Oh ya ampun! ya ampun!
Kenapa batre ponselku harus habis di saat genting seperti ini. Disaat aku harus segera memesan ojek online. Disaat yang bersamaan tidak ada lagi yang bisa aku harapkan ketika aku dengan sengaja meninggalkan charger dan power bank di rumah. Aku tidak tahu kalau sesuatu yang besar dan mendesak akan terjadi hari ini. Harusnya aku lebih mempersiapkan diri.
Hal kedua yang paling aku benci adalah ketika aku harus memperhitungkan berapa biaya ongkos taksi dari Pejaten ke Sudirman, dan kembali menghapus taksi offline dari daftar transportasiku sekarang. Sampai pada akhirnya aku harus memilih commuterline sebagai transportasi satu-satunya yang murah meriah walau aku tidak tahu rute perjalanannya.
Aku memutuskan naik kereta dari stasiun Pasar Minggu menuju Sudirman setelah aku naik angkot dari Pejaten Village. Menurut penjaga pintu kereta api aku akan turun setelah stasiun Manggarai. Jadi, sejak aku naik kereta dari Pasar Minggu telingaku sudah aku pasang kuat-kuat untuk mendengarkan informasi setiap nama stasiun disebut. Kemudian semaput saat aku dengar stasiun Manggarai disebut tapi kereta ini tidak berhenti. Dan menghela napas lega ketika salah satu penumpang memberitahuku kalau kereta memang tidak berhenti di stasiun Manggarai, jadi aku bisa turun di stasiun Sudirman setelah ini.
Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Aku segera bersiap untuk turun. Posisiku sudah dekat dengan pintu keluar karena aku tidak mengambil posisi duduk walau isi dalam kereta tidak penuh. Aku tidak mau mengambil risiko kalau aku kelewat stasiun. Tidak, aku tidak bisa naik taksi, jadi ketika aku melihat bajaj biru berseliweran dekat stasiun, aku memutuskan bahwa itulah transportasi yang cocok untukku, yang akan membawaku ke gedung BBC Bank.
Demi Tuhan Vivian aku akan membunuhmu begitu aku menemukanmu.
"Berapa Pak?"
"Tiga puluh ribu, Neng."
"Hah, kok mahal? Kan deket."
"Kalau deket jalan aja sendiri, bajaj saya kan bisa jalan pakai bensin."
Aku mendengus tidak lagi mendebat. Lalu mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribu dan memberikannya pada sang sopir. Dia melirikku sesaat sambil menyeringai dari balik kaca yang di pasang di atas dekat kepalanya.
Aku harus melakukannya untuk masa depanku yang lebih layak. Aku harus segera menyusun rencana hidupku kembali. Aku tidak boleh berdiam diri dan terus meratapi hidupku yang sial.
Seorang receptionis menyuruhku untuk menunggu di Lobby sementara dia menelpon ke atas. Waktu seakan berjalan begitu lamban. Untuk beberapa saat aku meremas jemariku gugup. Segala rencana dalam hidup yang harus aku susun sudah memadati otakku. Terus menumpuk, berdesakan, membuat otakku jadi penuh dan mau meledak. Saat ini hal pertama yang aku lakukan dalam rencana hidupku adalah menyuruhnya untuk...
"Kau harus segera bercerai."
Kalimat pertama yang lolos dari bibirku sambil terengah begitu pria itu berdiri di hadapanku.
"Whaaat?"
Dahinya berkerut bingung.
"Kau harus bercerai, you know that?"
"Maksudmu?"
"I love you Bi, i choose to love you."
Aku mengerang frustrasi. Tidak peduli berapa pasang mata yang kini memerhatikanku, mereka sempat berhenti sebentar menatapku heran lalu berseliweran kembali.
Mulut Abi terbuka, kepalanya menoleh ke kanan ke kiri, lalu membawaku untuk duduk di bangku tunggu. Aku mungkin sudah tidak waras ketika mendengar Sera berkata dengan tegas kalau mereka belum menandatangani perceraian. Yang artinya secara hukum mereka masih jadi suami istri. Peduli setan dengan harga diri. Aku sudah tidak memikirkannya selama perjalananku dari Pasar Minggu ke sini.
"Kau yakin?"
Abi mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Kau bertanya keseriusanku, setelah perjuanganku barusan untuk sampai ke kantormu?"
"Kenapa harus berjuang segala untuk sampai ke sini? Memangnya kau dari mana? Arab?"
Aku memejamkan mata. Lalu menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi. Sama sekali tidak tertarik dengan candaannya.
"Kau pasti tidak tahu apa yang sedang aku alami." Abi melirik arlojinya sambil mengetuk-ngetukan ujung jarinya di paha kirinya. "Kau terlambat menghadiri sesuatu?"
"Ya, aku ada rapat. Kau bisa tunggu di sini sampai aku selesai? Nanti kita bicara lagi."
"Oke."
Aku memilih kantin gedung perkantoran ini sebagai tempat tunggu. Selain bisa minum dan makan aku juga bisa mengisi daya ponselku dengan menggunakan fasilitas di sini. Mereka meminjamkan charger di sini.
Setelah aku pikir-pikir ini tindakan yang paling benar. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memastikan pada Abi kalau perasaannya padaku masih tetap sama. Mendengar bahwa Sera mengatakan kalau mereka masih tercatat sebagai suami istri secara hukum, membuatku takut kalau mereka berdua bisa saja merencanakan untuk hidup bersama lagi. Aku juga harus segera tahu apa yang terjadi pada Sera selama ini.
Kenapa dia harus pergi lalu kembali? Kenapa Abi harus mengatakan Sera meninggal padahal dia tahu Sera masih hidup. Kenapa sekarang justru Sera begitu menginginkan Abi padahal cintanya Abi pada Sera bertepuk sebelah tangan.
Di saat semua pertanyaan itu berdesakan di dalam otaku, bunyi notifikasi w******p di ponselku membuyarkan semuanya. Sederet nomor tidak dikenal terpampang di sana.
Hai, Ana. Aku Rama. Pemilik show room mobil yang membeli mobilmu. Ada sesuatu yang tertinggal di mobilmu, kau bisa ambil ke sini atau berikan alamat rumahmu. Aku akan mengantarnya.
Mungkin bukan sesuatu yang penting karena aku tidak merasa kehilangan apa-apa. Tapi mungkin aku melupakannya.
Hai, biar aku saja yang mengambilnya ke sana.
Setelah mengirimkan pesan, aku menyimpan nomor Rama di ponsel. Dan satu balasan datang lagi darinya.
Kau bisa berikan alamatmu, biar aku yang antar ke sana. Sekarang aku lagi di jalan, mungkin aku bisa mengantarnya sekalian lewat.
Aku menimang-nimang ponsel sebelum mengetikan sesuatu di sana. Belum sempat aku balas ponselku berdering. Panggilan masuk dari Rama. Tapi saat aku akan menekan tombol hijau, entah bagaimana caranya ponselku sudah tidak berada di tanganku.
"Hallo."
Abi? Sejak kapan dia ada di sini.
"Iya, ini nomor Ana. Kenapa?"
"Oh, ini pacarnya."
"Ana sedang tidak bisa mengangkat teleponnya, karena tangannya sedang sibuk melakukan aktifitas orang dewasa denganku."
"Aargghhh."
Satu pukulan keras mendarat mulus di lengannya. Aku segera merampas ponselku darinya dan memutus sambungan telepon. Sudah lama tidak bertemu bukannya makin waras malah tambah gila kelakuannya.
"Kenapa bicara seperti itu. Dia bisa berpikir yang tidak-tidak."
Sambil meringis Abi duduk di sampingku. Tangan kanannya mengusap lengan kirinya dengan gerakan cepat.
"Berpikir apa? Aktifitas orang dewasa itu banyak. Kau bisa sedang mendongkrak ban mobil, mengganti genteng rusak, menambal jalan berlubang."
"Kau pikir akan masuk akal kalau aku melakukan itu semua?"
"Masuk akal saja, kecuali aktifitas orang dewasa versimu berbeda."
"Abi.." aku mendesis memberi peringatan kalau hal ini tidak perlu lagi di perpanjang.
"Lagipula dia siapa sih? Ngotot banget ingin tahu rumahmu."
Abi menatapku, memberikan lirikan dingin yang membuat rambut-rambut di tanganku berdiri tegak.
"Ada banyak hal yang sudah kau lewatkan, Bi."
Ucapku. "Aku kehilangan reastauranku dan mobilku dalam sekejap. Dan aku juga nyaris kehilangan rumahku."
"Ada apa?" Abi membetulkan posisi duduknya, menghadap padaku sepenuhnya.