He is insane

1421 Words
TIDAK ada yang lebih mengejutkan selain pengakuan dari seorang pria yang secara tiba-tiba ingin menikahimu. Bukannya aku terlalu percaya diri atau apa, tapi semua gadis pasti akan besar kepala jika mengalami situasi sepertiku. Gadis mana yang tidak akan terkejut dan berbangga diri jika ada seorang pria tampan, pekerjaannya mapan ingin menikahinya. Apalagi jika hal tersebut dikatakan di depan seorang wanita super cantik yang terang-terangan menunjukkan perasaannya kepada pria tersebut, tapi ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Dan bodohnya pria tersebut lebih memilih seorang wanita yang secara penampilan jauh dari kata sempurna. Kadang hidup memang sekonyol ini.  Rasa bangga diriku hilang dalam sekejap saat pupil mataku tanpa diperintah menangkap benda berkilauan di jari manis tangan kiriku. Ben. Dia pasti marah jika pulang nanti menemukan tunangannya dilamar pria lain.  Oh God! apa pesonaku begitu menyilaukan mata-mata pria sehingga dalam kurun waktu beberapa hari, Abi memiliki perasaan lebih padaku dan ingin segera menikahiku. Diam-diam aku melirik ke rear-vision mirror meneliti setiap lekuk wajahku. Lumayan cantik juga. "Rey."  Mataku berpindah melirik ke arah Rey yang duduk di sampingku sambil memainkan miniatur mainan Superhero Spiderman. Kepalanya terangkat menatapku sekilas kemudian fokus pada mainannya lagi. "Yang mulia ratu, ingin menanyakan sesuatu padamu." "Apa?" Katanya tanpa menoleh sedikit pun padaku. Menyebalkan.  Aku menghentikan mobil saat kulihat lampu hijau digantikan oleh lampu merah. Sebenarnya aku tidak yakin ingin menanyakan hal ini pada Rey. Tapi, rasa ingin tahuku yang tinggi menekan rasa sungkan di hati. Kalau tidak ditanyakan tidak akan tahu yang sebenarnya.  "Mama Rey, ke mana?" Gerakan tangannya yang memainkan miniatur Spiderman mendadak berhenti. Aku yang masih menatapnya melihat matanya terpaku pada miniatur Spiderman yang jatuh begitu saja ke pangkuannya. "Mama? Mama siapa?" Wajahnya terangkat menatapku dengan raut wajah yang bingung. Maksudnya apa sih? "Mama. Mamanya Rey, ke mana? Kenapa tidak Mama Rey saja yang mengantar Rey ke sekolah?" Dia terdiam seakan berpikir. Apa yang dipikirkan anak ini sebenarnya. Apa pertanyaanku terlalu sulit. Padahal tinggal katakan saja mama nya berada di... astaga! Jangan-jangan. Aku segera menangkap tangan kecil Rey dan meremasnya sehingga dengan cepat, Rey menolehkan kepalanya padaku. "Rey, tidak tahu." Dia mengangkat kedua pundaknya. "Rey, tidak kenal dengan Mama." Mulutku terkatup rapat. Aku menyecap rasa ludahku yang berubah pahit.  "Memangnya, Mama Rey, siapa yang mulia ratu?" Binar matanya saat menatapku seolah-olah sedang melubangi dadaku sehingga aku merasa rongga d**a ini hampa. Rey, anak ini tidak pernah tahu siapa ibunya. Aku mendadak gamang, otakku berputar ke mana-mana. Perlahan aku melepaskan remasan tanganku di tangan Rey sedangkan anak itu masih menatapku meminta jawaban.  "Hey! Cepat jalan! Kau buta warna?!"  Bunyi klakson yang kencang dan teriakan seseorang dari belakang membuyarkan lamunan, dan aku baru menyadari bahwa rambu-rambu sudah berubah warna menjadi hijau. Aku langsung tancap gas secepat yang aku bisa, membiarkan pertanyaan Rey menggantung tanpa jawaban. *** Aku menandaskan jus jeruk dalam satu tegukan dan menjatuhkan gelas ke atas meja. Sikapku menarik perhatian Vivi yang sedang berada di kasir. Wanita yang memakai kaus warna broken white bertuliskan Long Distance Relationship dengan huruf besar-besar -seakan tulisan itu sedang menertawakanku- langsung menghampiriku. Menarik kursi kemudian duduk di depanku. "Apa Rey, sangat menyusahkan?" Vivi menahan tawanya menyadari sikapku yang seperti orang habis kalah judi 1 milyar.  "Bukan hanya Rey, tapi juga ayahnya. Mereka berdua seperti sengaja dilahirkan untuk menjajah hidupku." "Apa lagi yang dilakukan Abi?" Manik mataku jatuh ke mata Vivi sepenuhnya. Memandang wajah gadis itu dengan saksama, kemudian menyeringai. "Kau harus berjanji tidak akan terkena serangan jantung jika aku mengatakannya." Vivi mengangkat kedua alisnya ke atas. "Cepat katakan. Semua aman, aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung." "Abi, ayahnya Rey, mengatakan hal yang mengejutkan padaku tadi pagi," sengaja ku gantungkan kalimatku membuat Vivi mengerutkan dahi. "Dia. Ingin. Menikahiku."  Aku menekan telunjukku ke atas meja berkali-kali sesuai penekanan di setiap kata. "Sinting!" Vivi mendorong dahiku menggunakan satu jari telunjuknya. "Dia yang sinting, bukan aku." "Bagaimana bisa pria itu mengatakan hal seperti itu padamu? Dia tidak tahu kau sudah tunangan?" Aku mengangkat kedua bahu tidak peduli. "Atau dia berniat berpoligami? Menjadikan dirimu istri kedua?" Mataku menerawang keatas mengingat pertanyaan Rey tadi pagi.  "Rey bilang dia tidak tahu ibunya siapa."  Suaraku berdesis saat mengucapkannya. "Maksudmu, Abi seorang duda?" Aku kembali mengangkat kedua bahuku kemudian kembali terdiam. "Kau tidak sedang mempertimbangkan lamarannya, 'kan?" "Sinting!" Kali ini aku yang mendorong dahi Vivi. "Aku cinta mati pada Ben." Vivi tertawa keras sambil menepukan kedua tangannya.  "Aku hanya penasaran saja. Siapa Sera, dan siapa wanita diskon 70% itu." Aku berkata lebih kepada diriku sendiri.  "Sera? Wanita diskon 70%? Siapa mereka?" "Kalau aku tahu, aku tidak akan penasaran seperti ini."  Kami berdua sama-sama hanyut dalam diam. Apa mungkin Abi tidak pernah sedikit pun menceritakan sesuatu pada Rey. Ya tuhan kenapa hidupnya penuh dengan pertanyaan. Dan kenapa juga aku peduli? "WHAT ARE YOU DOING HERE BABY?!" Mendadak terdengar suara teriakan yang sukses membuyarkan lamunan kami. Secara bersamaan kepalaku dan Vivi bergerak ke atas mencari sumber suara yang melengking dan terdengar panik. Suara itu.. "Fay." Vivi berbisik sambil menatapku.  "Fay?" Aku mengulang terkejut dengan dahi berkerut. Bagaimana bisa suara Fay bisa sekeras ini. "Fay telah kembali dari Korea?"  Vivi tidak menjawab pertanyaannku, dia langsung berlari ke atas menuju perpustakaan tempat suara Fay berasal. Aku mengikutinya panik. Sesampainya kami di perpustakaan, aku melihat Fay yang berdiri dengan wajah murka menatap pada bocah kecil yang ada di hadapannya.  "Rey."  Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil Rey dan menjauhkannya dari Fay. Kalau tidak, Rey pasti akan di cakar habis-habisan. Mengingat bahwa Fay sangat tidak suka dengan anak kecil. Sama persis sepertiku. Tapi rasa tidak suka Fay terhadap anak kecil berada di level paling atas. "Rey, ada apa?" Aku syok. Kedua telapak tangannya dipenuhi noda berwarna biru. Kualihkan pandanganku ke atas meja berwarna putih yang di atasnya berserakan buku-buku. Buku-buku tersebut banyak jejak telapak tangan dengan ukuran kecil yang aku yakini bahwa telapak tangan itu adalah milik Rey.  "Who is he?"  Mata Fay melotot murka. Tangannya menunjuk ke arah Rey yang sedang aku lindungi. Aku tahu tanganku sekarang sudah tercampur cat warna dari tangan Rey tapi aku tidak peduli.  "Fay, ini Rey." Aku tersenyum lebar mengangkat tangan Rey keatas. "Aku tidak bertanya namanya. Aku tanya, dia siapa?"  "Oh, dia.. dia. Aku pengasuhnya." "What?! What do you mean? Pengasuh?" "Iya Fay. Aku pengasuhnya."  "Oh.. my... God." Aksen british yang di keluarkannya sangat kentara padahal dia gadis (aku tidak yakin dia masih gadis) asli darah betawi. Kedua tangannya terangkat frustrasi. "Im going crazy! Bagaimana bisa kau menjadi pengasuh?" "Sebaiknya kau bersihkan dulu pakaianmu, nanti aku akan menceritakannya."  Mata Fay langsung melotot saat mendapati dress bagian depannya terkena noda dari cat warna juga. Dia berteriak frustrasi sebelum melenggang pergi menuju private zone. Bunyi stilletonya yang membentur ubin terdengar di seluruh penjuru ruangan. Aku menunduk minta maaf kepada semua pengunjung yang sejak awal sudah memerhatikan kami.  "Sarah." Aku memanggil salah satu pelayan.  "Bersihkan meja ini." Aku memandang buku-buku yang terkena noda. "Simpan buku-buku ini di dalam gudang saja."  *** "I can't believe this."  Nada suaranya terdengar panik seperti pemerintah baru saja mengumumkan bahwa besok, negara ini akan perang nuklir.  "Tapi, ini kenyataannya."  "Dan ayah dari bocah nakal itu ingin menikahimu?" telunjuk Fay tertuju pada Rey yang berbaring tertidur nyenyak di sofa bed baby blue. "Sepertinya duda itu benar-benar butuh seorang istri." Setelah penjelasan panjang lebarku pada Fay, dia langsung berasumsi bahwa status Abi adalah seorang duda 1 anak. Aku mengangguk. "Seperti itulah yang terjadi." "Kenapa kau tidak menolak saat dia memintamu untuk menjadi pengasuh anaknya?" "Fay," aku mendesah. "Aku telah membuatnya babak belur. Kemudian setelah itu aku melarikan diri. Dilihat dari segi hukum mana pun, aku salah. Bagaimana bisa aku membantah? Aku takut." "Selama dia keluar dari lubang kewanitaan, tidak ada yg perlu dicemaskan." Hell, memangnya ada makhluk yang keluar dari lubang semut. Fay memegang kepalanya seolah-olah sedang melindungi tempurung kepalanya yang akan meledak. "Bisakah kau ambilkan aku wine? Aku tidak bisa berpikir jika tidak meminum apa-apa." "Astaga Fay, ini bukan bar. Tidak ada wine disini." "Are you crazy?" Matanya mengernyit tidak percaya. "Vodka?" "Tidak Fay. Tidak ada alkohol disini." "Oh... My... God!"  Aku selalu jengkel setiap dia mengucapkan kalimat tersebut dengan pemenggalan di setiap kata dan aksen britishnya yang menyebalkan, ditambah gerakan tangannya yang terangkat ke atas. Aku memejamkan mata sejenak. "Yang ada hanya wedang ronde. Kau mau? Lebih hangat dari wine." Matanya melotot kaget, kemudian tetawa meremehkan. "Wedang ronde?" Katanya di sela-sela tawanya. Aku mendengus sebal. Anak ini makan apa sih selama 5 tahun di Korea. "Yang benar saja." Dia geleng-geleng kepala seakan-akan wedang ronde adalah sejenis minuman yang terbuat dari pipis anjing.  "Bawakan aku satu gelas." "Oh... My... God."  Mataku melotot menirukan gaya bicara Fay sementara dia memutar bola mata. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD