Ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya setelah lama kami tidak bertemu. Semuanya seolah memadati tenggorokanku, dan ingin keluar secara bersamaan.
"Baru saja aku bertemu dengan Sera." Kataku pelan. "Dia bilang padaku, kalau kalian belum bercerai." Aku melanjutkan. Sedangkan Abi mendengarkanku dengan seksama. "Dan dia berencana untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan warrahmah denganmu." Sengaja aku tekankan kalimat terakhirku.
Abi bergerak, kemudian menggeser letak duduknya jadi menghadapku. "Aku tahu," katanya sambil meremas tanganku. "Itu yang dia katakan padaku." Mataku bergerak gusar.
"Kau bilang, dia mencintai Ben. Dan cintamu bertepuk sebelah tangan." Ujarku agak kasar. "Tapi kenapa kenyataannya berbeda."
"Enam tahun yang lalu memang seperti itu keadaannya. Alasan dia menghilang pun karena dia terlalu mencintai Ben, yang justru Ben pergi meninggalkannya."
"Tapi kenapa sekarang dia justru ingib membangun keluarga bahagia denganmu?"
"Aku juga tidak tahu." Jawab Abi ngotot.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung menceraikannya saja?"
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?" Tanyaku menantang. "Karena ternyata kau masih menyimpan cinta untuknya?"
"Itu konyol, Ana."
"Itu alasan yang paling masuk akal, Bi." Aku menahan suaraku agar tidak berteriak kencang. Lalu mengusap wajahku dan membenamkannya di kedua telapak tanganku. "Dengan kesempurnaan yang dia punya, dan cinta yang besar yang pernah kau miliki untuknya, bukan hal yang tidak mungkin kalau cinta itu kembali ada."
"Aku tahu selama ini dia masih hidup." Katanya gamblang. "Tapi aku sama sekali tidak pernah berkomunikasi atau bertemu dengannya lagi. Selama itu secara perlahan cintaku padanya juga kandas. Saat aku melihatnya untuk pertama kali lagi, aku tidak merasakan apa-apa. Biasa saja."
"Omong kosong." Ucapku penuh penekanan. Bukannya marah, dia malah tersenyun kecil.
"Kau sedang cemburu, Ana."
"Aku tidak cemburu." Wanita manapun tidak akan mengaku terang-terangan kalau dia sedang cemburu.
Abi terkikik geli hingga dia mengacak rambutku pelan. Sedangkan aku hanya menyilangkan kedua tanganku di depan d**a. Membentuk wajah yang kesal. Mungkin juga efek kelelahan karena perjalanan jauh.
"Ada apa, sih? berapa banyak yang sudah aku lewatkan?" Aku menyipitkan mataku, menatapnya. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan, atau apa.
"Kita sedang membahas pernikahanmu dan Sera."
"Kau bilang, ada banyak hal yang telah aku lewatkan." Jawabnya. "Aku lebih tertarik mendengar ceritamu dibanding membahas kisahku."
Aku memberenggut padanya. Tapi aku juga tidak bisa menahan untuk tidak memulai cerita.
"Vivi melarikan uangku. Lalu dia meminjam uang sejumlah 500juta dengan restauranku sebagai jaminan. Dia tidak bisa membayar, dan si penagih hutang datang menyita semuanya. Uangku habis. Termasuk tabungan. Aku tidak bisa membayar gaji karyawan serta biaya operasional. Jadi, aku menjual mobilku untuk membayar itu semua."
Kelakarku. Aku mengatakannya dalam satu kali tarikan napas. Apa aku bilang. Semua yang ingin aku katakan padanya, tersumbat di tenggorokan. Aku tinggal memuntahkannya saja.
"Apa?!" dia terlonjak mundur. "Kenapa kau tidak menghubungiku?"
"Kau pikir aku bisa melakukannya setelah apa yang kau lakukan padaku? Dengan tiba-tiba aku tidak lagi menjaga Rey tanpa pemberitahuan, lalu kau muncul di hadapanku Dengan Sera tanpa bicara padaku. Kau pikir aku bisa berbagi keluh kesah denganmu?"
"Kau cemburu lagi." Seringaian menyebalkan itu terbit di bibirnya. Dan aku berdecak kesal.
"Seharusnya aku bisa melakukan yang lebih dari sekadar cemburu." Aku menyisir rambut ke belakang. Rasanya ingin aku gunduli saja rambut ini. Barangkali bisa lepas segala penat.
"Sebenarnya aku sudah memeriksa nomor rekening siapa yang menerina dana dari restauranmu," katanya. "Pemilik rekeningnya bernama Vivian Demara. Tapi, karena satu dan lain hal aku melupakan untuk memberi tahu padamu."
"Itu Vivi. Dan dia sudah tidak ada di Jakarta."
Abi menghela napas, menggosok dagunya. Dari sini aku bisa melihat sisi wajahnya yang nampak ditumbuhi janggut tipis, bulu kumis tipis yang baru tumbuh, dan rahangnya yang juga ditumbuhi brewok, tapi tidak banyak. Dia sepertinya melupakan kegiatan mencukur.
Aku sedang hanyut dalam lamunan saat Abi mengusap punggungku pelan dan beraturan.
"Sudah mau magrib, kantin mau tutup. Aku akan cari jalan keluar untuk masalahmu. Aku antar pulang sekarang."
Entah sudah ke berapa kali aku mengembuskan napas. Berusaha mencari sisa-sisa udara segar yang mungkin masih bisa masuk ke dalam paru-paru, membersihkan segala penat. Tapi, yang kutemukan hanya sesak.
***
"Mau mampir?"
Abi menarik rem tangan ke atas membiarkan deru mesin menyala. Dia diam sebentar sebelum akhirnya bicara.
"Lain kali saja."
Entah kenapa aku kecewa mendengarnya. Aku sudah terbiasa bertemu dengannya setiap hari. Menghadapi hari-hari penuh kejutan bersamanya. Jadi saat semua menjadi kacau balau dan intensitas pertemuan kami berkurang, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Hal yang dirasa kurang. Seperti soto tanpa jeruk nipis. Ah, apa sih perumpamaanku ini.
"Oke. Kalau begitu aku masuk."
Saat tanganku mencoba membuka pintu, Abi menahan tanganku. Lalu menautkan jemarinya di jemariku, yang begitu terasa pas. Rasanya seperti tersengat listrik, tapi detik berikutnya terasa hangat. Jantungku masih saja berdentum norak tidak karuan.
"Aku sedang menyelesaikan semuanya. Ini memang rumit, An. Tapi aku minta kau bersabar dan terus menungguku. Aku menghadapi Sera, yang tidak kau kenal bagaimana sifatnya."
Aku mendongak, melihat wajahnya yang disoroti sisa-sisa cahaya lampu jalanan yang temaram.
"Tidak ada jaminan kau akan kembali padaku, Bi," aku mendengar diriku merengek persis bocah yang minta mainannya yang direbut. "Bagaimana kalau kau justru malah pergi bersamanya dan tidak kembali?"
Abi mengangkat tautan jemari kami, menempelkan punggung tanganku di bibirnya. Mengecupnya dan bertahan seperti ini sampai beberapa menit kemudian.
"Aku tidak akan salah rumah, aku akan pulang ke tempat yang seharusnya. Pulang ke kamu." Kulihat Abi tersenyum.
"Do you love her?" Suaraku parau dan serak. Aku menyoroti matanya yang teduh. Dan dia membalas tatapanku tak kalah intens di bawah lampu jalanan yang temaram.
"I love you, An." Katanya. "Not her." Dia melanjutkan tanpa ragu. Kemudian dia menangkup wajahku oleh telapak tangannya yang besar. Terasa dingin di kulit pipiku. "Percaya padaku." Aku bisa melihat, tidak ada kebohongan di sorot matanya yang indah. Tapi, aku memang sedang tidak percaya diri terhadap keadaan ini.
Aku menelan ludah saat Abi perlahan mendekatkan wajahnya padaku. Napasku menderu tertahan di tenggorokan, ketika Abi melepaskan tautan di jemariku, lalu beralih menyusupkan tangannya ke leherku. Menyingkap rambutku yang terurai. Sentuhan tangannya yang dingin di kulitku membuatku gemetar. Aku bisa merasakan sela-sela jarinya menyisir rambutku, dan meremasnya, menekan belakang kepalaku sehingga dengan mudah dan begitu saja bibir kami bersentuhan. Aku tidak tahu, seberapa besar aku merindukan sentuhan ini. Dadaku sudah membuncah ketika Abi melakukan gerakan yang membuat aku akan mabuk.
Di bawah cahaya lampu jalanan yang temaram, aku kembali pada pelukannya. Kembali merasakan sentuhannya yang ternyata aku rindukan selama ini. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Tidak ingin lagi kehilangan. Ketika aku memiliki ruang gerak, kedua tanganku melingkari lehernya.
Rasanya masih tetap sama. Membuat aku mabuk kepayang.