ADC EPS 5 - AYAH PUN IKUT-IKUTAN

1372 Words
Keesokan harinya, lagi-lagi aku terbangun karena mendengar teriakan cempreng yang berasal dari Gya. Bedanya, kali ini aku nggak marah walau cara adek membangunkanku jauh dari kata anggun. Kenapa? Karena untuk pertama kalinya, aku ngerasa kalau aku bermimpi buruk. Nggak ada hantu, monster atau zombie. Cukup dengan aku yang nembak si cewek prik di tengah lapangan terus dicie-cie in satu sekolah aja udah kayak mimpi paling buruk. Parahnya lagi, di mimpi itu, aku ditolak dengan songong nya oleh si Cinta Cantika yang nggak ada cantik-cantiknya itu tapi berhasil membuat mataku error kemarin. Parah, kan? Dimana martabat seorang Arjuna Ganteng Paripurna yang cool? Udah nembak cewek duluan, ditolak pula. Walau itu cuma mimpi, tapi keselnya tetep dibawa ke dunia nyata. Belum lagi karena di mimpi itu dua sahabat brengshake-ku malah tertawa kencang saat melihat aku ditolak. Di pinggir tempat tidur, aku mengedipkan mataku berkali kali. Normal. Seenggaknya gitu untuk sekarang ini. Satu-satunya hal yang bisa bikin aku yakin kalau kedua mataku udah normal adalah ketemu sama si cewek prik itu. Kalau hari ini aku ngerasa dia aneh bin ajaib kayak sebelumnya, berarti mataku udah sembuh. Tapi kalau dia keliatan byutipul kayak Mina Twice, tandanya mataku perlu asuransi kesehatan tambahan. Setelah dirasa semua nyawaku udah terkumpul sepenuhnya, aku langsung ngelakuin ritual pagi. Mandi, sisir rambut, terus pake minyak wangi bukan minyak si nyong-nyong. “Weits, ganteng. Sesuai namanya. Arjuna Ganteng Paripurna, anaknya Ayah Untung Paripurna.” Aku mematut penampilanku di cermin sambil mengagumi wajahku sendiri. Jangan, jangan sebut ini narsis. Apa yang baru saja aku katakan pada diriku sendiri adalah bentuk pujian dan apresiasi terhadap diriku sendiri. Masa iya orang lain nyebut aku ganteng, tapi aku nya sendiri sibuk merendah. Kan tidak mungkin?! Lagipula tidak ada yang bisa aku jadikan objek untuk merendah. Aku termasuk ke dalam golongan good looking dari atas ke bawah. Isi dompet aku pun, termasuk dalam good rekening. Sesuai nama akhirku, Paripurna. Setelah puas memuji diri sendiri, aku pun melangkah keluar dari kamar. Samar-samar bisa aku dengar Ayah yang berbincang dengan Gya, membicarakan tentang 27 pacarnya yang katanya perlu dinafkahi dengan cara membeli album keluaran terbaru. “Mas, kata Bunda kamu lagi deketin cewek?” Aku yang baru saja hendak membuka mulut, langsung kembali menutup mulutku. Pertanyaan Ayah menuai berbagai reaksi dari aku dan Gya. Gya yang cekikikan, sampai melupakan obrolan tentang 27 pacarnya karena asik menertawakanku yang terkena shock jantung karena pertanyaan Ayah. “Apa? Seorang Arjuna ngejar cewek? Gak mungkin, Yah. Cewek yang ngejar-ngejar Juna,” sahutku setelah sebelumnya mencari jawaban yang cukup logis di dalam kepalaku. Untungnya otakku yang biasanya ngadat setiap dipake mikir, mendadak cemerlang. Hal ini membuktikan jika aku sebenarnya tak kalah pintar dari Adit. Bedanya, Adit pintar di pelajaran. Sedangkan aku pintar ngeles mencari alasan untuk mengelak. Iya, kan? “Tapi bunda nggak bilang gitu.” Aku langsung ngelirik Bunda yang masih sibuk masak, seolah nggak ngedengerin apa yang lagi aku bicarain sama Ayah. Mengingat jika yang kemarin aku dan Bunda bicarakan adalah tentang Cinta Cantika, aku lagi-lagi dibuat kesal. “Bun, jangan bilang yang aneh-aneh dong sama Ayah! Aku kan nggak ngejar siapa-siapa. Nggak ada sejarahnya Arjuna Ganteng Paripurna ngejar cewek.” sayangnya, keluhanku cuma dianggap angin lalu sama Bunda. Ibundah yang aku anggap sebagai wanita tercantik di dunia itu malah tertawa menanggapi keluhanku. “Habisnya kamu tuh ya Mas, dibangunin buat makan malem sama Bunda. Nggak bangun-bangun juga. Padahal kemarin Gya juga sempet teriak-teriak di telinga kamu, tapi kamunya malah asik ngiler sambil nyebut-nyebut Cinta,” timpal Bunda yang langsung bikin aku lagi-lagi terkena serangan mental. Pantas saja Gya tertawa puas seperti itu waktu Ayah bertanya padaku. Apa jangan-jangan aku jadi aneh gara-gara terpeleset pisang itu, ya? Sebenernya sejak kemarin aku udah aneh. Tapi aku kira, yang error Cuma mataku. Tapi ternyata isi kepalaku juga error? Parah. Pisangnya si cewek prik itu ada mantra yang nggak kalah ajaib dari penampilan yang punyanya apa gimana? Kepeleset pisang aja efek nya separah ini. Apalagi kalau aku dekat-dekat sama si Cinta? Jangan-jangan aku bisa gegar otak. “Bun, nanti aku pulang sekolah kayaknya Bunda harus anter Juna ke Dokter deh. Dokter mata, Dokter syaraf otak juga gak papa deh.” kataku yang malah membuat Ayah tertawa. Bunda juga ngelakuin hal yang sama. Cuma Gya yang nggak ketawa. Aku kira dia udah ada di pihak aku, nggak taunya sibuk nunduk main hape dan stalking 27 pacarnya. Kalau tukar tambah adik dengan boneka mampang, kira-kira Bunda sama Ayah marah nggak ya? “Juna, Juna,” decak Ayah sambil menghela nafasnya. Salah satu penyebab unggulnya gen yang ada di dalam diriku itu keliatan capek hanya karena ngedenger setiap omonganku. Padahal kalau dipikir lagi, seharusnya aku yang capek. Udah kemarin kepeleset, terus pas sadar malah jadi error kayak sekarang. Semuanya gara-gara Cinta. “Itu namanya kamu naksir cewek. Bukan sakit apalagi sampe bermasalah otak ya.” Perkataan Ayah sama dengan apa yang kemarin Bunda katakan. Tapi nggak. Mana mungkin aku suka sama cewek prik macem Cinta? Dia sama sekali bukan perempuan tipeku. Jauh dari Bunda yang aku nobatkan sebagai wanita tercantik versiku. Ingat cita-citaku, kan? Aku ingin punya pacar yang cantik paripurna agar cocok bersanding denganku yang tampannya paripurna. Tak lama kemudian, Bunda datang bergabung dengan kami di meja makan. Tak lupa dengan berbagai hidangan yang sudah dimasak sebelumnya. Sarapan pun dimulai dengan tenang. Tanpa ledekan dari Ayah atau Gya yang mungkin bisa membuatku terkena shock jantung karena memikirkan perkataan Ayah yang menyebutkan jika aku menyukai Cinta. Selama makan, diam-diam aku mulai menyusun rencana. Dimulai dari memohon pada Cinta untuk mencabut pelet (kalau sekiranya pisang brengshake yang membuatku terpeleset itu mengandung pelet) sampai nyoba untuk terpeleset dan pingsan sekali lagi dengan sengaja. Apapun, sampai otak ku bisa sembuh dari error-nya. Kalau dipikir pikir, seram juga kalau ke dokter. Apalagi kemarin sedang musim suntik vaksin, kalau aku pergi ke rumah sakit lalu mengeluh jangan-jangan nanti kepalaku yang akan diberi suntik vaksin. Setelah selesai makan, aku langsung pamitan sama Bunda dan Ayah. Tak lupa sambil menjinjing helm, item ini adalah hal wajib buatku. Kenapa? Tentu saja agar wajah tampan yang aku miliki tidak kena polusi udara. Lalu alasan lainnya adalah untuk keamanan. “Bun, Yah, aku pergi dulu ya.” Beda dengan Ayah yang mengangguk, Bunda malah tersenyum meledek ke arahku, “Pergi awal, mau jemput cewek yang bikin kamu naksir ya?” katanya. Jelas saja aku langsung berpura-pura tidak mendengarnya. Jangan sampai isi kepalaku dipenuhi Cinta selama perjalanan nanti. Hari ini aku memang pergi lebih awal dari biasanya, aku mau memata-matai Cinta di sekolah. Siapa tahu dia menyimpan sesuatu di mejaku kan? Seperti pelet, misalnya. Nah, kan. Aku jadi paranoid. Sambil melajukan motorku keluar dari pekarangan rumah, tanpa sadar aku melirik ke arah rumah yang katanya akan diisi oleh tetangga baru. Lumayan ramai. Tapi masih sama seperti kemarin, belum keliatan siapa penghuni barunya. Beberapa saat kemudian, aku memasuki gerbang sekolah. Dengan cepat aku memarkirkan motorku di space kosong. Kalau biasanya aku cuma akan duduk di motor dan menunggu dua sahabat brengshake-ku, kali ini aku menunggu di sebuah tempat yang mengarah langsung ke lapangan. Jelas, tempatnya harus sepi. Dimana aku mau menaruh muka tampanku kalau ketauan memata-matai perempuan? Terlebih perempuannya macam Cinta yang nggak ada cantik-cantiknya sama sekali. Beberapa saat kemudian, orang yang aku tunggu datang juga. Aku tidak hafal jenis atau warna motornya, tapi kalau lihat pengendaranya yang memakai celana training panjang dibalik rok pendek nya, aku bisa tahu kalau itu adalah Cinta. Baru melihat tingkahnya yang seperti itu saja, aku langsung kembali dibuat istighfar sambil menggeleng. Penampilannya aneh bin ajaib. Lebih aneh kalau Bunda mengetahui hal ini dan masih mengira kalau anaknya yang tampan ini menyukai perempuan seperti itu. Melihat Cinta yang hendak melepas helm di kepalanya, aku langsung gelisah. Ekspresi ilfeel-ku langsung berubah. Buka! Cepetan buka! Helmnya ya. Bukan yang lain. Walau tampan, tapi aku tidak semesum itu. Lalu saat Cinta membuka helmnya, bahuku langsung melemas. Rasanya aku ingin berbaring telungkup di lantai dan menangis lalu meratapi diri—ah itu sedikit berlebihan. Tetapi aku berani bersumpah. Walau rambut Cinta saat itu terlihat lepek, dia tetap terlihat sama cantiknya seperti waktu aku melihatnya di UKS kemarin. Mi-Mina Twice?! Dari penyelidikan abal-abalku pagi ini, yang berakhir setengah penyesalan, aku percaya kalau mata dan kepalaku butuh asuransi kesehatan tambahan. Bunda tolong anakmu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD