Cooking with the boys

1003 Words
Abi menyisir rambutnya ke belakang, terlihat sama sekali tidak tenang. Dia mondar-mandir di depanku. Aku menatapnya heran. Ikut-ikutan menjadi bingung. "An, kumohon jangan pergi dariku." Abi meremas kedua pundaku. Nada bicaranya terdengar putus asa. "Aku bisa apa? Aku tidak punya pilihan, kau juga sama. Apa yang bisa aku lakukan terhadap diriku, terhadap kita?" Aku juga sama putus asa nya dengan keadaan ini. "Kita bisa sama-sama menunggu." Tawarnya dan meyakinkan ku. "Sampai kapan?" Daguku terangkat ke atas. "Kau bisa menjanjikan aku apa? Kau tidak bisa apa-apa, Bi. Termasuk terhadap dirimu sendiri." Intensitas remasan tangannya di kedua bahuku melonggar, turun perlahan menyusuri lenganku hingga berhenti dengan menggenggam ke dua tanganku. Kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya. Aku hanya diam melihatnya begitu. Tujuanku datang ke Lembang adalah untuk menenangkan diri, melupakan sejenak soal permasalahanku dengan Abi. Masalah yang ternyata lebih rumit dibanding dengan kisah cinta Peter Parker, lebih menyakitkan dari menjadi Thinkerbell. Dan lebih mematikan dari bom Angelina Jolie di film Salt. "Tolong untuk memberiku waktu barang sebentar saja, aku lelah, Bi. Aku perlu sedikit ruang untuk diriku sendiri. Semuanya sudah membuat aku kalang kabut belakangan ini." Abi mendongak, menatapku intens. Menyoroti mataku dengan tatapan sendu. "Kumohon biarkan aku sendiri dulu." Tegasku lagi. Ekspresi Abi perlahan berubah mengeras. "Sendiri! Bukan bersama pria lain." Desis Abi penuh penekanan. Aku memjamkan mata, sekilas melirik Rama yang berdiri di sana memandang kami sambil memegang ulekan. Sudah cukup memalukan bagi diriku. Bertengkar di depan orang lain. Seperti pertengkaran remaja karena ego. "Dia bukan siap-siapa." Aku memelankan nada bicaraku, berharap Rama tidak mendengar bahwa dirinya di bawa-bawa dalam perdebatan kami. Malu kalau sampai dia mendengar pembicaraan ini. Lucu sekali rasanya. Dia menuntutku untuk tidak bersama dengan pria lain, sedangkan dirinya sendiri di sana sedang menjaga seorang wanita. Memang tidak adil. Tapi aku tidak mau membahas itu sekarang. Sedang tidak mood. "Kalau kau masih mau ada di sini, tolong jangan bahas apapun tentang kita." Tegasku sambil menyoroti matanya yang tatapannya berubah jadi kemarahan. Aku tidak pernah melihat tatapan memburu seperti ini sebelumnya. Tatapan yang siap untuk menerkam siapa saja yang menganggu. Jadi sebelum kemurkaan itu lolos darinya, aku melesat dari hadapannya secepat yang aku bisa. *** Aku tahu sebentar lagi Abi akan meloloskan kemarahannya. Maka dari itu aku segera melesat kabur dari hadapannya. Tapi belum sampai aku bisa melarikan diri dia menahan lenganku. Tapi aku harus segera mendahuluinya sebelum dia berkelakar. "Oke, lebih baik kau bantu aku membersihkan ikan mas." Abi memiringkan kepalanya. Aku menarik tanganku yang dia tahan, pergi ke pojok dekat kran air. "Sini." Aku melambaikan tangan ke arah Abi, dia diam sebentar sebelum akhirnya dia menghampiriku. "Nih, cuci ikan-ikan ini. Keluarkan seluruh isi perutnya, lalu cuci sampai bersih." Abi menatapku tidak percaya. Tapi dia melakukannya juga, sambil bergumam mengumpat diriku. Tapi aku tidak peduli. Daripada dia membahas hal yang tidak ingin aku dengar, lebih baik dia membantuku untuk memasak. "Kenapa aku harus melakukan ini?" Kening Abi berkerut bingung, menatap heran pada ikan-ikan mati tersebut. "Kau mau makan, kan? Jadi, kau harus bantu aku memasak." Mulutnya bergumam seperti sedang membaca mantra. "Ram!" Aku memanggil Rama. "Kalau semua bumbunya sudah selsai di ulek, bantu bapak ini membersihkan ikan mas." "What? Apa kau bilang? Bapak?" Suara Abi melengking. Protes tidak terima. "Kenapa?" Aku berkacak pinggang sambil menunduk ke arahnya yang sedang dalam posisi jongkok. "Jangan berkilah, kau memanh sudah bapak-bapak." Abi mengangkat ikan mas ke atas, melakukan gerakan seperti akan mau melempar ikan itu ke arahku. Tapi aku tahu itu hanya bercanda. "Kalian berdua baik-baik di sini. Aku akan menyiapkan pembakarannya." *** Belum sempat aku mengambil panggangan ikan, aku melihat sosok Rey yang sedang bermain bersama Jingga. Anaknya Adit yang pasti baru datang bersama ibunya. "Rey, ku kira kau tidak ikut bersama Ayah." Kepala Rey menoleh padaku. Dia langsung melompat dari tempat begitu menyadari kehadiranku. "Yang mulia ratu, Rey kangen." Anak itu menghambur ke pangkuanku. Memelukku erat sekali. "Aku juga, kangeeeen banget." "Aku punya teman baru, namanya Jingga." "Oh iya, main bareng ya, jangam nakal." Jingga baru berusia 3 tahun. Anak perempuan lincah, bertubuh gempal yang kini rambutnya di kuncir satu ke atas. Wajahnya mirip Adit. Kebanyakan orang mengira kalau Jingga memiliki darah chines padahal ibu bapaknya asli orang sunda, tidak ada darah oriental sama sekali. Rey kembali bermain di dalam tenda mainan bersama Jingga. Walau mereka baru pertama kali bertemu, mereka begitu akrab, sangat menikmati permainan. Anak-anak memang tidak perlu berpikir apakah orang ini baik atau buruk, pantas atau tidak untuk di dekati. Mereka hanya butuh menemukan satu permainan yang asyik setelah itu langsung mengakrabkan diri seolah memang sudah bertahun-tahun mengenal. Sesederhana itu. Aku membiarkan mereka bermain bersama, sementara itu aku mengambil panggangan yang Bi Endah simpan di samping rumah. Saat aku kembali ke dapur untuk menyiapkan memasak ikam bakar, aku di kejutkan dengan pemandangan yang membuat aku ternganga hingga dagu ini jatuh menyentuh lantai. Bagaimana bisa dua orang pria yang sudah bisa di katakan dewasa saling melempar ikan satu sama lain. Mereka pikir mereka sedang ada dalam perlombaan hari kemerdekaan atau apa sih. Sungguh sangat ke kanak-kanakan. "Kalian pikir, kalian sedang apa?" Aku menggeram murka mendekati mereka yang menyadari kehadiranku, dengan posisi memegang ikan masing-masing satu yang menggantung di udara dan baju yang basah kuyup. Kenapa aku harus menghadapi dua orang pria tidak waras ini. "Aku tidak mau tahu, kalian harus membereskan semua kekacauan ini. Titik!" Seruku pada mereka yang langsung belingsatan memungut kembali ikan-ikan yang jatuh, lalu di masukan ke dalam ember besar. "Ana, semua sudah si.." Suara bi Endah terdengar tapi detik berikutnya suara itu hilang, digantikan dengan keterkejutan. "Ini.. Ada apa dengan.. Ikan-ikan ini dan kalian?" Bi Endah menutup mulutnya dengan tangan. Sepertinya beliau mengalami syok berat "Tenang Bi, aku akan segera mengatasi semuanya. Bibi istirahat saja di kamar, atau temani Jingga bermain bersama Rey." Aku mendorong tubuh Bi Endah untuk segera keluar dari dapur sebum beliau pingsan di tempat. Namun tidak mudah karena tubuh bi Endah seolah menolak dan ingin melihat kekacauan di depan mata, tapi aku tidak menyerah sampai akhirnya aku bisa menyeret Bi endah keluar dari dapur. Setelah ini aku akan memecahkan kepala mereka secara bergiliran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD