Kotak Surat

1008 Words
Rencana mutasi Ben ke Jakarta yang mendadak, kebaya rusak yang masih tidak mendapat solusi membuat kepalaku mau pecah seharian ini. Dan pilates cukup membuat badanku sedikit lebih ringan. Mungkin ditambah dengan minum teh akan membuat otakku lebih dingin. "Ana." Aku menoleh saat keluar dari kelas pilates dan menemukan Viona yang menenteng tas olahraga. Seakan wanita ini berkeliaran di mana-mana. "Oh, hai," "Kau olahraga di sini, juga?" Menurut ngana? "Ya, tapi aku baru saja selesai." "Aku juga." Katanya sambil memamerkan senyumannya. "Mungkin kita bisa minum teh bersama?" menurutku acara minum teh bersama dengan mantan f**k buddy calon suamiku, tidak pernah ada dalam daftar rencana hidupku. Jadi, aku tidak akan mau. "Sebentar saja, ada hal-hal yang ingin aku sampaikan padamu." Tapi mungkin bisa aku menambahkannya ke dalam daftar untuk menggali informasi. Siapa tahu aku menemukan hal yang tidak wajar lagi di hidupnya Ben. Atau mungkin Abi? Kenapa justru nama pria itu yang lebih menarik. "Hal apa yang ingin kau sampaikan?" God, aku tidak bisa mengendalikan rasa tidak sukaku padanya. Pasti sangat terlihat jelas dari raut wajahku. "Maka dari itu, aku tidak bisa membicarakannya di sini. Kita bisa ke kafe dekat dari sini," katanya. "Sebentar, saja." Setelah berbagai macam pertimbangan, di sinilah kami berada. Di dalam kafe yang Viona pilihkan. Dekat dengan tempat olahraga kami. Seharusnya aku belajar dari kasus yang pernah santer di media. Bisa jadi, Viona memang sengaja mengajakku minum teh untuk sebuah alasan yang terselubung. Menjadikan aku mati mendadak dan mengenaskan, lalu sampai hari kiamat dan kita semua dibangkitkan kembali, tidak akan ada yang tahu siapa yang membuat aku mati mendadak. Seperti itu, kasus yang viral beberapa tahun yang lalu. Tapi, mau membatalkannya juga sudah tidak bisa. Kami sudah duduk berhadapan dengan minuman yang ada di atas meja. Tapi sepertinya itu hanya ketakutanku saja. Pikiranku yang berlebihan pada wanita ini. Mungkin dia tidak sejahat itu, karena aku masih baik-baik saja setelah menghabiskan setengah gelas teh hangat. "Ben, begitu berubah. Ku kira dia tidak akan pernah memikirkan soal pernikahan." Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya seraya mengangkat cangkir teh, kemudian menyesapnya perlahan. Tiba-tiba saja rasa pahit yang ada dalam teh terasa begitu pekat. Reflek, mataku melirik permukaan meja, mencari keberadaan gula. Tapi, tidak kutemukan di sana. "Perubahan memang seharusnya dimiliki setiap orang. Apalagi menuju ke hal yang lebih baik." Kali ini Vioana yang tersenyum. Sekilas penampilan Viona terlihat seperti Sha. Elegan dan angkuh. Tapi Viona sedikit bisa memanipulasi sifat angkuhnya dengan senyuman. Mungkin aku bukan lawan yang sebanding, tapi siapa yang peduli. Aku hanya sedang berusaha tidak terlihat terintimidasi. "Dan, selera Ben soal wanita juga berubah." Aku menyipitkan mata. Mencoba mencari pemahaman apa yang dikatakan lawan bicaraku. "Jika kau melihat bagaimana Sera, mungkin kau akan mundur dengan sendirinya." Wajahku berubah keras. Aku bisa merasakan kalau kedua mataku mengeluarkan kilatan permusuhan. Dengan sekuat tenaga aku menahan tanganku sendiri untuk tidak menyiram teh yang masih panas dalam cangkir ke wajahnya. "Selama aku tidak menjadi buronan negara, kurasa Ben masih punya selera yang cukup normal." Diam-diam, aku melihat bayanganku di cermin tembus pandang yang ada di belakang Viona. Kurasa Skinny jeans dengan atasan plain white T-shirt yang ku kenakan tidak terlihat aneh. Memangnya aku harus seperti apa untuk bersanding dengan Ben? Victoria's Secret Angels? Aku jadi penasaran sendiri seperti apa bentuk dan rupa Sera. "Dan masalah selera seseorang, kurasa itu bukan bagian dari urusanmu yang harus kau beri pendapat. Aku tahu kalian berteman," sebisa mungkin penekanan kata 'berteman' di sana terdengar biasa saja. "Tapi, seorang teman tidak seharusnya terlalu mencampuri urusan temannya terlalu jauh." Aku menegakan tubuhku. "Kurasa aku sudah membuang waktu berhargaku untuk berbicara hal yang sangat tidak penting denganmu. Jadi, jika tidak ada hal lain yang ingin kau sampaikan, kau bisa pergi." Viona hanya mengedikan bahu dan aku ingin sekali menjambak rambutnya. Tapi jangan. Bertingkah emosi seperti itu akan sangat norak dan memperlihatkan bahwa dirimu kalah. Tidak! Aku harus tetap terlihat tenang dan menunjukan bahwa aku sama sekali tidak terganggu dengannya. Oh, apakah ada kata-kataku tadi yang menyiratkan kalau aku tersulut emosi? Viona menaruh kotak ukuran sedang terbuat dari kardus dengan motif polkadot hitam merah. Sesaat aku berpikir kalau wanita ini bisa saja mencelakaiku dengan isi di dalam kotak tersebut, yang mungkin adalah bom, atau benda lainnya yang membuat jantungku seketika berhenti berdetak. Tapi, pikiran buruk itu menguap saat tangan Viona membuka penutupnya dan memperlihatkan isi di dalamnya. Dahiku mengernyit melihat tumpukan amplop surat mulai dari warna amplopnya yang terlihat usang, sampai ada yang masih terlihat baru. Seperti baru dikirim belum lama ini. Sebelum aku sempat bertanya tentang amplop-amplop surat tersebut, Viona sudah membuka mulut. "Ben, memang berhenti mencari Sera. Tapi, dia tidak pernah berhenti untuk mencintainya." Kalimat Viona bagaikan anak panah Katniss Everdeen yang dihunuskan tepat ke ulu hatiku. Tidak pernah meleset, selalu tepat sasaran, dan mangsa mati di tempat. Otakku membeku seketika. Ini lebih bisa menghancurkan daripada bom. Dan Viona telah mempermalukanku dengan telak. "Dan soal Abi," lanjutnya, dan aku mendongak. Menatapnya nyalang. "Jauhi dia." Matanya menatapku tajam memberi peringatan yang sangat serius. Aku membenamkan kuku-kukuku ke dalam telapak tangan. Pendingin ruangan di dalam kafe mendadak tidak berarti lagi. Semburat rasa panas yang menjalar sampai ke leher membuat aku ingin berteriak di depan wajahnya. Memangnya dia siapa? Dia tidak berhak untuk mengatur kedekatanku dengan Abi, atau siapapun. Baru aku akan melontarkan sumpah serapah wanita itu sudah berdiri, menyambar tasnya, lalu pergi keluar dari kafe. Sialan! Dia tidak bayar bill-nya? Hah! Untungnya aku cukup tajir untuk membayar makanan terkutuk ini. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat sampai di rumah dan mulai membaca satu per satu surat yang ditulis Ben untuk Sera. Aku ingin sekali berpikir bahwa semua surat-surat ini sengaja Viona tulis untuk menghancurkan hubunganku dengan Ben. Tapi kenyataannya tidak. Aku tahu betul seperti apa tulisan tangan Ben. Dan ini memang benar-benar tulisan tangan Ben. Spekulasi ini diperkuat dengan isi di dalamnya. Ben, menceritakan tentang aku kepada Sera. Tentang pertemuanku dengan Ben, yang seharusnya hanya aku dan Ben saja yang tahu. Tapi dia berkhianat. Walau Sera tidak pernah membacanya, tapi Ben sudah membagi rahasia kami berdua kepada orang lain. Ya, bagi diriku Sera adalah orang lain. Tapi tidak bagi Ben.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD