Who is she

1012 Words
Menekan rasa gengsi, aku mengunjungi apartemen Fay. Semenjak perdebatan kami di Read Eat soal uang 800juta, aku belum menghubungi dan minta maaf padanya. Sekarang aku justru menekan bel pintu apartemennya dengan rasa tidak tahu malu. Berharap dia bisa menampung segala kepenatan di kepalaku. Karena tidak ada lagi yang bisa aku jadikan tempat berkeluh kesah. Walau Fay tidak punya uang 800juta itu bukan lagi masalah. Yang penting saay ini, adalah keberadaannya. Sudah berkali-kali aku menekannya, tapi Fay tak kunjung membukakan pintu. Aku menunggu dengan gelisah. Ya Tuhan apa hidupku ini hanya untuk menunggu. Bahkan untuk sebuah pintu terbuka. "Ana." Fay agak terkejut melihatku. Wajahnya berubah kaku, lalu menoleh ke belakang seperti hendak memeriksa sesuatu. "Hai, aku.. Aku bisa masuk?" Fay tidak menjawab tapi dia juga tidak menutup pintunya, itu artinya dia mengijinkan aku masuk ke dalam, tapi dia gengsi untuk mengatakannya. Aku mengangkat kedua bahu tidak peduli kemudian masuk mengekor di belakangnya. Mataku terpaku pada sepasang sepatu vans hitam saat aku melepas sepatuku. Selama aku kenal Fay, dia tidak akan mungkin memakai sepatu seperti ini, dan ukurannya juga besar. Sudah pasti ini bukan miliknya. "Ada tamu?" Tanyaku begitu aku duduk di sofa ruang televisi. Apartemen Fay cukup luas, dengan bangunan modern yang berada di pusat kota Jakarta. Aku yakin Fay pasti merogoh kocek yang dalam untuk tinggal di sini. "Rafael," jawabnya. "Si koki itu." Fay berubah jadi centil. "Dia di mana?" "Sedang beli makan di bawah." Aku mengangguk kecil. "Jadi, ada apa?" tanya Fay, sambil mengambil satu batang rokok dari dalam bungkusnya. "Menurutmu aku harus pergi saja atau tidak?" "Tidak usah," Fay mengibaskan tangannya. "Rafael santai, kok. Dia cepat akrab dengan orang baru." "Bukan itu maksudku." Aku menjelaskan kesalah pahaman. "Aku sudah menjual mobilku untuk membayar gaji karyawan dan biaya operasional yang belum aku lunasi. Aku juga akan menjual rumahku, dan berencana pergi dari Jakarta." "Kenapa?" Badan Fay bergerak maju. Dia menjulurkan lehernya padaku. "Kau sekarang jadi buronan?" Fay mengepulkan asap rokok ke udara, yang sebagiannya menerpa wajahku. Membuat aku megap-megap karena sesak. "Astaga, tidak, Fay. Aku hanya.." aku menggantungkan kalimat. Berpikir sebentar, lalu melanjutkan. "Benar juga, aku bukan buronan. Jadi, kenapa aku harus pergi dari Jakarta." "Untuk menghindar dari segala kenyataan ini?" Aku mengangguk tidak yakin. "Hey, kalau kau terus menghindar masalah ini tidak akan pernah selesai." "Tapi bagiku semuanya sudah selesai, Fay." "Perasaanmu pada Abi juga sudah selesai?" Aku menghela napas. Merasa luar biasa melelahkan. Bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya menyudahi kekacauan ini. "Aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, Fay. Dia memintaku untuk menunggu, menunggu menjelaskan sesuatu yang rumit itu. Apa aku harus menunggu sampai mampus?" "Tentu saja!" Fay menjawab mantap. "Tunngu saja, sambil gebet pria lain untuk selingan. Agar waktu menunggumu tidak bosan." Fay menjauhkan kepalanya saat aku akan melayangkan pukulan padanya. Kepalanya memang perlu ditinju agar otaknya bisa berada di tempatnya. Karena aku merasa otak Fay sudah bergeser jauh. "Apa tidak ada ide yang lebih buruk lagi?" tanyaku sarkas. "Itu sudah paling bagus." Fay membalas, lalu menaruh rokoknya yang masih menyala di asbak. Ponsel Fay berdering nyaring, dia memeriksa ponselnya lalu menekan tombol hijau dan berdiri begitu selesai bicara. "Aku mau ke bawah, bantu Rafael membawa makanan." "Aku ikut, aku mau beli sesuatu." *** Kakiku terhenti saat aku ke luar dari minimarket bersama Fay dan Rafael. Dari kejauhan aku melihat seseorang yang aku kenal belum lama ini. Ada yang aneh dari orang itu. Aku tidak lupa dan sedang tidak hilang ingatan. Penglihatanku juga masih berfungsi dan aku bukan penderita prosopagnosia. Jadi aku bisa sangat mengenali siapa orang yang memakai seragam security itu. Itu kan orang yang mau membeli rumahku. Bagaiamana bisa seorang security... Tidak, maksudku bukan meremehkannya. Tapi, berapa sih gaji seorang security sehingga bisa membeli rumah sebesar 400juta. Tapi, bisa jadi dia baru dapat warisan. Mungkin saja. Tapi, penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya kami bertemu. Fay berteriak saat aku berlari begitu saja, tapi aku tidak peduli. Aku harus bertanya pada security itu, dari mana dia dapat uang 400juta dengan pekerjaannya sebagai security. "Pak!" Bapak-bapak ini nampak terkejut saat aku berdiri di hadapannya. Dia gelagapan seperti maling yang sedang tertangkap basah. Dia pasti langsung mengenaliku. "Maaf, Bapak yang tadi mau membeli rumah saya, 'kan?" Mulutnya membuka dan menutup. Dia tidak menjawab, hanya megap-megap di tempat. Aku segera menahannya saat dia terlihat akan pergi. Pasti ada yang tidak beres. "Maaf, Bu, saya hanya disuruh." Katanya membuat aku heran. Benar, pasti ada apa-apanya. "Maksud, Bapak?" "Saya hanya disuruh oleh seorang perempuan untuk membeli rumah Ibu. Betul, Bu, saya tidak bohong." Badannya mengkerut ketakutan. Padahal aku tidak akan memakannya. "Maksudnya, Bapak tidak benar-benar ingin membeli rumah saya?" "Betul, Bu." Dia mengangguk takut-takut. "Bukan saya yang mau membeli, saya hanya dapat perintah untuk membeli rumah Ibu." Kedua tangan pria itu bersedekap di depan d**a, seolah aku akan menerkamnya saja. Aki memijat keningku sambil menatap pria di depannku antara kesal dan kasihan. "Siapa yang menyuruh, Bapak?" Tanyaku pada akhirnya. "Dia tidak memberi tahu namanya." "Ciri-cirinya?" tanyaku cepat. Kenapa ada orang yang menyuruh seseorang melakukan hal konyol ini. "Perempuan, cantik. Rambutnya keriting panjang, warnanya coklat. Tinggi, putih." Bapak security ini menjelaskan ciri-ciri orang itu dengan terbata-bata. Berusaha sedang mengingat-ngingat. Otakku langsung berputar cepat mencari orang yang kukenal, dengan ciri-ciri mirip yang disebutkan bapak security itu. Sesaat kemudian sebuah ingatan tiba-tiba datang padaku, menyerang otakku begitu cepat. Ciri-ciri perempuan itu seperti.. Sera? Ya, saat ciri-ciri itu disebutkan hanya wanita itu yang terpikir olehku. Tapi, untuk apa dia menyuruh orang ini membeli rumahku. Kalau dia ingin membelinya, kenapa tidak secara terang-terangan saja. Atau mungkin apa yang aku lihat mengenai Sera saat ini bukanlah dia yang sebenarnya. Dia pasti punya rencana sesuatu yang terselubung. Sesuatu yang tidak boleh ada yang tahu. Mungkinkah dia sedang bekerja sana dengan Abi? Masih dalam rasa penasaran yang tinggi, aku membuka tasku, merogoh isinya dan mengeluarkan ponselku. Mebuka aplikasi w******p, mencari nama Sha di sana dan menghubunginya. "Sha, kapan acara Jakarta Fashion Week diadakan?" Tanyaku begitu Sha menjawab panggilan telepon. "Hari sabtu ini, An." Jawab Sha. "Kenapa?" "Pastikan aku dan Fay bisa hadir dalam acara itu." Ucapku cepat. Ya, Fay harus ikut. Aku harus cari tahu siapa sebenarnya wanita bernama Sera itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD