Coming back to me

1005 Words
Fay menyeringai padaku. Aku jadi seram melihatnya. Tapi aku tidak bertanya lebih lanjut lagi. Aku lebih memilih menyaksikan adegan selanjutnya. Christian yang tadinya berhadapan dengan Sera, kini berdiri di samping wanita itu. Lalu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Sera. Tubuhnya yang tinggi, membuat Sera nampak kecil berada disampingnya. "Dia adalah mantan kekasihku selama kami sama-sama berada di Paris." Ucap Christian seolah sedang memberi pengumuman. "Dia memalsukan identitasnya. Dia tidak pernah mengaku kalau dia pernah menikah dan punya anak." Christian menjentikan jarinya kepada para pengawal yang ada di dekat pintu masuk. Lalu mereka semua mengambil amplop coklat besar dari dalam tas, dan mengeluarkan isinya. Pengawal yang berada paling depan mengacungkan sebuah foto ke atas. Otomatis semua orang mengerubunginya. Merampas foto-foto itu dari para pengawal. Dari sini tidak terlalu kelihatan. Seolah mengerti, Fay memperlihatkan sebuah gambar dari ponselnya. Foto Christian dan Sera. Bukan hanya satu, tapi banyak. Mulai dari rambut Sera yang hitam, blonde, coklat. Semua ada di dalam foto ini. "Kemungkinan dia penyuka sesama jenis, salah besar, An." Ucap Fay. "Kemungkinannya, Christian sudah gila saja, mau menikahi Vivi." Otomatis aku tertawa mendengar apa yang baru saja Fay katakan. "Semua foto itu kami ambil 3 tahun yang lalu." Christian kembali membuka mulut. "Kalau memang dia sadar, kalau dia memiliki suami dan anak, dia pasti tidak akan pernah mau berkencan denganku." Sera menatap Christian dengan nyalang. "So, kalian bisa nilai sendiri." Tutup Christian. Mengambil kaca mata dari dalam saku jasnya, kemudian memakainya dan berjalan gagah menuju pintu keluar. "Sudah? Tugasnya begitu saja?" Ucapku. Vivi berdecak. "Walau hanya beberapa menit, kami semua harus membayar mahal. Dia itu sibuk sekali. Bisa duduk-duduk minum kopi selama lima menit saja, sudah sebuah anugrah baginya." "Ciyee.. Sudah saling memahami?" Vivi melotot, dan meninju lenganku. "Astaga, bisa tidak kalian jangan seperti anak kecil. Kalian tidak sadar, kalau saat ini kita berada di situasi genting. Sedang dalam acara penyelamatan harga diri Lusiana." Tandas Fay. "Walau aku tidak yakin, apakah dia masih memilikinya." Kurang ajar. Semua yang ada di sini menyoraki Sera. Menunjuk-nunjuk pada wanita itu. Dan melontarkan kata-kata yang aku juga tidak tahu apa yang mereka ucapkan. Karena begitu bising. Seperti sedang demo di depan gedung DPR. Awalnya mereka hanya menyoraki Sera, tapi lama-lama mereka justru bergerak maju. Aku menarik napas, firasatku mengatakan kalau akan ada sesuatu yang akan mereka lakukan. Dan selang detik berikutnya, mereka menyerang Sera. Ben, yang berdiri tidak jauh dari Sera, langsung berlari. Membawa wanita itu ke dalam pelukan. Kemudian memboyong Sera menaiki tangga. Menyelamatkan Sera dari amukan warga. Beberapa pelayan menghadang orang-orang yang akan menyerang Sera. Tapi pelayan itu kalah banyak. Mereka melakukan aksi dorong-mendorong. Suasana makin ricuh dan tak terkendali. Orang-orang semakin brutal, memaksa untuk naik ke atas. Tapi, pelayan itu berusaha menghadang sekuat tenaga. "Hafidz, Abi, kalian lakukan sesuatu." Mereka berdua hanya saling menatap. Mungkin bingung juga harus bagaimana dengan masa yang banyak ini. Lalu Vivi berlari menuju pintu keluar, dan memanggil para pengawalnya. Pengawal itu juga bingung melihat keadaan ricuh, yang didominasi oleh Ibu-ibu. Kemudian suara keras berbunyi, menggelegar di seluruh ruangan. Aku melihat satu pengawal mengacungkan senjata tajam berupa pistol ke udara. Tapi atap ruko ini tidak bolong. Pasti hanya pistol angin. Namun suaranya begitu keras terdengar. Membisukan suasana bising di dalam toko ini. Semua orang diam ketakutan. "Mohon untuk keluar sekarang!" Teriak salah satu pelayan, yang seragamnya sudah tak berbentuk lagi. Rambutnya yang tadinya di sanggul rapi, kini mencuat ke mana-mana. *** Aku menarik oksigen agar masuk ke rongga paru-paruku. Akhirnya setelah berbulan-bulan aku memperjuangkan apa yang sudah menjadi milikku, semua itu kembali padaku. Bahagianya seperti idul fitri datang enam bulan lebih cepat. Aku membuka private zone. Tidak ada yang hilang dari sini. Semuanya utuh seperti semula. Rak-rak buku, isinya, bangku panjang putih, big bean. Semua yang ada di sini tidak ada yang kurang. Aku rindu tempat ini. Aku berlari menuju jendela kecil, membukanya agar udara segar bisa masuk. Lalu duduk di bangku panjang putih. Tempat kesukaanku. Senyumku tampak lebar. Aku bisa merasakan itu. Jari-jariku menari-nari di atas bangku kayu ini. Memastika kalau aku tidak bermimpi. Semua ini nyata. "Saking bahagianya, kau lupa kalau aku ada di sini?" Aku terlonjak, Abi muncul begitu saja. "Sorry," ucapku, memamerkan deretan gigiku. "Aku memang terlalu senang." Abi mendekat, lalu mengambil posisi di sampingku. Senyummu belum hilang, apalagi ditambah melihat wajahnya. Semakin lebar seperti Joker. Kemudian dengan begitu saja aku melingkarkan tanganku di lengannya yang kejar, dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Dia mengusap puncak kepalaku. "Vivi bilang, Sera sempat memberikan surat perjanjian padamu. Tapi kau menolak. Isinya apa?" Aku mendongak, nyengir lebar padanya. "Mau tahu?" Dia mengangguk. "Mau tahu banget?" Aku cekikikan. "Sayang.." Suara bariton nya mendayu-dayu. Aku menegakkan tubuhku. "Apa? Kau bilang apa tadi?" "Sayang?" Abi mengerutkan kening sambil memiringkan kepalanya. Entah efek terlalu bahagia atau apa, panggilan sayang kau untukku mendesir di hati. Rasanya sendi-sendi tulangku menjadi linu. Mungkin aku pegal-pegal. Atau mungkin tidak. Yang jelas ada perasaan yang beda dari caranya mengucap kata sayang. "Isinya..." Kataku dibuat lama. "Dia.. Memintaku untuk menjauhimu. Kalau tidak, dia tidak akan memberikan jaminan itu padaku." "Lalu?" Aku memberenggut, pura-pura kesal. Tapi ekspresi wajahnya datar. "Aku merusak kertasnya. Merobeknya sampai menjadi serpihan kecil." Lanjut ku berlebihan. Padahal aku, tidak melakukan itu. "Keren." Puji nya padaku. Lalu dia mengusap pipiku oleh ibu jarinya. Tanpa ada yang memerintah aku mengecup singkat bibirnya. Dia tersenyum lembar seperti anak kecil yang dapat hadiah permen. "Jadi, kapan statusmu akan berubah?" "Sudah masuk ke pengadilan, aku tidak perlu datang mediasi agar semuanya bisa cepat selesai." "Hak asuh Rey?" "Pengacara ku akan mengusahakannya. Aku yakin, aku pasti menang. Apalagi jika aku mengeluarkan bukti-bukti peristiwa kemarin." Aku kembali tersenyum, lalu menyandarkan kepalaku pada d**a Abi, yang kini tubuhnya bersandar di punggung kursi. Jariku menari di atas dadanya yang bidang. Karena telingaku juga menempel, aku bisa mendengar detak jantungnya yang beraturan. "Aku doakan semoga semuanya lancar." Tangan Abi merengkuh tubuhku. Sekarang posisi kami saling menempel seperti lintah. "Ya, setelah itu aku bisa secara resmi melamarmu." Kepalaku mendongak. Tersenyum menatapnya. Entah siapa yang memulai Abi mendekatkan wajahnya, lalu bibir kami saling bertaut. Kata melamar, kini sudah tidak terdengar mengerikan lagi bagiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD