Terperosok ke dalam jurang

1048 Words
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran wanita itu saat ini. Tatapan matanya menggelap dan dia terus mendekat padaku. Aku menyeret langkah kaki bergerak mundur ke belakang secara perlahan. Kenapa kakiku terasa berat, seperti ada beban beribu-ribu kilo yang menggantung di sana. "Sera, Are you okay?" Seruku gugup, entah kenapa suaraku ikut bergetar. Tapi dia tidak menjawab, terus mendekat sampai akhirnya punggungku membentur batang pohon yang besar, sehingga aku tidak bisa lagi bergerak. "Kau mau.. Kau mau apa?" Sera menyeringai. Sedangkan jantungku masih berdentum cepat. Dan aku mengutuk semua yang ada di teras rumah Bi Endah, karena tidak ada yang menyadari ketidakhadiranku di sana. "Yang mulia ratu!" Tepat saat tangan Sera terangkat ke atas suara Rey membahana. Dia seolah sedang meneriaki sang putri mahkota dari gangguan nenek sihir. Rey berlari mendekat padaku. Aku segera memeluk tubuhnya seperti tawanan. Raut wajah Sera terlihat tidak suka melihat aku dan Rey. "Rey," Ucap Sera lirih. Lebih persis ke bisikan. Aku menelan ludah susah payah, mengeratkan pelukanku di tubuh Rey. Suasana semakin mencekam saat dengan cepat Sera menyergap tubuh Rey yang sedang aku peluk. Rey meronta-ronta minta di lepaskan. Sementara aku dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan Rey, menarik tubuh anak ini, berharap menjauh dari wanita itu. "Ana, lepaskan Rey, dia anakku. Ke sini Nak, ini ibu." "Tidak Sera, kita bisa bicara baik-baik. Tidak seperti ini. Kau membuat Rey ketakutan." Sera mengabaikan perkataanku, dia semakin kuat menarik tubuh Rey. Apa sih yang dia makan sehingga tenaganya kuat begini. Tanpa di sangka dan tanpa aba-aba, satu tangan Sera menjambak rambutku, menariknya hingga kepalaku ikut mendongak ke belakang. Karena aku tidak ada persiapan apa-apa, dan tidak bisa menyeimbangkan diri, aku terjerambap tersandung akar pohon besar yang ada di belakangku. Secara bersamaan Rey terlepas dari rengkuhanku kemudian berlari ke kebun teh. Kenapa dia lari ke sana bukannya ke rumah bi Endah. "Rey!" Teriak Sera memanggil Rey, tapi anak itu sudah ngibrit jauh ke dalam sela-sela perkebunan teh. Dengan susah payah aku berdiri saat melihat Sera mengejar Rey dengan sepatu hak tingginya. Bisa lari secepat apa dia dengan sepatu runcing seperti itu. Namun ternyata aku salah sangka, wanita itu bisa berlari tanpa tergopoh-gopoh dengan sepatu hak tingginya. Aku menyusul mereka, menarik kakiku yang terasa sakit. Berlari di atas sandal jepit lusuh yang semoga kali ini bisa bekerja sama denganku. Di sela-sela kebun teh yang seperti labirin aku tidak bisa melihat keberadaan Rey maupun Sera. Mereka seolah berlari kencang seperi Iron Man. Aku ingin sekali berlari kencang tapi entah kenapa kaki ku seperti kebas, sehingga yang aku lakukan saat ini adalah berjalan sambil menyeret sebelah kaki kananku. Tapi aku tidak bisa seperti ini terus kalau tidak ingin kehilangan jejak mereka. Ku rasa aku memang sudah kehilangan keberadaan Rey dan Sera. "Rey!" Suara Sera menggema. Kepalaku reflek mencari keberadaan suara itu. Aku menelusuri kebun teh ke arah selatan, di mana aku mendengar suara itu. Dengan terserok-serok aku melihat Sera dan Rey di ujung sana. Di ujung perkebunan teh yang di sana adalah batas kebun teh di tanam, karena sudah tidak ada lagi lahan untuk bisa di tanami daun teh. Di sana terdapat jurang yang curam. Jurang! Astaga kenapa kakiku berat sekali rasanya. Kenapa disaat saat genting seperti ini gerakan tubuhku begitu kaku. Padahal Rey membutuhkanku. "Yang mulia ratu!" Ya Tuhan tolong aku. Selamatkan Rey apapun yang terjadi. Aku mohon. Kau boleh mengambil harta dan cintaku tapi tolong jangan Rey. Dia tidak bersalah. Dia masih terlalu kecil untuk Kau ambil. Aku mencengkeram daun-daun teh yang bisa aku gapai di sisi tubuhku, menapaki tanah bebatuan yang menanjak untuk mencapai Rey di ujun sana. Sedikit demi sedikit aku bisa berjalan dan akhirnya sampai di tepi jurang curam ini. Sera berdiri tidak jauh dari Rey yang sedang menangis, memegangi ranting-ranting pohon. Dia memohon untuk tak di dekati Sera. Tapi wanita itu sungguh keras kepala, meyakinkan Rey bahwa dirinya tidak akan menyakiti Rey. Tapi ini bukanlah waktunya. Dia harus menjauh sesegera mungkin. "Rey, aku mohon kemarilah." "Jangan dekat-dekat Rey," lirih Rey. Tangannya yang kecil menarik ranting pohon yang rapuh. Kakinya bergerak mundur ke sisi jurang. Aku sudah jantungan saja melihatnya. "Sera tolong untuk tidak keras kepala. Jauhi Rey sekarang. Kau bisa saja membuat Rey jatuh ke jurang." "Jangan mendikteku Ana. Dia anakku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan." "Kau tidak tahu sera! Kau tidak tahu!" Semburku. "Kau hanya membuatnya takut padamu. Tolong jangan egois." "Tapi dia anakku." "Aku tahu dia anakmu, tapi beri dia waktu. Dia masih kecil untuk bisa memahami keadaan ini." Aku tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Sera yang seperti kesetanan. Bagaimana caranya menenangkan emosinya saat ini. Aku berharap ada hujan es di atas kepala Sera sehingga kepalanya bisa mendingin. Tapi itu mustahil sekali untuk di kabulkan. Sera masih tidak menghiraukanku. Dia melepas ke dua sepatu hak tingginya, lalu melemparnya kemana saja. Kemudian menghampiri Rey dan menggapai tangan mungilnya. Aku tidak percaya dia melakukan hal nekat seperti itu. Dia memang sudah tidak waras. Satu tangan Rey yang satunya memegangi ranting pohon, tapi ranting itu tidak sekuat yang Rey pikir. Ranting itu patah bersamaan dengan terpelesetnya kaki Rey pada tanah bebatuan. Rey jatuh! "Rey!" Kejadiannya begitu cepat. Anak itu terperosok ke dalam jurang diikuti Sera yang dengan bodohnya melompat ke jurang itu juga. Aku gelagapan panik. Tidak ada orang di sini yang bisa menolong. Mereka bisa mati. Sial, kakiku semakin sakit untuk di gerakan. Jadi yang bisa aku lakukan adalah berteriak sekencang yang aku bisa berharap siapa saja bisa mendengar, dan menolong ibu dan anak itu. "Ana," Abi datang. Tapi aku sudah lelah untuk berdiri. Dia merangkum wajahku yang peluh oleh keringat dan air mata. "Rey.. Dan Sera terperosok ke dalam jurang." Wajah Abi memerah, matanya melotot. Dia berdiri kemudian memeriksa ke sisi jurang. Setelah itu Adit, Rama dan juga dua orang temannya datang mengikuti. Mereka beramai-ramai memeriksa jurang tapi tak satu pun ada yang melihat Rey dan Sera di bawah sana. Adit berlalu. Rama memegangiku, lalu memeriksa kakiku yang bengkak kebiruan. Pantas rasanya sakit, kakiku sudah seperti kaki gajah begini. "Kau apakan Rey dan Sera?" "Apa?" Mataku seketika menyipit. Aku sempat berharap kalau aku tuli, atau setidaknya salah dengar saat Abi bertanya padaku. Tapi saat melihat sorotan mata Abi yang tajam padaku, aku tahu saat ini Abi sedang menyalahkanku atas terperosoknya Sera dan Rey ke jurang. Apa yang ada dipikiran pria ini, sehingga dia berpikir kalau aku penyebab kecelakaan Sera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD