Maksud hati ingin segera melihat matahari dan menyongsong hari esok, aku justru terbangun dengan keadaan masih gelap karena sentuhan seseorang di pipiku. Dan saat aku membuka mata, aku menemukan wajah Abi yang sudah berada di depan wajahku. Mengagetkan saja.
Aku bangun dengan mata yang setengah terbuka. Melihat Abi yang memakai pakaian tidurnya.
"Jam berapa ini?"
"Sebelas."
"Malam?"
"Menurutmu? Matahari saja belum muncul." Ah, ya Tuhan kapan sih sikap manisnya bertahan lama.
"Kau baru pulang?" aku menggaruk-garuk kepalaku kemudian menguap.
"Iya."
"Sudah makan?"
"Sudah," dia mengangguk. "Tadi siang." Lanjutnya.
"Hah?" aku terperanjat dan seketika rasa kantukku lenyap. Abi membekap mulutku dengan tangannya dan menyeretku keluar dari kamar Rey. Saat kami sudah berada di luar kamar, aku meninju perutnya hingga tangannya yang berada di mulutku terlepas. "Bagaimana bisa kau lembuar kerja dengan melewatkan makan malam." Gerutuku sambil berjalan ke arah dapur. Aku sudah tahu setiap sudut rumah ini di luar kepala. Rumah Abi juga tidak terlalu besar, tapi terlihat luas karena dari pintu masuk hingga taman belakang sama sekali tidak ada sekat.
Abi duduk di meja makan setelah aku perintahkan. "Nih, makan."
Dia memandangku sesaat kemudian mulai mengambil nasi. "Ini makanan dari kapan?"
"Tadi sore. Aku sengaja bawa dari Read Eat. Siapa tahu kau lapar setelah pulang kerja."
Seperti ada yang menyengatku dengan listrik, aku terlonjak di tempat. Tanpa aba-aba, Abi melayangkan kecupan singkat di pipiku. "Terima kasih, atas segala perhatiannya."
"Tidak usah berlebihan." Aku mendengus. Dia tidak tahu seberapa kuat aku menahan diriku agar terlihat biasa saja. Padahal, aku masih merasakan gelenyar di pipiku. "Habiskan, jangan ada sisa."
"Iya, sayang."
Aku melotot sedangkan dia tertawa, lalu mulai makan dengan khidmat. Kurasa ini memang bukan jalan yang terbaik untuk aku dan Abi. Ini salah. 30 hari yang salah.
Setelah Abi menyelesaikan makananya, aku segera membereskan meja makan dan mencuci piring dengan cepat, karena sudah tidak sabar melanjutkan tidurku yang sempat terganggu. Tapi, langkahku terhenti saat aku melihat Abi duduk di lantai beralaskan karpet bulu di depan televisi, sedang sibuk dengan laptopnya. Alih-alih masuk ke kamar Rey, aku justru menghampiri Abi.
"Masih belum selesai kerja lemburnya?"
"Sedikit lagi, tinggal merapikan laporan dari anak-anak."
"Anak-anak?" tanyaku aneh.
"Team kerjaku."
Aku hanya mengangguk dan mulai bosan melihat Abi yang nampak serius mengetikan sesuatu di laptopnya. Aku mulai mencari-cari kesibukan sendiri dengan mengobrak-abrik meja televisi yang diisi oleh banyak buku-buku. Dan tanganku berhenti di sebuah album foto. Ya, apa salahnya ingin tahu.
Di dalam album foto ini, banyak sekali foto-foto anak kecil bertubuh gempal. Saat aku membuka halaman berikutnya, aku menemukan kelompok manusia berseragam SMA. Tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Dua orang laki-laki dan satu orang perempuan ini, aku seperti mengenalinya, tapi tidak dengan satu anak laki-laki bertubuh gendut dan berkaca mata.
"Bi."
"Hmm."
"Ini, anak laki-laki gendut dan berkaca mata yang mengenakan seragam SMA, siapa?"
Sepertinya Abi mendapatkan perhatiannya. Tubuhnya merapat padaku dan mengambil abum foto yang sedang aku pegang.
"Kau tidak kenal?" Aku mengernyit kemudian menggelengkan kepala. "Itu aku." Aku melotot tidak percaya. Lalu menatap Abi dan melihat foto tersebut secara bergantian. "Yang ini," dia menunjuk anak laki-laki yang berdiri di paling kiri. "Arsenio." Katanya. "Yang ini," dia menunjuk laki-laki di sebelah penampakan bang Arsen remaja. "Ben." Reflek aku tersenyum dan mengusap wajah Ben di sana. "Dan ini," dia menunjuk foto anak perempuan. "Viona." Tidak ada yang berubah. Ternyata wanita diskon 70% itu memang cantik dari lahir. "Dan ini," kali ini dia menunjuk penampakan anak laki-laki gendut. "Aku."
"Serius?" aku tertawa membahana. "Kau operasi plastik?" siapapun yang melihat foto Abi saat remaja dan melihat penampakan Abi sekarang, pasti memiliki pendapat yang sama denganku. Mereka sangat jauh berbeda. Bagaimana bisa seorang anak laki-laki gendut, yang mungkin dikucilkan dari pergaulan, bermetamorfosis menjadi pria dewasa yang sangat memesona.
"Enak saja." Katanya sebal. "Aku mengalami obesitas. Dan dokter menyarankan aku untuk diet, karena jika berat badanku terus seperti ini akan membahayakan kesehatanku." Dia mulai menjelaskan. "Tapi, aku terlalu malas dan mengabaikannya. Sampai akhirnya aku masuk ke universitas dan bertemu dengan," dia menggantungkan kalimatnya. Aku menunggu dengan was-was. "Sera." Tuh, kan. Seketika aku kehilangan mood. "Seperti kata orang, jatuh cinta bisa mengubah orang jahat menjadi baik dan orang baik menjadi jahat. Begitu pun denganku, jatuh cinta mengubah orang gendut menjadi sangat memukau." Katanya penuh percaya diri. Sedangkan aku sudah semakin dongkol. Seberapa hebat sih wanita bernama Sera itu. "Aku mulai diet ketat, olahraga, menjaga pola makan, dan pola hidup. Aku hanya membutuhkan waktu kurang dari satu tahun untuk mendapatkan berat badan yang ideal." Dia tersenyum lebar penuh kemenangan. "Setelah itu sampai sekarang aku selalu menjaga kesehatan."
"Kenapa?"
"Karena kesehatan itu penting, Ana," dia menaruh album foto ke karpet bulu dan tangannya beralih mengusap kepalaku. "Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang disekitar kita yang kita sayangi." Tanpa diduga dia mencium pelipisku. Aku hanya menghela napas dan melirikkan mataku tidak berani menatap matanya terang-terangan.
Tapi, siapa yang akan peduli dengan rasa gugupku. Termasuk Abi. Dia bukannya pengertian, justru menggiring kepalaku agar menoleh padanya. Hingga sekarang kami nyaris tidak memiliki jarak. Reflek, aku menahan napas saat jemari Abi menyingkap rambutku ke belakang telinga. Bergerak turun mengelus pipiku dengan begitu pelan hingga aku bisa merasakan kulit kami yang bergesekan. Matanya terus fokus padaku seakan sedang mengunciku agar tidak lari ke mana-mana. Memangnya dalam keadaan seperti ini, aku bisa menggerakan tubuhku?
Sekujur tubuhku panas dingin saat tengkukku di sentuh oleh telapak tangan Abi yang lebar. Kepalaku bergerak maju dengan sendirinya. Bukan, bukan bergerak sendiri. Tapi tangan Abi yang menuntun kepalaku agar terus mendekat ke wajahnya. Tapi sekarang belum saatnya menutup mata.
"Apa yang aku rasakan kepada Sera hanya bagian dari masa laluku." Aku membasahi bibirku. Pandanganku mulai tidak fokus. "Semuanya lenyap, begitu kau datang tanpa permisi mengacaukan hari-hariku. Seumur hidupku, aku hanya jatuh cinta satu kali. Aku tidak paham dengan apa yang aku miliki padamu saat ini. Yang jelas, aku tidak ingin kau menghilang dari jarak pandangku." Pasokan oksigen mulai menipis. Aku butuh napas buatan. Oh, bukan. Maksudku, butuh tabung oksigen. Udara segar. "Jadi, bisakah kau terus bersamaku?"
Tenggorokanku tercekat. "Aku akan menikah, Bi." Ucapku lirih.
Pandangan matanya menggelap. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya, tapi harus aku lakukan demi menjaga kewarasan otak kami.
Aku dan Abi harus terus berada dalam kenyataan, bahwa kami memang tidak bisa bersama. Dan perasaan ini sulit untuk dikembangkan.
Ada hening yang panjang. Abi, kembali pada pekerjaan lemburnya, mengotak atik kembali laptopnya. Sedangkan aku hanya menghela napas, menyongsong kekosongan di tengah malam yang sunyi. Aku memang sedang menghancurkan segalanya.
Kurasa, Fay benar. Semuanya sedang tidak baik-baik saja.