Setelah satu jam penuh di habiskan untuk memasak ikan bakar, goreng tempe, oseng kangkung, serta lalapan lainnya akhirnya kegiatan masak memasak yang berakhir dengan kacau balau selesai juga.
Aku dan Bi Endah menyiapkan semua hidangan ke teras rumah, di atas permadani. Abi dan Rama awalnya ikut membantu tapi harus aku hentikan kegiatannya karena yang mereka lakukan hanya merusuh. Bukannya membantu tapi mereka malah rebutan membawa nampan, setelah itu rebutan membawa ikan, rebutan membuat minuman jahe dan lain sebagainya yang berakhir dengan berdebat. Daripada acara makan-makannya berantakan dan tidak jadi makan, akhirnya aku memutuskan intuk menyuruh mereka duduk manis saja.
Acara makan-makan berlangsung ricuh. Ricuh dengan kelakuan Abi dan Rama yang tidak aku mengerti. Berlomba-lomba seperti sedang menarik perhatianku. Lalu ricuh oleh dua bocah yang tidak bisa diam. Rey dan juga Jingga.
Di saat ramainya acara makan-makan di teras rumah, di atas permadani dengan pemandangan kebun teh terbentang luas nan indah, dengan tidak adanya birokrasi seorang wanita yang kehadirannya tak di undang justru muncul begitu saja di tengah-tengah kami.
Suasana yang ramai dan genting mendadak hening seolah di tarik sekaligus ke dunia lain. Perutku yang tadinya masih bisa menampung satu ekor ikan lagi, kini mendadak kenyang. Tanpa di perintah aku melirik Abi yang sibuk dengan Rey. Memisahkan antar daging ikan mas dengan durinya, sesekali dia menggeram kesal karena duri yang terlalu kecil sulit untuk di pisahkan, dan Rey yang mengamuk tidak sabaran.
Aku menyodok lengan Abi dengan siku berharap dia melihat siapa yang sedang berdiri di depan sana. Tapi Abi tidak memedulikan, masih sibuk dengan ikan dan durinya.
"Lagi rame ternyata." Sera tersenyum, memberiku lirikan lirikan dingin yang membuat rambut-rambut di tanganku berdiri tegak.
"Ada perlu apa? Abi dan Rey sedang makan. Kau datang sendiri atau bersama mereka?"
Sepertinya aku memang lawan yang setimpal untuk membalas keketusannya.
Sera memiringkan kepalanya, menekuri aku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Aku perli bicara denganmu." Ucapnya seduktif. "Bisa bicara di tempat yanh tidak ramai oleh orang banyak?"
Aku mengamati wanita ini sebentar. Mempertimbangkan tawarannya untuk pergi ke tempat sepi. Ayolah, aku bukannya menganggap rendah orang dengan gangguan mental, tapi terakhir kali aku bertemu dengannya, penyakitnya kumat. Bagaimana kalu itu terjadi lagi kali ini.
Apakah dia sudah meminum obatnya atau belum. Aku ingin bertanya tapi takut di tinju.
"Oke." Aku memutuskan saja pada akhirnya, mengajak Sera ke samping rumah yang kebetulan ada bangku yang terbuat dari batang pohon.
"Aku sangat tidak asing berada di sini. Dulu hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku di sini." Terang Sera. Matanya menerawang jauh ke kebun teh. Aku ingat ayahnya dulu adalah karyawan ayahku di sini. "Sebelum aku memutuskan pergi ke Jakarta untuk mengejar mimpiku."
Sera kembali menatapku. "Aku punya penawaran untukmu."
"Apa?"
"Aku akan mengembalikan semua aset-asetmu."
Badanku tegak mendengar dia berkata. Binar mataku memancarkan ketidak percayaan.
"Tapi aku punya syarat." Sergahnya, tidak terima kalau aku harus senang dulu. "Aku minta kau tidak perlu kembali ke Jakarta. Menetaplah di sini, dan tinggalkan Abi."
Aku menggertakan gigi. Setelah aku bisa menhadapi Viona, kini aku harus berurusan lagi dengan wanita yang memintaku untuk meminggalkan Abi. Wanita gila pula.
"Kenapa kau menginginkannya? Bukankah yang kau cinta adalah Ben?"
Dia mendengus. "Kau pikir setelah apa yang dia lakukan terhadapku dulu akan membuat cintaku padanya tetap ada?"
"Tapi kenapa kau memilih meninggalkan Abi dan mengabaikan perasaannya padamu? Kenapa tidak sejak dulu saja kau hidup bahagia bersamanya?"
"Bahagia?" Dia mengulang kata bahagia dengan semburan tawa meremehkan. "Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku Ana. Kau kira setelah kau di hamili oleh orang yang kau cintai, lalu kau berharap bahwa dia akan bertanggung jawab karena merasa kalian memiliki perasaan yang sama, tapi nyatanya dia justru pergi, meninggalkanmu sendiri. Kau bisa dengan mudah menemukan kebahagiaanmu? Tidak Ana!"
Aku menelan ludah saat dia meninggikan nada bicaranya. Aku mengawasi sekitar tapi tidak ada satu orang pun di sini.
"Lalu ada seseorang yang menawarkan hidupnya untukku. Orang yang dengan sukarela menanggung perbuatan yang tidak dia lakukan. Aku memanh bodoh. Aku wanita paling bodoh sedunia. Di saat aku mendapat angin segar, seharusnya aku berlari ke arah Abi, tapi dengan bodohnya aku masih tetap mengharapkan dia, pria yang jelas-jelas b******k. Aku memutuskan untuk tidak menerima Abi, dan pergi meninggalkannya serta darah dagingku. Untuk mengejar mimpiku yang sempat tertunda."
Ku lihat tubuhnya bergetar. Matanya memerah dan mulai mengeluarkan air mata, dan saat itu juga dia menundukan kepalanya, yang terdengar hanya isakan.
"Ku pikir aku akan bahagia. Tapi kenyataannya tidak." Sera menyibakkan rambutnya yang panjang, kemudian mematapku dengan matanya yang sembap penuh air mata. "Setiap hari aku memikirkan anakku. Tapi tidak ada keberanian di diriku untuk menemuinya. Tapi pada hari itu.." Sera terdiam sejenak mengambil jeda. "Pada hari itu aku melihatmu dengan Ben, dan mulai untuk merencanakan pembalasan dendamku padamu."
"Apa? Tunggu, balas dendam padaku?" Tanyaku terbata bata nyaris hilang akal. "Kenapa aku yang harus menerima hukuman?"
"Karena kau tunangan Ben." Timpalnya datar, telapak tangannya mengusap air mata di pipi. "Seharusnya aku yang dia nikahi, bukan kau." Sera menyeringai. Dan aku mendengus tidak percaya.
Aku meremas rambutku frustrasi. Kini benang merahnya sudah benar-benar sangat jelas. "Jadi kau melakukan ini semua padaku hanya karena aku tunangan Ben?" Aku mengubur wajahku ke kedua telapak tangan Ben.
"Dan aku sengaja muncul secara tiba-tiba di restauranmu. Dan aku juga sengaja membuat pernikahanmu di batalkan. Termasuk merampas usahamu lewat temanmu yang secara kebetulan, sedang membutuhkan uang. Kau tahu, berapa harga yang harus aku keluarkan untuk membalaskan dendamku?" Aku hanya bisa menatapnya tajam. "Sangat mahal." Bisiknya penuh penekanan. "Tapi itu sama sekali tidak membuatku puas, justru aku menemukan diriku sudah tidak menginginkan Ben." Ringisnya. "Kau tahu siapa yang aku inginkan sekarang? Kau tahu?!" Dia berteriak tepat di telingaku. Suaranya yang melengking menerobos gendang telingaku. "Abi." Erangnya. "Tapi kenapa juatru kau lagi yang dia cintai. Kenapa bukan aku? Kenapa tidak dengan diriku? Kenapa harus kau lagi Ana?!"
Sera terus menjerit, menjerit dan berteriak membuat aku takut. Mataku mencari-cari keberadaan orang-orang tapi kenapa tidak ada satu orang pun di sini. Jantungku berdebar kencang saat Sera mendekat padaku seperti akan menerkam. Atau mungkin perasaanku saja. Tapi sungguh tatapannya yang tajam membuat aku ingin melarikan diri.