"Setelah aku melahirkan, aku merasa sangat sendirian," suaranya lirih, penuh dengan kegetiran yang terpendam. "Kau ada di mana? Setiap malam aku bergumul dengan kecemasan, tekanan ku semakin berat. Dan kau...kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu seolah-olah aku tidak ada. Dan tidak peduli padaku sama sekali!"
Roy menatapnya, wajahnya tampak keras. Sorot matanya tak menyiratkan kelembutan. "Tidak peduli padamu? Zoanna, kau pikir aku tidak mencoba? Aku bertahan dalam pernikahan ini bukan karena kebahagiaan, karena itu sudah lama hilang. Aku bertahan karena Felix. Dia satu-satunya alasan aku terus berada di sini meskipun semuanya terasa salah."
Zoanna menggigit bibirnya, menahan amarah yang menyala di dalam dirinya. "Itu hanya alasanmu. Kau menggunakan aku sebagai kambing hitam, tapi kenyataannya adalah kau tidak pernah bisa melupakan wanita itu. Cinta pertama yang kau puja-puja, yang selalu ada dalam pikiranmu."
Roy menghela napas panjang, nadanya berubah menjadi lebih dingin. "Masih berani kau bicarakan itu? Kalau begitu, apakah perlu aku mengingatkan kenapa aku menikahimu? Kenapa kita akhirnya memiliki Felix? Apa kau ingin aku membuka semuanya sekarang?"
Mendengar ancaman tersembunyi itu, Zoanna menundukkan kepala, tubuhnya bergetar halus. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang tidak siap ia hadapi. Diam-diam, air mata mengalir di pipinya.
"Aku mencoba menjadi suami yang baik, Setiap kecurigaanmu, setiap luapan emosimu yang tak beralasan, aku memilih bertahan. Tapi aku tidak bisa menerima kau melampiaskan amarahmu pada Felix. Dia hanya anak kecil, tidak tahu apa-apa tentang kebencian atau masalah kita. Dia hanya tidak beruntung memiliki seorang ibu yang terlalu egois," jawab Roy
Zoanna mengangkat wajahnya, matanya yang berkaca-kaca mencari jawaban terakhir, Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Katakan padaku, Roy... kau pernah mencintaiku? Kau pernah melupakan dia?"
Roy menatap Zoanna sejenak, ekspresinya keras, tanpa sedikit pun kelembutan. "Aku tidak pernah mencintaimu, Zoanna. Dan aku tidak pernah melupakan dia. Jika bukan karena usaha dan manipulasi yang kau lakukan, wanita yang aku nikahi adalah dia," jawab Roy tanpa ragu, suaranya seperti pisau tajam yang merobek harapan terakhir istrinya.
Kata-kata itu menghantam Zoanna dengan kekuatan yang membuat tubuhnya terasa goyah, seolah-olah duniannya runtuh di hadapannya. Ia tak sanggup membalas, hanya mampu berdiri di sana dengan hati yang hancur.
Roy berpaling tanpa menoleh kembali, meninggalkan Zoanna di dalam kepedihan yang ia ciptakan. Ia berjalan menuju mobilnya, di mana putranya, Felix, berada. Saat Roy mendekat, ia melihat Jessie, sedang menenangkan bocah kecil itu. Melihat wajah anaknya, Roy berusaha menahan amarah dan rasa bersalah yang menguasainya.
"Papa!" seru Felix, matanya yang kecil menyiratkan rasa takut dan harapan, mengulurkan tangan mungilnya ke arah ayahnya.
Roy meraih tangan putranya dan mencoba tersenyum, meski hatinya berat. "Jangan takut! Mulai hari ini, kamu akan aman-aman saja. Maafkan papa karena tidak melindungimu dengan baik selama ini." Ia mencium pipi Felix dengan lembut, mencoba menghapus jejak ketakutan dari wajah anak itu.
Felix menggenggam tangan ayahnya dengan erat. "Papa, Felix tidak mau ikut mama. Felix tidak mau ke luar negeri!" Pintanya dengan suara lirih, matanya memerah menahan tangis.
Roy menunduk, mengusap kepala putranya dengan penuh kasih. "Tidak akan! Felix hanya akan bersama papa, aku janji," ujarnya.
"Wajahnya ada bekas tamparan, dan tangannya juga ada bekas cubitan," kata Jessie pelan, seolah setiap kata adalah tusukan baru bagi Roy.
Mata Roy mengeras, penuh dengan rasa marah dan penyesalan yang ia sembunyikan. "Kita akan ke rumah sakit sekarang juga," ujarnya tegas.
Setibanya di rumah sakit, Felix langsung diperiksa oleh dokter. Roy tetap berada di sampingnya, menggenggam erat tangan mungil putranya, memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan bocah itu. Felix, yang masih tampak ketakutan, sesekali menatap wajah ayahnya untuk memastikan bahwa ia tidak sendiri. Kehadiran Roy di sisinya memberikan kekuatan, meskipun di dalam hatinya, Roy merasa marah dan bersalah karena tidak mampu melindungi putranya lebih baik.
Setelah memeriksa dengan seksama, dokter menatap Roy dengan ekspresi serius, namun lembut.
"Bagaimana dengan Felix, Dokter?" tanya Roy dengan cemas, suaranya nyaris bergetar.
Dokter menunjuk bekas memar kecil di tangan Felix. "Tidak ada yang parah. Bekas cubitannya akan segera sembuh. Tapi yang harus Anda perhatikan adalah dampak emosionalnya. Kejadian seperti ini bisa meninggalkan trauma pada anak seusianya. Saya sarankan Anda meluangkan lebih banyak waktu bersamanya, agar ia bisa melupakan kejadian ini dengan lebih cepat."
Roy menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahannya. "Terima kasih, Dokter," ucapnya, Dengan hati-hati, ia menggendong Felix, menempatkan anak itu dalam pelukannya seolah ingin melindungi dari semua rasa sakit yang mungkin masih tersisa.
Saat mereka keluar dari ruangan dokter, Felix terlihat memandang ke sekeliling ruangan dengan penuh perhatian, seolah-olah mencari seseorang. Roy memperhatikan gerak-gerik putranya dan bertanya dengan lembut, "Felix, kamu sedang mencari apa?"
Mata Felix masih sibuk menyusuri wajah-wajah yang berlalu lalang. "Papa, di mana bibi tadi?" tanyanya, suaranya terdengar penuh harap.
Roy tersenyum tipis, menyadari siapa yang dimaksud putranya. "Bibi Jessie? Mungkin dia sedang pergi sebentar, sayang, mungkin melihat anaknya."
Wajah Felix berseri-seri, penuh rasa penasaran. "Apakah aku bisa melihat anak bibi itu?" tanyanya polos.
"Tentu saja, Felix. Bibi Jessie akan tinggal bersama kita. Dia memiliki seorang bayi yang baru lahir. Anaknya akan menjadi adikmu. Apakah kamu suka memiliki seorang adik?" tanya Roy, mencoba menyelipkan nada ceria untuk membuat Felix merasa lebih baik.
Felix menatap ayahnya dengan mata lebar, sejenak berpikir, lalu bertanya dengan polos, "Apakah adik akan disakiti oleh mama?"
Hati Roy mencelos mendengar pertanyaan itu. Ia mengusap kepala Felix dengan penuh kasih, berusaha menenangkan ketakutan anaknya. "Tidak, sayang. Tidak akan ada yang bisa menyakiti Felix ataupun adikmu. Papa akan selalu melindungi kalian."
Felix tersenyum lega. "Papa, aku tidak sabar ingin melihat adik. Bibi itu juga baik. Aku sangat nyaman bersamanya."
Roy mengangguk, hatinya sedikit lega melihat senyum anaknya. "Kalau begitu, Felix tidak akan pernah merasa kesepian," katanya dengan senyum yang hangat.
"Aku akan membantu Bibi menjaga adik," kata Felix, penuh semangat.
"Putra papa memang sangat pintar," balas Roy dengan lembut.
Jessie berdiri di samping bayinya, menatapnya dengan pandangan penuh kasih sayang sekaligus kesedihan yang tak terlukiskan. Tangannya dengan lembut mengusap pipi si kecil yang masih terlelap dalam damai. Di wajahnya yang mungil, Jessie melihat harapan yang rapuh, masa depan yang tak pasti, namun tetap ia genggam erat dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh.
"Sayang, bagaimana kalau Mama memberimu nama Devano?" ucap Jessie lembut, suaranya bergetar oleh emosi yang bercampur aduk.
Namun, di balik ucapannya, hatinya diselimuti oleh rasa getir. Ia tahu, cinta sejati tidak selalu berujung bahagia. Ia menatap Devano dengan tatapan penuh luka, seolah ingin menumpahkan semua rasa sakit yang selama ini dipendam. "Jatuh cinta dan setia pada pasangan tidak berarti kebahagiaan dan hubungan yang abadi," pikir Jessie. Ia mengingat bagaimana hubungan antara dirinya dan ayah Devano harus kandas akibat pengkhianatan yang menghancurkan segalanya.
"Dan kini Mama harus menjadi wanita jalang demi bertahan," batinnya, kesedihan yang selama ini terpendam muncul di wajahnya. "Apa bedanya aku dengan wanita itu yang pernah merenggut kebahagiaan keluargaku?"
Jessie menunduk, melihat wajah mungil Devano yang begitu rapuh dan tak berdosa. "Devano, demi dirimu, Mama hanya bisa menyetujui permintaannya. Karena kondisimu yang masih belum stabil," pikirnya.
"Walau aku merasa sangat murahan, Tapi, demi Devano, aku harus bersabar. Mudah-mudahan saja Roy Fernando rela membantu biaya Devano untuk saat ini. Aku harus mandiri cari pekerjaan. Tidak bisa hanya hidup bergantung pada suami orang," batin Jessie." Aneh sekali, Walau Devano sudah di hadapanku, Kenapa aku masih saja merasa ada sesuatu yang hilang?"