Genderang perang

1014 Words
Keesokan paginya,di hari senin aku terbangun dengan kepala yang pengar. Tidak, aku tidak sedang hangover karena mabuk. Aku hanya tidak tidur semalaman dan baru bisa tidur saat adzan subuh. Sekarang pukul 08.00 dan terdengar ketukan di pintu rumah. Dengan mata yang masih setengah terbuka aku meraba-raba kasur mencari ponsel, tapi tidak aku temukan sedangkan ketukan di luar sana kembali berbunyi, kini dengan intensitas yang lebih keras. Siapa lagi sekarang. Sambil sempoyongan, aku menguncir rambut ke belakang, masuk kamar mandi sebentar untuk cuci muka. Lalu melesat secepat mungkin untuk membukakan pintu. Ben? "Ku pikir kita sudah sepakat, kalau tidak ada lagi yang harus diminta pendapat untuk hidup kita selanjutnya, setelah berpisah." Matahari sudah naik di atas kepalaku. Sorot cahayanya menerobos masuk ke dalam rumah saat pintu rumah terbuka lebar. Aku mengucek mata berusaha mendapati penglihatan lebih jelas dan mencoba mencerna cecaran perkataan Ben pagi-pagi begini. Apa yang dia bicarakan. "Kau bicara apa, Ben? Kita masuk saja." "Aku tidak percaya, kemarin kau datang ke acara Jakarta Fashion Week hanya untuk mencari informasi tentang Sera, dan mengatakan padanya untuk menyudahi saja hubungannya denganku. Dan juga agar tidak lagi menemui Rey." Kepalaku berdenyut nyeri sehingga aku harus memundurkan sedikit kepalaku ke belakang. Lalu menatap Ben lekat-lekat, siapa tahu saja dia habis pengar sama sepertiku. Sehingga harus datang pagi-pagi ke rumahku dan mengoceh tidak jelas. Tapi beberapa detik kemudian aku menyadari kalau Ben yang berdiri memakai seragamnya di ambang pintu itu masih waras. Sama sekali tidak terlihat seperti orang mabuk. Ya, abdi negara mana yang rela mabuk di pagi hari dengan mengenakan seragam dinasnya. "Aku memang datang ke acara itu, tapi aku tidak bertemu Sera dan mengatakan apa yang kau bilang tadi, Ben." Mataku menyipit karena silau. Ben terlihat masih ragu. "Yang benar saja Ben, untuk apa aku mengatakan hal kekanakan seperti itu." Ben tidak menjawab. Untuk beberapa saat kami hanya terdiam. Aku menggesekan kakiku yang mulai kebas karena terlalu lama berdiri. Ben berkacak pinggang, pandangan matanya jatuh ke lantai. "Tapi Sera mengatakan itu padaku." Ada yang tidak beres dengan Sera. Tapi aku tidak mungkin mengatakan secara terang-terangan pada Ben. Aku belum punya bukti apapun atas kecurigaanku. Ben pasti tidak percaya kalau aku katakan ada sesuatu yang aneh pada Sera tanpa bukti. Tapi sekarang aku harus membela diri, karena apa yang Ben katakan itu tidak benar. "Terserah kau mau percaya padaku atau tidak, tapi kau kenal aku bagaimana, Ben." Ben diam. Aku juga diam. Merasakan kesat di mulut karena belum sikat gigi. Aku mengutuk dalam hati jika wanita itu sengaja bicara yang tidak-tidak pada Ben. Kalau begini caranya, aku memang harus hati-hati pada wanita itu. Siapa tahu dia mau merusak reputasiku di depan Ben. Tapi kalau di pikir-pikir juga untuk apa. Aku dan Ben juga sudah berpisah. Sudah selesai. Ben masih tidak mau masuk, berdiri diam di ambang pintu. Masih berhadapan denganku yang belum mandi dan kepala berdenyut. "Ben, aku mau mandi dan sarapan. Kau masih mau berdiri di sini atau masuk?" Dia dikejutkan oleh speaker tukang roti yang baru saja lewat depan rumah. Bunyinya memang nyaring memekakan telinga. Ben memalingkan wajahnya padaku seolah berpikir. "Aku pergi saja." Ben menjawab kemudian pergi dari hadapanku, masuk ke mobilnya dan bablas tanpa mengucap salam. Apa aku baru saja sedang dilabrak? *** Siang ini tidak ada kegiatan penting yang harus aku lakukan. Aku hanya menghabiskan waktu ber jam-jam dengan duduk duduk sambil memperbarui beranda f*******:, membuat story i********:, dan bolak balik melihat status orang-orang di twiter. Jadi seperti ini rasanya jadi pengangguran. Saat aku dengan tekun melihat foto-foto di beranda i********:, ada satu postingan yang membuat aku tergiur. Bukan ide buruk kalau sekarang aku pergi ke restoran cepat saji dengan diskon yang sedang berlangsung. Jadi, aku segera ganti baju, menyandang tas ke pundak dan segera memesan ojek online. Satu-satunya hal yang tidak aku suka saat ini adalah aku harus menggunakan angkutan umum. Membuat repot dan buang-buang uang. Aku berjanji akan menelengkan kepala Vivi kalau anak itu sudah ditemukan. Bahkan itu tidak cukup menjadi hukuman baginya. Pergi makan sendiri saat dirimu baru saja jadi bangkrut dan pengangguran, termasuk hal menyenangkan. Walau aku sekarang mengkhawatirkan kondisi keuanganku. Ini kali pertamanya aku harus itung-itungan dulu saat mau makan. Aku sedang mengunyah burger besar saat mataku bertubrukan dengan seseorang. Aku mengumpat dalam hati, kenapa dia harus hadir di saat aku sedang menikmati hari-hari indah ini. Aku buru-buru menelan burger yang sedang aku kunyah dan menyambar coca cola. Dia membentuk garis tipis di bibirnya, lalu berjalan ke arahku. Oh s**t ini bukan waktu yang tepat. "Aku tidak tahu kalau diriku sebegitu pentingnya bagimu, sehingga kau harus mencari tahu tentang aku pada orang lain." Sejak pertama kali kami bertemu, wanita ini memang sudah menabuh genderang perang padaku. "Aku juga tidak tahu kalu kau seorang tukang ngibul yang sama sekali tidak berbakat." Dia menaruh clutch miliknya di atas meja. "Aku juga tidak tahu apa tujuanmu menyuruh orang untuk membeli rumahku." "Kau ingin menjual rumahmu dan pergi dari sini. Aku hanya mempercepat prosesnya saja." Aku tiba-tiba terserang rasa mulas. Kenapa perutku tidak bisa diajak kompromi di saat saat genting seperti ini. "Kau tidak perlu repot-repot, Ser." Pasti aku sudah gula. Dari mana aku mendapat panggilan sok akrab itu. "Aku harus melakukannya, Ana." "Kenapa harus?" "Bukankah Rey lebih baik bersama dengan kedua orang tuanya yang utuh?" Aku mendengus sebal. Memalingkan kepalaku pada tembok kaca. Melihat mobil mobil dan motor motor terparkir di sana. Lalu tertawa kecil. Jadi, ini soal Ben. Kalau mau ambil saja. Aku juga sudah tidak peduli. "Kalau kau sangka aku masih mengharapkan Ben, kau salah besar. Aku dan dia sudah memutuskan untuk tidak bersama lagi. Dan kau tenang saja, tidak perlu ada yang kau khawatirkan terhadap aku dan Ben." Sebisa mungkin aku berusaha tetap tenang. Alih-alih mencakar wajahnya, aku mengambil kentang goreng dan menggerusnya di mulutku kuat-kuat seolah aku sedang makan batu, bukan kentang. "Aku bukam mencemaskan Ben, itu bukan urusanku." Sera menggeleng di tempat. "Tapi, Abyan. Aku mencemaskan perasaannya padamu. Jadi, lebih baik kau segera pergi dari kota ini sejauh mungkin." Kentang goreng itu tidak sempat masuk ke dalam kerongkonganku. Kentang itu justru dentan tidak tahu diri keluar dari mulutku dan jatuh ke lantai bersama dengan jantungku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD