That's girl

1026 Words
Lamunanku buyar saat ada sentuhan hangat di pipiku yang berasal dari bibir Abi. Hal pertama yang kulihat adalah senyuman pagi milik Abi yang merekah seperti mawar baru mekar. Dia mengambil posisi duduk di meja makan. Sepertinya mood dia sudah kembali normal. "Aku tidak menyimpan bahan-bahan makanan seperti ini di rumah." Abi memandang heran pada makanan yang berada di atas meja makan. Jelas. Aku bukan orang yang bisa melihat meja makan kosong melompong di pagi hari. Jadi, saat bangun tidur dan melihat tidak ada apa-apa di dapur, aku langsung melesat keluar rumah. Dan beruntung tukang sayur lewat begitu aku berjalan keluar. "Kau tidak pernah mendengar yang namanya tukang sayur?" "Pernah," katanya. "Tapi, tidak pernah melihat." Sudah kuduga. Dia persis seperti ayah dulu ketika ditinggal mami pergi. Hidup sendiri dan tidak pernah ada persediaan bahan makanan apapun di rumah. "Makan." Aku menyodorkan sepiring nasi padanya lengkap dengan lauk pauk. "Aku akan bangunkan Rey untuk sarapan juga." Baru aku beranjak dari kursi, Abi mencekal lenganku. Aku memandangi tangannya yang dia gunakan untuk menahanku. Matanya mengawasi aku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah aku ini objek yang sayang untuk dilewatkan. "Ini..." ucapnya. "Kau memakai baju Sera?" Aku menyipitkan mata. Kemudian memandangi dress warna mint yang sangat feminin yang sedang ku kenakan. Saat dengan lancang aku membuka lemari Abi setelah mandi, aku menemukan beberapa pakaian wanita di dalamnya. Dan aku segera menduga bahwa semua itu adalah milik Sera. Setelah melihat semua jenis pakaian milik wanita itu, aku sudah bisa menilai bahwa Sera jenis wanita yang lembut dan feminin. "Memangnya ada perempuan lain lagi yang tinggal di sini selain Sera?" Aku tidak bisa mengendalikan nada bicaraku agar tidak terdengar sinis. Tidak bisa. Aku juga terpaksa memakai baju milik wanita itu karena tidak mungkin aku telanjang di dalam rumah. "Tidak ada satu wanita pun yang tinggal di sini." Katanya. "Bahkan kau wanita pertama yang tidur di ranjangku." Telingaku bergetar panas saat mendengar kalimat terakhirnya. Pipiku pasti sudah merona tak karuan. "Lalu, ini milik siapa?" Tanyaku berusaha menekan rasa gugup. "Ini bukan milikmu sebelum kau ganti kelamin, kan?" Aku serius dengan pertanyaannku. Tapi Abi justru tertawa terbahak sambil berdiri. Dan aku merengut di tempat tidak suka. "Ini memang milik Sera." Ujarnya. "Tapi Sera tidak pernah tinggal di rumah ini." Lanjutnya. "Setelah aku menikahi Sera, dia memilih tinggal sendiri di apartemennya. Dia bilang, aku mau menikah dengannya saja sudah lebih dari cukup. Dia tidak ingin lagi lebih merepotkanku dengan tinggal bersamaku." Dia mulai mendekat dan aku segera waspada. Bukan apa-apa, Abi seringkali melakukan gerakan tiba-tiba yang membuat aku serangan jantung. "Kalau kau tidak suka aku memakai pakaiannya, aku bisa melepasnya." Wajah Abi berubah cerah sekaligus tengil. "Serius?" Tanyanya seperti baru mendapat kabar bahwa dia menang undian mobil. "Kalau begitu, lepaskan. Di sini. Semuanya. Sekarang." Aku melongo. Kupikir aku sudah salah bicara. Maksudku dengan melepas baju bukan di sini. Di tempat lain yang tidak terlihat olehnya. Aku meninju perutnya dengan keras. Tapi dia tertawa dan dengan cepat menangkap tanganku yang digunakan untuk memukulnya. Aku berusaha melepas diri, tapi sesaat kemudian dia menarik tanganku hingga kini tubuhku menempel di dadanya. Apalagi yang akan dia lakukan. "Aku tidak pernah melihatmu memakai rok." Seringaian di wajahnya membuat aku panas dingin. "Ternyata kau lebih manis saat menggunakannya." Suara baritonnya membuat bulu kudukku meremang. Dia merendahkan kepalanya sehingga tatapan mata kami sejajar. Kornea matanya yang coklat teduh mampu menyihirku sampai-sampai aku larut masuk ke dalamnya dan lupa daratan. Dan pagi ini berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Mendadak aku menyukai cahaya matahari pagi dan aroma tubuh Abi yang melesak masuk ke rongga hidungku, membuat aku mabuk kepayang. Serta sentuhan hangat bibirnya yang bergerak lembut di permukaan bibirku. Diam-diam aku khawatir bahwa ciumannya akan menjadi zat adiktif bagiku. Membuat aku meminta lebih, lebih dan lebih dan tak ingin berhenti. Saat bibirnya tak lagi berada di bibirku aku mulai kehilangan, tapi segera dia gantikan dengan menyentuhkannya di kulit leherku. Kepalaku mendongak memberi akses lebih mudah untuknya. Saat kami mulai melayang, saat itu juga kami dijatuhkan dengan sekali sentakan ke bumi. "Ayah!" suara itu. Rey! Tidak. Kami segera memisahkan diri lalu saling pandang satu sama lain dengan terkejut. Rey berdiri di ambang pintu kamarnya sambil mengawasi sekitar. Sepertinya dia mencari-cari keberadaan ayahnya. Aku menelan ludah lalu sebelum aku pergi, aku melihat wajah Abi yang memerah membuat aku terkekeh geli. Ini benar-benar pagi yang luar biasa. Sinar matahari pagi, ciuman panas, wajah Abi yang memerah dan kemeja kusut. Semuanya perpaduan yang sangat pas. *** Semua yang terjadi dari kemarin malam hingga pagi tadi terus berputar di kepalaku. Sepertinya hal ini akan menyulitkanku untuk konsentrasi dalam bekerja. Ah sial, kenapa pria itu memiliki potensi sebagai pencium yang andal. Apa dia sering melakukannya dengan banyak wanita? "Ana." Aku tersentak di tempat saat ada seseorang yang memanggil. Aku menoleh ke samping dan mendapati wanita berkulit putih, rambut panjang dengan ikal di bagian bawah, rok span yang menutupi setengah pahanya dipadukan dengan kaus spandek warna krem. Dia menyeringai memandangiku. Aroma vanilla di tubuhnya seolah menusuk hidungku saat dia mengibaskan rambut coklat panjangnya. Kedua tanganku menyilang di depan d**a seraya menghadap sepenuhnya pada wanita bernama Sera ini. Aku berharap, Sera ini bukan Sera. "Aku sama sekali tidak berubah pikiran." Tidak perlu bertanya apa maunya. Aku sudah tahu pasti tujuannya datang ke sini untuk mengincar n****+ Kidung Sunyi. "Bukan itu maksud kedatanganku ke sini." Jawabnya. Suaranya lembut, begitu sangat berhati-hati. "Kalau kau masih mengizinkan, aku mau membacanya saja di sini." "Buku itu sudah tidak di sini." Dia memiringkan kepalanya memasang ekspresi penuh tanya. "Kau memberikannya pada orang lain?" "Yang benar saja." Aku mendengus. Lalu berjalan untuk duduk di sebuah bangku. "Aku simpan di rumahku." Bibirnya yang tipis mengerucut kecewa. "Kenapa kau simpan di rumahmu?" Dia menyimpan tasnya di atas meja, lalu duduk di depanku. "Berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada yang menyelinap ke sini dan mengambil diam-diam buku itu." Matanya memicing merasa tersindir. Tangannya membuka tas warna merah marun mengubek isinya lalu mengeluarkan dompet. "Berapa yang harus aku sewa untuk buku itu?" Aku diam menimbang-nimbang. Harga sewa buku di sini tidak mahal, dan sebenarnya bisa di bawa pulang untuk beberapa hari. Tapi karena sepertinya dia sangat terobsesi dengan buku itu, aku tidak akan membiarkan dia membawanya pulang. Apa aku juga harus pasang tarif mahal?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD