Aku mulai resah. Saat harus menunggu Fay di stasiun MRT menuju Senayan City. Tujuanku pergi ke acara Jakarta Fashion Week bersamanya adalah agar bisa nebeng dengannya. Tapi yang ku dapat adalah Fay menyuruhku menunggu di stasiun MRT dekat Senayan City. Dia bilang kalau harus jemput aku ke rumah jaraknya jauh. Lagi-lagi aku harus menunggu.
Sebelum aku jadi kering karena kepanasan, mobil Fay terlihat dari kejauhan. Aku berjengit begitu dia mulai menepi. Aku segera membuka pintu penumpang namun Fay langsung berteriak.
"Duduk di depan, Ana, aku bukan sopirmu."
Aku hanya bisa nyengir lalu pindah duduk ke depan tanpa keluar mobil. Kalian bisa bayangkan bagaimana aku memindahkan tubuhku dengan cara desak-desakan membuat Fay semakin murka.
"Lusiana! Lama-lama kau kurang ajar."
"Sabar.. Sabar.."
Fay mendengus tapi tetap menjalankan mobilnya menuju Senayan City tempat pagelaran tahunan Jakarta Fahion Week diadakan. Semoga di sana aku menemukan titik cerah. Paling tidak untuk membuatku mengambil keputusan. Pergi atau tetap tinggal.
***
Untungnya kami sampai venue tepat waktu karena kalau tidak, aku dan Fay tidak bisa masuk. Setelah mengantre dan barcode undangan di scan, kami langsung menuju tempat duduk yang sesuai dengan undangan yang tertera. Fay kemudian mengumpat saat tahu kalau kami berada di barisan paling akhir. Sepertinya Sha sengaja kemberikan undangan dengan pilihan tempat duduk paling belakang.
"Memangnya kau mau duduk di mana? Kursi VIP? Kau pikir kau siapa? Kita sudah dapat undangan saja untung. Lagipula kita ke sini bukan benar-benar mau melihat para model jalan di catwalk. Kita ada di sini untuk mencari kebenaran."
Fay memijat keningnya. Wajahnya begitu frustrasi.
"Kenapa aku harus melakukan kekonyolan ini setelah menimba ilmu ke negara orang. Harusnya aku melakukan hal yang lebih berfaedah dari ini."
"Fay, membantu sahabat menemukan jalan hidupnya itu adalah hal yang berfaedah. Kau pasti akan dapat balasan atas semua kebaikan yang telah kau lakukan."
Fay menatapku tidak percaya. Tapi tetap duduk di kursi tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Lampu venue sudah dimatikan begitu aku duduk. Cahaya lampu mulai menyorot ke arah panggung. Waktunya perhelatan bergengsi ini dimulai.
Ini seperti acara fashion show Sha, tapi yang ini lebih meriah lagi. Aku yang sama sekali tidak paham dengan fashion menatap aneh ke para model yang berjalan dengan busana yang berbeda. Mereka bilang ini busana musim panas, musim semi dan lain-lain. Setiap busana yang dipamerkan di sini akan menjadi tren fashion pada tahun ini. Tapi aku tidak begitu peduli jenis fashion apa yang sedang terkenal.
Acara pagelaran jalan-jalan di atas panggung selesai. Sekarang giliran para designer naik ke atas panggung untuk membanggakan diri mereka yang hasil karyanya sudah di pamerkan. Dari atas sini aku bisa melihat ke seluruhan yang ada di geding ini. Termasuk melihat Ben yang ada di bawah sana, menghampiri Sera dengan membawa bucket bunga cantik lalu diberikan pada wanita cantik itu. Dia tersenyum sangat manis semanis bunga-bunga yang sedang dia dekap di d**a.
Wanita itu bukan wanita biasa. Dia punya segalanya yang perempuan di luar sana dambakan. Seharusnya aku tidak ada di sini. Seharusnya aku memang sudah pergi jauh sejak kemarin. Sekali pun ada sesuatu yang Sera rencanakan, aku tidak mungkin bisa menghalanginya. Dia punya sejuta alasan untuk bisa dimaafkan. Untuk kesalahan besar sekalipun.
Aku terperanjat saat ada yang menarik tanganku begitu saja. Fay. Dia nampak terburu-buru seperti akan mengejar sesuatu. Aku tidak bertanya ketika Fay dan aku berjalan menerobos kerumunan. Dan harus mengangguk maaf kepada setiap orang yang kami lewati, karena menghalangi pandangan merek. Setelah kami keluar dari hall tersebut, Fay membawaku ke sebuah ruangan. Di ruangan ini terdapat kaca-kaca besar serta lampu lampu bohlam yang menyorot. Dan ada beberapa perempuan dengan badan yang tinggi-tinggi. Ku rasa ini kamar ganti para model. Tapi untuk apa aku ada di sini.
"Hai, Fay." Kepalaku otomatis menoleh pada sumber suara.
Di sana berdiri seorang laki-laki, tapi aku tidak yakin. Laki-laki ini mengenakan celana kulot yang lebar di bagian bawah. Atasannya dia memakai seperti kemeja yang 2 kancing di atasnya dibiarkan terbuka. Dia tersenyum padaku dan Fay sambil menggoyang-goyangkan kipas yang ada di tangan kanannya.
"Hai, Jer. Apa kabar?"
Lalu detik berikutnya mereka saling menempelkan pipi satu sama lain. Dan aku hanya mengangkat tanganku padanya. Merasa canggung.
"Ana, ini Jeremy. Jer, ini Ana."
"Jeremy." Laki-laki, eh maksudku setengah laki-laki setengah tidak ini mengulurkan tangannya padaku. Otomatis aku menyambut tangannya. Aku bisa melihat kuku nya di nail art sangat cantik.
"Ana."
"Ada yang bisa aku bantu, Fay?" suara Jeremy sengau membuatku terganggu. "Kita duduk di sini saja."
Fay menarik kursi kemudian duduk di sana, dan aku mengikuti gerakan Fay lalu mengambil posisi di sebelahnya, dan Jeremy duduk di depan kami, menyilangkan kedua kakinya. Sungguh gemulai.
"Mmhh, kau tahu.. Sebenarnya aku bukan jenis orang yang mau tahu urusan orang lain. Tapi ada orang yang membawaku pada situasi di mana aku harus mengetahui tentang orang lain."
Fay menggaruk kepalanya. Matanya melirik padaku lalu memamerkan deretan giginya yang rapi. Aku mendengus, mengusap keningku dengan telunjuk. Fay benar-benar tidak bisa memilih kata-kata dengan cermat. Jeremy memandangiku dan Fay secara bergantian. Raut wajahnya penuh tanya sama sekali tidak memahami perkataan Fay. Aku juga. Bingung dibuatnya.
"Jer," Fay berdehem. "Aku sempat melihat busana yang dipakai oleh seorang model, ee.. Dan aku suka." Fay mengangguk cepat, menolehkan kepalanya padaku minta dukungan. "Busana pakaiannya bertema.. Bertema.. Ah aku lupa. Tapi aku ingat nama designernya." Fay membasahi bibirnya. "Sera!" seru Fay sambil menjentikan jarinya.
"Oh.. Dia." terdengar dengusan pelan tidak suka lolos dari bibirnya. "Kau mau membeli baju nya?"
"Oh bukan. Aku hanya ingin tahu.. Saja."
Jeremy mengembuskan napas. Memandangi Fay sebentar, sebelum dia berkata.
"Dia salah satu designer berbakat, bahkan karyanya sudah mendunia. Wajar saja sih menurutku, karena dia lama berkarir di Paris. Tapi entah apa yang terjadi, dia malah kembali ke Indonesia. Tapi ada apa sih kau ingin tahu soal dia? Aku saja berusaha untuk tidak berurusan dengannya."
Jeremy berkata ketus. Menggoyangkan kipasnya ke badannya.
"Kenapa?"
"Kau tahu lah, orang Indonesia yang punya karir melejit di luar negeri, merasa... " Jeremy ragu-ragu. "Dirinya paling berprestasi lalu memandang rendah orang lain."
"Masa sih dia begitu?" tanya Fay memberikan tatapan menyelidik.
"Dia memang terkenal sombong dan angkuh. Dan yang aku dengar," Jeremy menelan ludah. Memandang berkeliling, ke kanan, ke kiri, seolah sedang mencari seseorang. Badannya menarik kursi yang ia duduki hingga posisinya nyaris berdekatan. "Dia pernah hamil di luar nikah, dan gosipnya kembalinya dia ke Indonesia juga karena hal itu. Mencari keberadaan anak dan laki-laki yang menghamilinya." aku dan Fay saling tatap. "Balas dendam."
Suara Jeremy mendesis dan kedua mata Jeremy mengerut.
"Lebih baik tidak usah kenal, Fay." Ujar Jeremy memperingati. Kembali mendorong kursinya ke belakang. Mengambil jarak di antara kami. "Dia punya potensi berbahaya."
Ada keheningan yang mengerikan. Aku menyusurkan jemari diantara anak-anak rambut yang berkeringat. Aku tidak yakin apakah perkataan Jeremy benar. Tapi kenyataan ini mengingatkanku pada security yang dibayar Sera untuk membeli rumahku.
Aku meyakini bahwa perempuan yang disebut security itu adalah Sera. Aku tinggal menemukan benang merahnya saja, setelah itu semuanya akan terbuka.