Tangis Felix semakin menjadi, "Papa... Papa... Papa..." panggilnya putus asa, berharap ada seseorang yang datang menyelamatkannya dari cengkeraman sang ibu. Namun, tidak ada jawaban.
Zoanna berhenti sejenak, menatap anak itu dengan dingin. Wajah Felix basah oleh air mata, tapi itu tidak menggoyahkan hati ibunya yang keras. Zoanna menarik napas dalam, amarah menguasai setiap gerakannya. Ia dengan kasar mengangkat tubuh kecil Felix dan mendorongnya ke dalam mobil.
"Mama, aku tidak mau!" Felix menangis histeris, mencoba melawan dengan tenaga yang tersisa. Tapi tangan kecilnya terlalu lemah untuk melawan genggaman Zoanna. Hatinya diliputi rasa takut yang tak bisa ia ungkapkan.
Dengan kekerasan, Zoanna memaksanya masuk ke dalam mobil. Tubuh mungil itu terjatuh di jok, wajahnya memerah karena tangisan yang tak kunjung reda. Ketakutan itu semakin dalam, meninggalkan bekas luka di hati kecilnya.
"Cepat jalan!" perintah Zoanna kepada sopir dengan nada tegas, mengabaikan tangisan putranya yang semakin lirih. Mobil melaju kencang, membawa Felix menjauh dari rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungannya.
Zoanna menghela napas panjang, tetapi emosinya semakin berkobar. Wajahnya tegang, menatap Felix dengan tatapan penuh kebencian. Setiap tangisan anak itu seolah menjadi paku tajam yang menusuknya. “Diam! Hanya tahu menangis saja. Diam atau aku mengirimmu ke panti asuhan luar negeri,” kecamnya dengan suara dingin, suaranya menggema di dalam mobil yang tertutup rapat.
Felix menyeka air matanya dengan tangan gemetar, isakannya terdengar lirih, tetapi masih tak terhenti. Tubuh kecilnya meringkuk di kursi, berusaha menahan tangis namun sia-sia. “Papa...Aku mau Papa,” katanya, suaranya penuh harap dan ketakutan bercampur menjadi satu.
Zoanna mencemooh dengan nada sinis, matanya berkobar dengan api kemarahan yang tak tertahan. “Papa? Dalam hatinya hanya ada cinta pertamanya. Bahkan kehadiranmu juga tidak bisa membuatnya bertahan di sini. Malah semakin jauh dariku. Lebih baik kau tinggal bersama pamanmu!” katanya dengan suara tajam, penuh ejekan.
“Tidak mau, Ma... Aku mau Papa... Papa...,” tangis Felix semakin keras, tubuhnya menggigil. Ia memeluk kakinya erat-erat, mencoba melindungi dirinya sendiri dari dinginnya suasana hati ibunya.
Zoanna semakin geram melihat anak itu yang tak mau diam. Tangisan Felix membuat telinganya berdenging, menambah rasa tidak sabarnya. “Berhenti!” perintahnya pada sopir, suaranya menggelegar di antara tangis Felix.
Dengan gerakan cepat dan penuh kemarahan, Zoanna menoleh ke anaknya, matanya memicing. “Apa kau masih tidak ingin diam?” tanyanya, sementara tangannya melayang dan mencubit tangan mungil putranya dengan keras. Felix menjerit, menyembunyikan tangannya yang sakit.
“Diam atau aku buang kau ke jalan? Kalau bukan karena aku melahirkanmu, Roy tidak akan menjauh dariku. Setiap aku memarahimu dia akan menyalahkan aku!” bentak Zoanna. Tangannya kembali melayang, mencubit lengan kecil Felix dengan lebih kuat.
“Ahh!” teriak Felix, suaranya menyayat hati. Isakannya berubah menjadi jeritan yang semakin memilukan.
Sopir di depan melirik ke cermin atas, melihat kejadian itu dengan hati yang tersayat. Ia menyaksikan setiap perlakuan kejam Zoanna terhadap anak yang tak bersalah, merasa iba, tetapi tak berdaya.
Felix, dengan air mata yang mengalir deras, berusaha meraih ibunya dengan tangan gemetar. “Mama, tolong jangan!” suaranya pecah, menggigil ketakutan. Tubuhnya mencoba menghindari tangan Zoanna yang mencengkeramnya.
“Sakit!” tangisannya semakin keras, seolah-olah seluruh rasa sakit itu berkumpul menjadi jeritan pilu.
“Diam!” bentak Zoanna, kali ini dengan tamparan keras yang membuat wajah Felix berpaling dengan suara nyaring. “Plak!” Bekas merah langsung tampak di pipi anak itu. Isakannya berubah menjadi histeris, matanya membelalak dengan ketakutan yang begitu nyata.
Namun, sebelum situasi bisa menjadi lebih buruk, sebuah mobil mewah berhenti mendadak di depan mereka. Roy turun dengan raut wajah penuh kemarahan, langkahnya cepat dan berat saat mendekati Zoanna. Ia membuka pintu dan menarik tangan istrinya dengan kasar, tanpa memedulikan tatapan terkejutnya.
Dengan amarah yang meluap, Roy menampar Zoanna keras, membuatnya jatuh terkapar di aspal. “Plak!”
Di dalam mobil, Jessie yang melihat situasi itu segera keluar. Ia berlari ke arah pintu tempat Felix berada, membuka pintu dengan hati-hati dan melihat anak kecil yang menangis ketakutan. “Felix!” serunya dengan suara lembut, meski napasnya bergetar.
Felix berteriak ketakutan saat mendengar namanya disebut, tubuhnya kaku.
“Jangan takut, Bibi adalah teman Papamu. Mari kita pergi,” bujuk Jessie dengan suara yang penuh kelembutan. Perlahan, ia mendekap tubuh kecil Felix dan mengangkatnya ke dalam pelukannya.
Tangis Felix masih terdengar, tetapi ia memeluk Jessie erat-erat, mencari perlindungan yang tak pernah ia dapatkan dari ibunya. Jessie membawanya ke dalam mobil, matanya menatap penuh kasih, “Kamu sudah aman. Jangan takut,” bisiknya sambil menepuk punggung Felix pelan.
Zoanna terkapar di atas aspal, napasnya memburu saat ia menatap suaminya dengan penuh kebencian dan dendam. “Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?” suaranya bergetar antara kemarahan dan rasa malu yang terlontar dari bibirnya.
Roy tidak membuang waktu, amarahnya meluap seiring langkahnya mendekati Zoanna. “Kau tidak perlu tahu!” bentaknya, suaranya berat dan penuh ketegasan. “Kau berencana ingin mengirim Felix ke luar negeri? Anak usia tiga tahun kau kirim ke tempat yang jauh? Apa kau masih waras?” Wajahnya memerah, tangannya terkepal. Setiap kata yang keluar darinya seolah menghantam Zoanna dengan kekuatan penuh.
Zoanna bangkit dengan perlahan, tubuhnya gemetar, namun ia menolak untuk menunjukkan kelemahan. Ia berdiri di hadapan suaminya, menghadapi Roy dengan tatapan menantang. “Untuk apa kau peduli padanya? Aku yang mengandung dan melahirkannya! Kenapa kau selalu ikut campur dalam urusanku?” suaranya tajam dan penuh perlawanan, seolah mencoba menutupi rasa takut yang menyelinap dalam dirinya.
Roy memandang Zoanna dengan ekspresi penuh kebencian. Ia mendekatkan wajahnya, menatap matanya dengan tajam. “Aku peringatkan kau untuk terakhir kali. Jangan coba mendekati Felix lagi. Aku akan merebut hak asuh kali ini. Felix tidak akan bersama dengan ibu yang gila seperti dirimu!” ujarnya dengan nada dingin yang tidak bisa dibantah. Kata-katanya menusuk Zoanna dalam-dalam.
Wajah Zoanna memerah karena marah dan penghinaan yang ia rasakan. Ia melangkah maju, mencoba membalas dengan suara yang tergetar penuh emosi.
“Apa salahku sehingga kau selalu ingin menceraikan aku? Bagaimana denganmu, Roy? Di saat kita masih berstatus suami istri, kau malah bersama wanita j4lang itu. Wanita malam pemu4s ranjangmu!” Zoanna meluapkan semua amarah yang ia pendam. “Kau adalah seorang suami, tetapi bersenang-senang dengan wanita malam dan mengabaikan istri sendiri. Sejak aku melahirkan anakmu, kau tidak pernah lagi menyentuhku.”
Di dalam mobil, Jessie duduk dengan tenang sambil memeluk Felix yang mulai mereda dari tangisannya. Namun, suara pertengkaran pasangan itu terdengar jelas ke telinganya, memunculkan bayangan pahit di masa lalunya. Jessie menarik napas panjang, berusaha menenangkan gejolak hatinya.
“Lagi-lagi wanita luar...” gumamnya, suara lembutnya sarat dengan rasa pahit dan kegetiran. “Harry dan dia sama saja, mengabaikan istri sendiri dan bersenang-senang dengan wanita lain. Pada akhirnya, anak yang menjadi korban.”
Jessie menatap wajah Felix yang mulai tenang, matanya masih menyimpan bekas air mata. Tangannya mengusap lembut kepala anak itu. “Apa lagi aku yang akan menjadi simpanannya,” lanjut Jessie, suaranya hampir tak terdengar. “Hanya akan dibuang kapanpun. Istrinya begitu cantik, juga masih dikalahkan oleh wanita malam.” Pandangannya melayang, mencoba membuang pikiran pahit itu, sementara ia terus memeluk Felix dengan erat.
"Kau tahu apa sebabnya aku menjauh darimu?" tanya Roy.
"Karena kau mencintai j4lang itu," jawab Zoanna.
"Tidak sama sekali! Ini bukan cinta, Hanya karena aku tidak ingin bersamamu. Sifatmu yang tidak wajar selalu saja menyakiti Felix. Bahkan di saat dia masih bayi, Kau juga tidak bisa bersikap seperti seorang ibu," jawab Roy.