Bisnis baru

1067 Words
Video hoax yang beredar tentangku telah hilang, digantikan dengan video saat kebenaran tentang Sera terbongkar. Sejagat maya menjadi heboh. Apalagi popularitas seorang Sera di dunia seni busana menjadi sorotan. Ditambah si crazy rich bernama Christian yang benar-benar crazy. Namanya menjadi headline berita di setiap portal online. Hari ini jadwal mediasi antara Abi dan Sera. Mendadak kami semua seperti selebriti. Banyak sekali wartawan yang menyambangi tempat tinggal Abi dan Sera. Terlebih Sera juga sering bergaul dengan public figur. Banyak selebgram yang membicarakannya, dan mengatakan tidak percaya dengan pemberitaan yang santer di media. Abi memilih untuk tidak hadir di sidang mediasi. Dia bilang agar tidak ada yang perlu dibahas dan semuanya cepat selesai. Untuk keberadaan Sera, aku tidak tahu dia ada di mana. Wanita itu juga tidak pernah menemuiku. Dan kejadian aneh pun sudah tidak lagi terjadi. Seperti yang sudah aku dan Naya sepakati, setelah Read Eat kembali ke tanganku, aku akan menjual restoran ini. Kemudian membuka usaha baru bersama Naya. "Kalau diperkirakan, restoranmu bisa tembus di angka 2 M." Pungkas Vivi. Kami sedang berada di lantai bawah Read Eat. Duduk di kursi yang berdebu. Ruangan ini terasa hampa dan sepi. "Ditambah dengan yang di Bogor." Katanya. "Itu juga mau dijual?" Mengingat pembangunannya baru saja dimulai, belum jadi apa-apa. Mungkin yang bisa terjual hanya tanahnya saja. Tapi, untuk menjual restoran ini bukan hal yang mudah. Pasti akan lama terjual, karena jual beli properti beda dengan jual beli emas. Seharusnya dari dulu aku ikuti saran Fay untuk bermain saham. Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat. "Tapi aku tidak yakin akan cepat terjual." Lirihku. Aku mengetuk-ngetukan jemariku di atas permukaan meja. "Bagaimana kalau kita pakai jasa agent properti saja." Usul Vivi. Aku menegakkan tubuh. Boleh juga idenya. "An, ini sudah matang belum, sih?" Naya berteriak nyaring dari arah dapur. Suaranya menggema di seluruh ruangan ini, karena kosong. Aku menghampiri Naya ke dapur. Wanita yang rambut coklatnya di cepol ke atas, sedang membuka oven dan memeriksa pie yang sedang dipanggang. Naya bilang, dia mau diajarkan membuat kue pie s**u padaku. Dia punya rencana besar yang aku tidak boleh tahu. Karena Naya agak sedikit aneh, jadi aku tidak terlalu bertanya lebih jauh "Coba kulihat." Naya menggeser tubuhnya. Lalu aku mengeluarkan kue pie dari dalam oven untuk memeriksa tingkat kematangan. Kalau urusan membuat dessert, aku jagonya. "Sekitar lima menit lagi." Aku kembali menutup oven tersebut. Peralatan memasak memang masih utuh. Aku berencana untuk melelang peralatan yang sekiranya tidak akan dipakai lagi. Dan menyimpan alat-alat memasak yang kemungkinan akan terpakai. Naya menarik kursi plastik, lalu duduk di sana. Sedangkan aku bersandar di dinding. Apron merah muda yang dikenakan Naya membuat aku ingin tertawa. Pink shock. Astaga! Kenapa dia harus memilih warna menyala seperti itu. "Tempat ini, pasti akan selalu aku rindukan." Ucapku tiba-tiba. "Ini bukan hanya sekadar bisnis mencari nafkah. Tapi juga mimpiku." Aku tersenyum getir. "Aku ingat saat pertama kali tempat ini ada. Awalnya hanya perpustakaan umum. Lama-lama menjadi besar seperti ini." "Dan wanita itu sudah menghancurkan segalanya." Mata Naya membulat lebar. Terkesan begitu kesal. "Aku sudah ingin melupakannya." "Kalau kau tidak mau menjualnya, tidak masalah." Kepalaku menggeleng. "Aku sudah tidak ada modal untuk kembali membuka usaha ini. Jadi, lebih baik dijual saja." Naya mengedikkan kedua bahunya. Lalu aku kembali memeriksa kematangan kue pie. Kuenya sudah matang. Aromanya wangi sekali. Kalau menggunakan bahan-bahan premium, pasti tidak akan pernah gagal. Aku menaruh loyang alumunium berbentuk persegi empat itu ke atas meja. Kemudian mengambil kue pie dan menaruhnya di nampan kecil. "Sudah jadi?" Tanya Naya dengan antusias. "Wangi sekali." Naya mengayunkan tangannya menangkan udara agar aroma kue masuk lebih banyak ke rongga hidung. "Enak nih," selosor Vivi tiba-tiba muncul. "Cobain, deh." Naya mengambil kue pie yang masih panas di atas loyang, lalu menyuapkannya pada Vivi. Mata Vivi membulat lebar sambil mengunyah. Dia menarik napas panjang. "Sumpah, ini kue pie yang paling enak yang pernah aku makan." Kata Vivi semangat. "Kau sering makan kue pie?" Tanya Naya. "Baru kali ini." Celetuk Vivi. Dan kami seketika tertawa. Aku tahu Vivi bohong soal baru pertama kali makan kue pie. Lagipula manusia mana yang belum pernah makan kue pie. "Aku punya ide." Seketika Naya berjengit. "Bagaimana kalau kue pie ini kita jual?" katanya. "Kita bisa pasarkan ke toko offline atau promosi lewat sosial media." "Nah, sosial media." Vivi menjentika jarinya seolah sesuatu yang besar muncul. "Kau kan sedang viral. Bagaimana kalau kita manfaatkan popularitasmu untuk mempromosikan bisnis ini." Aku dan Naya menatap Vivi dalam keterpanaan. *** Menurut kata pepatah. Ada pelangi setelah hujan. Ada kemudian setelah kesulitan. Ada hikmah dibalik setiap cobaan. Mungkin inilah yang dimaksud dengan pepatah tersebut. Dibalik viralnya video hoax tentang aku sebagai pelakor, aku jadi banyak diundang ke podcast youtuber. Aku tidak perlu memakai jasa agent properti untuk menjual rumahku. Sekali datang ke podcast tersebut, restoranku langsung ada yang mengakuisisi. Mengambil alih secara komersial. Dan dalam sekejap mata, uangku jadi banyak lagi. "Jangan lupa bayar pajak." Celetuk Abi saat aku baru saja mencetak mutasi pada buku rekening. "Tidak perlu diingatkan. Aku warga negara Indonesia yang baik dan patuh akan pajak." Jawabku. Tapi tatapanku masih pada nominal uang yang tercetak di buku rekening. "Masih mau bisnin kue pie bersama Naya?" "Ya, itu rencana Naya. Yang kalau dibatalkan akan merusak ketenanganmu." Kataku. "Lagipula aku ingin sekalian membantunya. Aku tahu bagaimana lelahnya jadi pengangguran." "Kapan dimulai?" Aku menoleh pada Abi, lalu memandangnya yang memakai kemeja hijau army. Rambutnya dipangkas pada sisi kiri dan kanan tipis-tipis. Semantara di bagian tengah kebelakang dirapikan sedikit. Dia terlihat lebih segar dari minggu lalu. "Setelah mendapat suntikan dana dari Christian." Aku menutup buku tabungan lalu memasukannya ke dalam tas. "Christian?" tanya Abi heran. "Ya, Vivi mengajukan proposal investasi kepada Christian. Lalu pria itu mau saja menjadi investor." "What? Bagaimana bisa? Usaha kalian saja belum ada." "Sudah Vivi bilang, Christian itu crazy rich yang benar-benar crazy. Pria gila kaya raya." Aku berdecak. Aku tidak sanggup membayangkan seberapa banyak uang yang dimiliki Christian. Dia masih muda, tampan, bisnis propertinya yang meroket. Sayang, dia harus menikah paksa dengan Vivi. "Aku curiga, Christian benar-benar mencintai Vivi." "Apa?" Aku menyemburkan tawa dengan dahi berkerut. Merasa kalau gagasan Abi barusan sangat tidak tepat. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" "Hanya pria yang benar-benar cinta, yang rela menghabiskan segala bentuk materi untuk wanita itu. Sekarang, berapa ratus juta yang Christian keluarkan untuk seorang Vivi?" Aku menyipitkan mata, lalu memandangnya dengan seksama. Kemudian wajah ku mendekat padanya. "Bagaimana denganmu? Seberapa besar kau cinta padaku? Dan berapa nominal uang yang kau habiskan untukku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD