Wait. Tunggu. Pria itu.
Aku membulatkan mata besar-besar. Meyakinkan diri bahwa apa yang sedang aku lihat bukan kesalahan. Sedetik itu juga seperti ada yang menghantam telak tepat di dadaku. Aku ingat. Aku tidak lupa. Aku tidak amnesia. Bagaimana bisa dia..
"Hey!" ucapku lantang sambil berdiri dari tempat. Pria itu membalikan badan dan menoleh padaku. Bukan cuma aku yang terkejut, tapi dia juga demikian. Matanya membulat lebar, wajahnya seketika menjadi kaku. Dia juga pasti tidak lupa denganku. "Kau.. Kau.. Si klimis penagih hutang, kan? Kenapa kau bisa ada di sini, kau.."
Pria itu megap-megap di tempat. Matanya berlarian ke mana-mana. Aku tahu dia siap dengan kemungkinan yang terjadi, aku juga. Jadi begitu dia mau mengambil langkah seribu, aku juga sudah siap.
Begitu dia akan kabur dan keluar dari ruang kerja, aku sudah menarik seragam bengkelnya dari belakang, mencengkeram sekuat tenaga. Sementara dia memberontak keras. Semakin dia berusaha untuk kabur, aku semakin menguatkan tarikanku di bajunya yang penuh oli.
"Kau jangan kabur, ya."
Dia menggoyang-goyangkan tubuhnya berusaha melarikan diri. Tapi tidak akan aku biarkan. Tidak cukup membuatnya diam, aku beralih dari mencengkeram seragamnya, jadi menjambak kuat rambut klimisnya yang saat ini tidak klimis lagi. kedua tanganku menarik rambutnya ke belakang sekuat tenaga, membuat dia berteriak.
"Aarrgghh... Lepaskan aku. Lepaskan aku." Dia memegangi kepalanya. Meringis kesakitan sambil berteriak.
"Aku akan melepaskanmu, tapi kau harus bicara padaku."
"Iya. Iya. Aku akan bicara denganmu."
Tapi untuk mengantisipasi agar dia tidak kabur, aku langsung meloloskan diri, melepaskan cengkeramanku di rambutnya dan memblok jalannya di depan pintu keluar sambil merentangkan lebar-lebar kedua tanganku. Sementara dia, meringis kesakitan sambil mengusap-ngusap rambutnya.
"Ada apa ini?"
Aku melihat Rama yang keheranan di tempat. Aku berusaha mengatur napasku agar bisa kembali normal.
"Dia.. Dia si penagih hutang yang menyita restauranku." Tandasku. Dia menegang di tempat kemudian mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan cepat. Melihat aku dan Rama secara bergantian.
"Bukan. Bukan, Mas," katanya tergagap. "Saya cuma disuruh. Beneran deh." Dia mengacungkan dua jarinya ke atas, menandakan kalau dia benar-benar tidak berbohong. Keningku malah berkerut bingung.
***
"Jadi, siapa yang menyuruhmu?"
Aku menggebrak meja, memajukan kepalaku, dan melotot murka pada si klimis. Dia yang duduk tepat di depanku, yang hanya terhalang meja sudah mengkerut di tempat. Sesekali dia menatap Rama yang berdiri diantara kami sambil memasukan kedua tangannya di kantung celana. Rama tampak santai tidak terganggu dengan situasi konyol ini.
"Itu.. Saya sudah janji untuk merahasiakan ini. Kalau sampai saya melanggar, dia akan mengambil kembali uang yang sudah dia berikan padaku."
Pasti dia sudah dibayar mahal oleh orang itu, sehingga tidak mau membuka mulutnya sama sekali. Aku mendengus murka. Berusaha mengintimidasinya dengan tatapanku.
"Oke, kalau kau tidak mau memberitahu siapa orangnya. Lalu bagaimana bisa semua surat-surat tanah dan restauranku ada padamu."
Dia meringis, menatapku takut-takut. Jauu berbeda sekali saat dia bertandang ke Read Eat, saat dia akan menyita restauranku. Penuh keangkuhan dan rasa ingin membunuh.
"Coba jelaskan, Jems." Tegas Rama. Aku mendelik padanya. Jems? Bagus amat.
"Jadi, waktu itu ada seorang wanita datang padaku menawarkan kesepakatan. Entah tahu dari mana, wanita itu tahu kalau pada saat itu aku butuh uang untuk pengobatan Hanum."
Si penagih hutang yang disebut Jems oleh Rama, memandang Rama sekilas. Dia malah menjelaskan pada Rama, bukan padaku.
"Hanum itu anaknya." Jelas Rama padaku seolah dia tahu kalau aku mempertanyakannya. Sedangkan Jems mengangguk.
"Dia berjanji padaku akan membayar pengobatan Hanum asal aku melakukan apa yang dia pinta." Ucap Jems lagi. Dan aku mendengarkan dengan seksama, walau tatapan matanya masih ditujukan pada Rama. "Waktu itu, dia menyuruhku untuk meminjamkan uang pada seorang perempuan," dia berhenti sejenak berusaha sedang mengingat sesuatu. Pandangannya menerawang ke langit-langit atap kantor ini. "Ku rasa dia laki-laki, tapi dia perempuan." Jems kembali menggaruk kepalanya. Yang dia maksud pasti Vivi.
"Dia Vivi, temanku. Dia perempuan." Tegasku, menjawab semua keraguannya. Bahkan dalam situasi genting seperti ini, aku harus menjelaskan jenis kelamin Vivi.
Jems menoleh padaku, laku bibirnya membentuk huruf 'O'. Aku tahu dia pasti terkejut.
"Dan memintaku untuk menjadikan restaurannya sebagai jaminan." Jems melanjutkan. "Dan semua transaksi harus dari pemilik restauran. Dan menagih kembali uang yang aku pinjamkan satu bulan kemudian, kalau tidak dibayar maka aku harus menyita restauran itu."
Jems menutup penjelasan. Aku mengusap wajahku kasar. Berusaha mencerna semua yang sedang terjadi. Dari apa yang Jems jelaskan padaku, aku langsung tahu siapa yang telah menyuruh Jems tanpa harus memaksanya memberitahuku. Tapi sekarang pertanyaannya adalah kenapa dia melakukan semua ini. Sebenarnya apa tujuan dari wanita itu.
"Berapa dia membayarmu untuk satu pekerjaan?" tanyaku.
"Saya dibayar tiga juta." Cicit Jems.
"Apa?!" aku memekik tidak percaya. "Cuma tiga juta?" tapi mungkin bagi dia yang butuh uang jumlah segitu sudah besar. Tapi sangat berisiko, dia bisa saja kena kasus penipuan. "Sekarang di mana semua berkas-berkas yang dijadikan jaminan hutang?"
"Semua saya berikan pada wanita itu." Jawabnya.
Aku langsung menundukan kepalaku yang rasanya mau pecah. Apa sih rencana wanita itu sebenarnya. Tidak mungkin dia ingin menguasai hartaku. Meningat kalau dia pernah menyuruh orang untuk membeli rumahku, aku yakin dia bukan wanita kere. Dia pasti punya banyak uang. Jadi, aku simpulkan kalau tujuan dia satu-satunya bukan harta, melainkan cinta.
Cintanya pada Abyan. Ya, pria yang juga aku cintai. Itu masalahnya. Tapi kenapa hartaku yang dia keruk. Astaga, jelaslah. Dia ingin membuat aku miskin mendadak dan pulang kampung. Dengan aku pergi dari kota ini, artinya aku akan jauh dari Abi.
Oke, kalau begitu aku harus merencanakan sesuatu. Apapun akan aku lakukan demi mengambil harga diriku yang sedang tercecer. Walau aku harus menguras sisa-sisa hartaku. Jadi, aku harus membuat penawaran juga padanya.
"Kau mau uang lebih dari tiga juta?"
Telapak tanganku menekan ke atas permukaan meja kayu. Kedua mataku menyipit berusaha mengintimidasi. Kornea mata Jems melebar, napasnya tersengal beberapa saat. Dia tidak langsung menjawab, hanya menatapku dengan pandangan penuh pertimbangan, sampai akhirnya dia memutuskan.
"Ya, mau." Jawabnya tanpa ragu. Benar kan. Orang seperti dia bisa dibeli dengan uang.
"Kau harus melakukan satu pekerjaan untukku."
Mulai sekarang aku akan ikuti permainan wanita itu, walau harus menguras sisa-sisa hartaku. Dan detik itu juga aku berhitung sampai kapan aku bisa bertahan di sini dengan sisa hasil penjualan mobil. Secara bersamaan aku mengingat-ngingat berapa sisa uang yang aku punya untuk membayar Jems, lebih dari yang wanita itu berikan.