnya yang aku yakini keluaran terbaru. Karena aku tahu, ponsel lamanya seperti apa. Dia mengutak atik layar ponsel itu, lalu menunjukan layar itu tepat di depan wajahku. Mataku nyaris juling dibuatnya. "Bagaimana aku tidak sesak napas kalau bentuknya seperti ini." Dengan cepat aku merampas ponsel Vivi yang dia bentangkan di depan wajahku. Lalu memandang sebuah foto seorang pria yang menampilkan seluruh badannya. Pria itu memakai kaus polos putih dipadukan dengan celana pendek diatas lutut. Rambutnya yang pendek agak berantakan, terlihat seperti habis terkena air. Pria itu tampak sempurna melangkah dengan latar air biru pantai, menapaki pasir putih, dan langit biru yang cerah. Aku hampir tersedak melihatnya. "Kau mencuri gambar dari internet?" Pemandangan pria tadi hilang dalam sekejap dari jarak pandaku. Vivi sudah mengambil kembali ponselnya, dengan raut wajah yang kesal. "Aku yang mengambil gambarnya sendiri." Ujarnya sebal. "Waktu aku menemainya pergi ke Maldives." Sepertinya pendengaranku agak terganggu. "Apa kau bilang? Maldives?" tanyaku kembali karena merasa tidak yakin. "Ya," Vivi mengangguk. "M-a-l-d-i-v-e-s. Maldives." Dia mengejanya dengan songong. "Pantai, An, pantai." "Ngapain?" "Menikmati pantai, bersanti, dan tidak melakukan apa-apa." Jawabnya. "Dia bilang, itu adalah aktivitas orang pacaran. Agar semua percaya kalau kami ini sepasang kekasih yang dimabuk asmara." Aku mengernyit mendengar segala kekonyolan itu. "Kalian memang benar-benar sedang mabuk." Mabuk yang aku maksud di sini, adalah mabuk dalam arti yang sebenarnya. Mereka memang sedang hilang akal sehat. "Okay, jangan terlalu dipikirkan kalau kau mau masih tetap waras. Sekarang yang paling penting adalah membayar semua utang piutang kepada wanita bernama Sera." Katanya. "Astaga, bahkan aku tidak pernah melihat bagaimana wajahnya." "Dia Sera ibunya Rey, Vi." Gerakan tangan Vivi yang menutup retsleting tas besar berisi uang itu terhenti. "Apa? Ibunya siapa?" Vivi menatapku mengulang kembali pertanyaan. "Rey," "Rey?" Kedua alis Vivi bertaut. "Rey, bocah yang kau asuh, itu? Anak dari pria bernama Abi?" Aku mengangguk lemah. "Kau bilang ibunya sudah meninggal." "Wanita itu bangkit dari kubur." "Astaga!" Vivi menutup mulut oleh telapak tangannya. "Seperti Suzanna? Sundel bolong?" Aku mengusap wajah dengan kasar. "Aku harap dia benar-benar bangkit sebagai makhluk astral sehingga aku bisa mengusirnya dengan ayat-ayat Alquran yang aku bacakan. Tapi sayangnya, dia masih menjadi manusia." "Hah? Bagaimana bisa?" "Kau telah melewatkan banyak hal, Vi." Kataku. "Dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjelsakn semuanya padamu." "Baiklah," Vivi mengedikan kedua bahunya. Seolah mengerto kalau aku memang tidak ingin membahas apa-apa. "Aku ingin menyelesaikan semuanya. Tidak enak juga punya hutang milyaran." "Kalau begitu, ikut aku ke rumah sakit." Vivi menatapku dengan wajah bingung meminga penjelasan, tapi aku hanya diam saja, dan dia pun ikut mengekor di belakang. Karena aku tidak punya kendaraan pribadi, jadi aku pergi dengan mobil Vivi. Aku nyaris jantungan saat mobil Tesla terpampang di depanku. Pria-pria jangkung yang Vivi sebut sebagai pengawal membukakan pintu penumpang untuk kami. Dan di dalam sudah ada seorang supir yang duduk si bangku kemudi. "Vi, orang gila mana yang kau temui? Dia pesugihan atau apa?" "Ini belum seberapa," ucap Vivi sembari masuk ke dalam mobil. Dan aku mengikutinya dengan lunglai. Oh, jadi begini rasanya naik mobil mahal. "Kau bisa pingsan kalau lihat kekayaan dia yang lain." Lanjut Vivi. "Kau tahu Chairul Tanjung?" Aku mengernyit. "Yang punya statiun televisi?" "Ya," jawab Vivi. "Kekayaannya lewat oleh Christian." "Christian?" "Oh, aku lupa memberitahumu kalau nama calon suamiku adalah Christian." Vivi menyeringai, dan aku baru menyadari kalau kami sudah meninggalkan rumah bi Endah. Ya ampun, Pantas saja Vivi tidak jadi bunuh diri. Christian tajir mampus begini. Orang gila saja pasti langsung sembuh kalau bertemu Christian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD