“Juna! Juna! tungguin aku dong,” aku terus berjalan dan tidak menghiraukan pangilan si cewek aneh itu. Toh tidak ada cedera sedikit pun. Hanya hatinya aja yang lagi tidak baik-baik saja. Sepertinya besok aku harus mengunjungi dokter mata. Aku yakin dari semuanya, mataku yang paling bermasalah.
“Hayoloh!” astaga aku refleks memegang dadaku saat dia udah berdiri di depanku merentangkan tangannya. Tatapan jahilnya membuatku salah tingkah. Ini karena kebanyakan pikiran liar kemana-mana hingga aku tidak sadar dia sudah menghadangku. Kakinya gesit juga.
“Lo kenapa sih!?” ucapku ketus.
Arjuna pertahankan imejmu sebagai cowok idaman wanita. Jangan sampai kalah sama cewek prik ini.
Kok aku merasa bertukar gender di sini. Cinta begitu berani menatapku sedangkan aku, mataku berputar-putar ke segala arah agar tidak memandang wajahnya.
Cinta mendekatkan wajahnya, membuatku memundurkan langkahku, “serius kamu baik-baik aja,” tatapnya tak percaya sembari memindai tubuhku dari atas ke bawah berkali-kali.
Situasi ini membuatku salah tingkah. Serius. Mana merinding lagi diginiin.
“Lo itu beneran gak yakin atau emang berharap gue celaka?” tuduhku, menahan kepalanya dengan telunjukku. Dia menggeleng dan mengigit bibirnya. Plis, jangan gitu Cinta. Hatiku ini gak bisa terima tingkah kamu yang seperti itu.
“Gue…eh aku merasa bersalah. Lo jatuh kan karena kulit pisangku,” jawabnya menunduk. Iya sih, dia biasanya berbicara santai tumben sekali ini agak lebih formal. Fiks, dia aneh.
“Iya lo salah karena buang sampah sembarangan,” dia mengangkat wajahnya dan tugasku mengalihkan pandanganku.
“Karena itu gue jatuh,” lanjutku lagi dan matanya berkaca-kaca. Oh astaga, dia menggemaskan. Husttt, pikiran apa ini.
Gak, ingat Juna, hapus pikiran seperti itu. Jangan ikut-ikutan aneh.
“Tapi–,” sengaja kugantungkan kalimatku untuk melihat reaksinya. Matanya seperti anak kucing yang biasa aku temui di jalan. Pandai sekali membuat orang merasa terenyuh dan iba.
“Tapi karena gue baik-baik aja dan gak terluka sama sekali. Jadi…gak ada lagi urusan antara lo dan gue,” aku menyilangkan kedua tanganku mempertegas pernyataanku.
“Paham?” tanyaku memastikan.
“Paham gak?” dia mengiyakan dan oke saatnya lepas dari cewek aneh bin ajaib ini. Aku dorong tubuhnya ke samping agar aku bisa jalan. Kali ini, jalanan aman. Tidak ada lagi kulit pisang yang menungguku. Masa iya harus dua kali kepeleset kulit pisang. Tapi kalau itu cara biar mataku kembali normal, boleh kali dicoba.
Aku baru sadar ternyata keadaan sekolah sudah sangat sepi. Hanya terlihat beberapa siswa yang masih bertahan di sekolah.
Segera aku ke kelas mengambil tasku dan balik ke rumah untuk beristirahat. Kedua sahabatku mana tega banget gak nyariin. s****n emang. Apa mereka tidak tahu aku sekarang kena musibah.
Di parkiran, aku kembali berpapasan dengan Cinta. Untung saja dia sudah melaju dengan motornya. Si cewek yang aku lihat memakai celana training beberapa waktu yang lalu. Aku terkekeh geli melihat dandanan anehnya kemudian refleks menghentikan tawaku saat beberapa teman sekolahku, menatapku aneh. Mengapa aku harus tertawa. Iya benar, di mana sosok cowok cool bernama Arjuna, yang jangankan tertawa, memberikan senyumnya saja itu hal yang langka, selangka tanduk badak.
Sesampainya di rumah, si adek bawelku sudah duduk di meja menyantap makan siangnya.
“Assalamu alaikum,” aku mengucapkan salam dengan suara yang tidak bersemangat. Tidak seperti pagi tadi.
“Kok lemes amat sih Mas,” tegur Bunda.
Aku duduk di samping si bawel Gya, yang makan aja harus natap handphone.
“Bun. Laper,” keluhku mengambil potongan nugget milik Gya.
“MASSS!!!” teriaknya tidak terima.
“Astaga Gya, kamu sadar gak sih suara kamu cemprengnya kayak apa. Eh sekarang malah teriak-teriak kayak gitu,” tegur Bunda. Aku yang merasa dibelain tentu saja ikut mencibir Gya.
“Rasain,” ucapku tanpa suara.
“Abisnya Mas Juna nyomot nugget-ku, Bun,” lapor Gya.
“Nugget aja kamu pelitnya kayak gitu. Nanti Bunda gorengin lagi. Kamu gak lihat Mas-mu mukanya pucet gitu,” Bunda singgah sebentar memeriksa keningku sebelum kembali sibuk membuatkanku makan siang. Diperhatiin gitu oleh Bunda, aku harus memaksimalkan aktingku sebisa mungkin. Aku menopang daguku di meja makan. Biar akting lemes semakin nyata. Kali ini bibir Gya yang mencibir, majunya udah ngalahin tinggi hidungnya yang juga tidak seberapa.
“Juna ganti baju dulu ya Bun,” ucapku bangkit dan mengambil tasku kembali.
“Iya gitu lebih bagus Mas. Jadi pas kamu udah ganti baju, makanannya juga udah siap,” ucap Bunda yang tidak melihatku hanya sibuk menatap nugget di wajan. Aku hanya membalasnya menggangguk.
Di kamarku segera kubuang asal tasku dan merebahkan tubuhku yang terasa letih banget hari ini.
Ting
Sebuah pesan grup di hapeku, tertulis nama grup itu grup cool cash yaitu kumpulan cowok cool dan menyukai duit cash, grup khusus berisi aku, Sya dan Adit.
Sya: Juna, lo dari mana jinkk.
Adit: Iya, kita liat motor lo tapi lo gk ad dmn2.
Gue td kna msbh.
Sya: Ha!? Musabah? Njirr, sok alim banget lo.
Musibah, govlokkk.
Sya: O, musibah. Msbh apa bro?
Gue kepleset kulit pisang, pingsan terus dibw ke UKS.
Sya: AWOKAWOK APESS BANGET LOO!!!
Adit: hahaha…malang sekali nasibmu, sobat.
Bangke lo semua!!!
Aku gak peduli lagi, apa yang kedua sahabatku ketik di grup. Nanti setelah makan aku baca lagi. Setelah berganti pakaian, aku kembali turun menuju makan. Aku harus banyak makan buat ngumpulin energi biar bisa menghadapi kenyataan hidup yang berat ke depannya.
“Makasih makanannya Bun,” ucapku tetapi Bunda dan Gya kompak menatapku.
“Apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Sejak kapan Mas harus ngucapin makasih sama Bunda,” cibir Gya.
“Ya pengen aja.”
“Bun, Bunda punya kenalan dokter mata gak?”
“Mata kamu kenapa Mas?” tanya Bunda khawatir.
“Gak sih Bun. Kayaknya ada masalah dikit. Tapi belum parah sih.”
“Oh jadi kamu mau pasang kacamata gitu?” tanya Bunda lagi.
“Ih nggak Bun. Masa iya aku harus tampil culun gitu. Gak ganteng lagi dong,” protesku. Mana ada visual cowok ganteng dan mempesona harus make kacamata, itu melawan hukum alam.
“Terus apa dong?” cecar Bunda lagi.
“Aku mau konsul aja gitu sama dokter mata. Apa bisa kemaren-kemaren kita lihat orang beda banget dengan hari ini.”
“Oh mungkin dia ngubah penampilannya,” tebak Bunda dan Gya sok ikutan setuju lagi.
“Gak kok Bun, masih sama aja,” bantahku.
“Ah Bunda tahu,” ucap Bunda bangga seolah dia telah menemukan sebuah rumus baru.
“Apa!?” jawabku bersamaan dengan Gya. Ini anak emang gak jelas. Dia gak tahu berada di kubu mana. Kemana aja oke.
“Kamu jatuh cinta Mas, cewek kan,” Bunda dan tatapan menyelidiknya adalah perpaduan pas untuk membuatku gak bisa berpikir lagi.
Uhuk…
Makananku yang di dalam mulut berhamburan dan jatuh ke meja.
“Mas jorok,” ucap Gya dengan tatapan jijiknya. Yang jorok tuh makan makanan yang udah jatuh. Ini namanya kaget.
“Bun, jangan aneh-aneh ya,” ucapku kesal.
“Lah kok ngambek. Kan Bunda juga nebak. Mana tahu dia cewek.”
“Udah yah Bun, gak usah dibahas lagi. Makasih, makanannya enak. Juna ke kamar dulu,” lebih baik menghindar daripada pikiran Bunda semakin ke mana-mana.
“Pengen ngayal tuh Bun. Cewek yang itu tuh,” aku berbalik menatap tajam Gya dan dia menjulurkan lidahnya. Ada Bunda aja dia berani.
“Berisik lo ya.”
Aku sudah gak peduli lagi. Aku pengen ke kamar aja rebahan. Kulihat hapeku lagi untuk melihat apa yang diketik kedua sahabatku brengshake-ku.
Sya: Dih kabur!!!
Adit: hahaha…
Hanya dua balasan itu. Aku simpan lagi hapeku. Kayaknya aku butuh mengistirahatkan mataku sekejap, siapa tahu pas bangun udah kembali normal. Semoga aja.