Si pria gondrong

1018 Words
Rama berdiri di sana dengan carrier besar di balik punggungnya. Aku agak terkejut melihatnya di sini dengan kaus hijau lumut di balut kemeja kotak-kotak yang semua kancingnya di biarkan terbuka. "Hai, kok bisa ada di sini?" Aku menepuk d**a Adit oleh punggung tangan sekilas ketika dia menatapku penuh tanya. "Mmhh mungkin takdir yang membawa langkah kaki ku ke sini." Terangnya membuat Adit mencibir. Hallah mungkin ini yang di namakan dengan anak senja. Orang-orang puitis yang mengejar-ngejar tenggelamnya sang fajar hingga ke puncak negri di atas awan. Aku hanya bisa cekikikan melihat ekspresi Adit yang memasang wajah menjijikan. "Oke," ucapku menahan tawa. "Sendirian?" "Ram!" Tiba-tiba ada yang memanggil Rama dari kejauhan. Dua orang laki-laki dengan kostum yang sama seperti Rama. Carrier besar-besar, sepatu gunung, jaket parka, mendekat ke arah kami. "Kita harus ketemu dulu sama Pak Adit." Ujar salah seorang dari mereka begitu mereka sampai ke dekat Rama. Mendengar nama Adit di sebut aku dan Adit langsung saling tatap. "Adit siapa?" Sela Adit cepat. "Aditama Pak, yang memiliki pabrik Mate tea." Wajah Adit langsung berbinar cerah. "Itu saya." Lanjutnya seolah dia sedang mengumumkannya ke seluruh dunia. "Ada keperluan apa?" "Bisa kita bicaranya tidak di sini?" Sergah Rama, dan langsung mendapat persetujuan Adit. Adit memimpin 3 pemuda pencari teh itu masuk ke dalam kediaman Bi Endah. Begitu mereka duduk di teras rumah yang langsung di suguhkan dengan pemandangan perkebunam teh yang terbentang luas, Adit menyuguhkan mereka dengan teh hasil olahannya, seakan sedang berbicara inilah hasil dari kebun teh yang sedang kalian pandangi. Seperti kata Bi Endah, sebenarnya rasa setiap teh sama saja, pahit. Tapi entah kenapa saat aku meminum teh olahan Adit rasanya beda saja. Aku tidak begitu paham bagaimana cara mendeskripsikannya. Pokoknya ketika aku merasakan tegukan pertama teh nya, ada rasa yang berbeda. Tidak pahit, legit, tehnya kental, enak pokoknya. "Kenapa kalian tidak menghubungi saya dulu?" "Kami sudah mengirim pesan ke email Bapak, tapi belum ada respon. Kebetulan kami sedang ada di Lembang, jadi kami memutuskan untuk langsung saja datang ke sini." Adit menganggukan kepalanya. Entah memang dia paham, atau terlalu senang dan ingin langsung ke inti pembicaraan. "Semua sudah saya siapkan sebenarnya, kalau mau langsung di bawa ke Jakarta juga boleh." Mereka adalah rekan bisnis Adit. Mereka yang akan membeli teh hasil olahan Adit kemudian di jual di Jakarta. Rama dan teman-temannya membuka usaha kedai kopi baru-baru ini, dan memutuskan untuk menjual teh hasil olahan rumahan, dan bertemulah dengan Adit. "Oke Pak, bisa kok." Sahut salah satu dari mereka. Saat kami sedang membicarakan ide bisnis yang akan mereka buat, Bi Endah muncul dan meminta tolong padaku untuk membantunya memasak di dapur. Aku senang-senang saja karena memang sudah lama sekali aku tidak bereksperimen di dapur, semenjak Read Eat di sita. Sempat terlintaa di pikiranku untuk mengikuti ajang pencarian bakat memasak di televisi agar aku punya kegiatan lain, tapi segera aku urungkan dan pulang kampung memang lebih baik. Dapur rumah ini cukup luas, bisa untuk memasak satu RT sepertinya. Bi Endah terbiasa memasak banyak, katanya untuk para pekerja pemetik daun teh kalau mereka ingin makan. Menurut Bi Endah rumah akan selalu ramai kalau mereka ikut makan. Sekalian berbagi rezeki. Bi Endah menyuruhku membuat bumbu untuk ikan bakar. Kebetulan mang Kosim habis memancing dan dapat ikan mas banyak sekali. Selagi aku membuat bumbu ikan bakar, bi Endah membersihkan ikannya. Saat dengan sekuat tenaga aku ngulek bumbu karena bi Endah tidak punya blender, datang seseorang mengagetkanku. "Eh, kok ke sini? Diskusi sama Aditnya sudah selesai?" "Sudah, tinggal di bawa aja teh nya." Aku mengangguk sambil masih ngulek bumbu. Pegal juga rasanya ngulek menggunakan chopper manual. Menurut Bi Endah ngulek dengan cobek di banding dengan mesin rasanya akan berbeda. Akan lebih kaya rasa kalau ngulek dengan cobek. Tapi menurutku sama saja. Kalau ada yang praktis kenapa harus ribet. "Kalian kenapa bisa tahu soal teh yang di buat Adit?" "Kami tahu dadi sosial medianya pak Adit. Dia punya mate tea yang kebetulan sedang kami cari." Bumbu sudah halus dan aku memasukannya ke dalam mangkuk besar. Ini belum selesai, masih ada bumbu yang belum di ulek. "Mate tea itu apa?" "Teh yang dibuat dari ekstrak pohon mate. Langka sekali, jadi saat tahu kalau pak Adit punya, langsung saja di susul walau jauh." Aku mengangguk lalu melanjutkan ngulek bumbu. Tidak bertanya lebih jauh lagi walau sebenarnya aku belum begitu paham tentang mate tea yang di jelaskan Rama. "Aku sambil masak ya, Ram." "Oke, tidak masalah. Aku bisa bantu apa?" Seperti mendapat sebuah pencerahan, wajahku langsung berseri-seri saat Rama menawarkan bantuan. "Gimana kalau ngulek aja, bisa kan?" Aku mengacungkan ulekan ke udara, lalu di sambut Rama dengan baik. Dia mulai ngulek bumbu walau gerakannya agak kaku. Pantas sih, kerjaannya kan bermain dengan oli sekarang harus berurusan dengan bumbu bumbu dapur. Rama tidak protes, dia mengerjakannya dengan senang hati, aku tahu itu dari raut wajahnya yang selalu menebar senyum. Sementara Rama ngulek bumbu, aku memotong sayuran yang untuk dijadikan lalapan, serta membumbui tempe untuk di goreng. "Pegal?" "Lumayan." Rama diam sejenak mengambil napas, aku tertawa kecil, saat aku akan mengambil alih cobek, Rama menolak dan melanjutkan kegiatan nguleknya. "Oke, semangat Ram!" Aku meninju-ninju bahu Rama seperti drum berusaha memberikan pijatan demi melonggarkan otot-otot bahunya saat ngulek. Lalu kami cekikikan bersama. Disaat bersamaan secara tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari bahu Rama. Mencengkeramnya dengan keras sehingga membuat aku meringis kesakitan. "Abi." Entah dari mana datangnya pria ini, mendadak muncul di dapur Bi Endah. Punya pintu ajaibkah? "Kau sedang apa di sini? Siapa dia? Kenapa kalian berduaan di sini?" Berdua? Kepalaku otomatis celingukan mencari-cari sosok bi Endah yang katanya sedang membersihakn ikan mas, tapi tidak aku temukan keberadaan beliau di dapur ini. Sementara ikan mas dalam keranjang masih ada dan utuh. Kemana perginya bi Endah, membuat aku di fitnah saja. Dan kenapa juga Abi ada di sini. "Ini rumah Bibiku kalau-kalau kau lupa. Jadi, seharusnya aku yang bertanya, kau sedang apa di sini? Di rumah bibiku." Aku menekan kata 'bibi' disana. Entah kenapa melihat Abi moodku hilang seketika. Acara memasak yang awalnya menyenangkan berubah jadi seperti acara uji nyali. "Aku mencarimu kemana-mana An, ponselmu mati, rumahmu kosong." Cecarnya. "Aku langsung ke sini begitu temanmu memberitahu kalau kau ada di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD