Sandra yang menyadari bayinya telah hilang merasakan dunia seolah-olah runtuh di sekelilingnya. Rasa takut mencengkeramnya erat. Tanpa memedulikan dinginnya malam yang menusuk kulit, ia bergegas keluar, matanya liar mencari dalam kegelapan. Udara yang beku membuatnya terbatuk-batuk, namun ia tidak peduli. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan bayinya yang tak berdaya.
"Jones... Jones..." teriak Sandra, suaranya serak dan penuh harapan yang tersisa, sementara ia terus melihat ke segala arah, berharap menemukan petunjuk sekecil apa pun.
"Dia pasti membawa pergi bayi itu," gumamnya dengan suara yang terdengar putus asa, namun tekad kuat menguatkan langkahnya yang cepat. "Aku harus menemukan bayi itu," tambahnya, mengepalkan tangannya agar tidak menyerah pada ketakutan yang semakin membesar.
Waktu terasa berjalan lambat selama pencarian yang penuh ketegangan. Satu jam berlalu dengan Sandra berlari dari satu sudut gelap ke sudut lainnya, melewati jalan setapak yang sunyi dan pekat. Akhirnya, langkahnya terhenti saat sebuah suara akrab memanggil namanya dari kejauhan.
"Sandra! Apa yang kau lakukan, ha? Kenapa Jones meletakkan bayi ini di semak-semak? Suamiku kebetulan lewat dan menemukannya," ujar wanita yang mendekat dengan tergesa, menggendong bayi kecil yang tak lain adalah Jessie. "Dia mengenalnya karena tanda lahir di lengannya."
Sandra merasa tubuhnya lunglai seketika, lututnya hampir tak mampu menopang berat tubuhnya. Ia berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh menuju wanita tersebut. "Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya dengan suara bergetar dan mata penuh kecemasan, menatap bayi yang terlelap dalam pelukan.
Wanita itu tersenyum lelah, namun penuh simpati. "Aku memberinya s**u dan menyelimutinya agar tidak kedinginan. Kasihan sekali bayi ini... Dia baru saja tertidur."
Air mata Sandra mengalir deras. Ia ingin memeluk bayi itu, namun kedua tangannya gemetar. "Terima kasih... terima kasih sudah menyelamatkannya," katanya dengan suara yang nyaris pecah. "Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Jones... Mungkin saja dia ingin membuang bayi ini."
Wanita itu menghela napas, menatap Sandra dengan campuran keprihatinan dan ketegasan. "Kau harus berhati-hati, Sandra. Bayi ini membutuhkanmu. Apapun yang terjadi, kau harus melindunginya."
***
Sandra membawa bayi itu kembali ke rumah, Namun, perasaannya langsung berubah menjadi kecemasan begitu ia membuka pintu dan mendapati suaminya, Jones, duduk di kursi ruang tamu dengan botol minuman keras di tangannya. Aroma alkohol yang tajam memenuhi ruangan. Matanya merah dan penuh kemarahan, seolah siap meledak kapan saja.
"Kenapa kau membawa anak sialan ini pulang lagi, ha?" teriak Jones dengan nada penuh kebencian. Tubuhnya oleng ketika ia berusaha bangkit dari kursinya.
Sandra memeluk bayinya erat-erat, melindunginya dari pandangan jahat Jones. "Apa kau tidak waras, ha? Anak ini tidak bersalah. Kenapa kau membuangnya seperti seekor anak kucing?" jawab Sandra, mencoba tetap tenang meskipun amarah sudah menggelegak di dadanya. Suaranya bergetar, namun matanya menatap suaminya tajam.
Jones menyeringai sinis, langkahnya gontai mendekati mereka. "Kita tidak akan sanggup merawatnya! Kau harus ingat itu!" katanya dengan suara yang sarat dengan keputusasaan dan kemarahan. Ia meneguk minuman dari botolnya, membiarkan beberapa tetes cairan mengalir di sudut bibirnya.
Sandra mendesah panjang. Ia tidak ingin berdebat lebih lama dengan pria yang mabuk dan kehilangan akal sehat. Ia berbalik dan melangkah menuju kamar mereka.
"Aku belum selesai bicara!" seru Jones, suaranya menggema di dalam rumah yang sepi. Namun, Sandra mengabaikannya.
Setelah meletakkan bayi itu dengan hati-hati di tempat tidur kecil, Sandra kembali keluar. Tubuhnya lelah, tapi ia tahu harus menghadapi Jones. "Jangan meninggikan suaramu," katanya tegas, berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah meskipun kemarahan sudah memuncak.
"Anak itu pembawa sial! Oleh sebab itu orang tuanya membuangnya. Kenapa kita harus membawanya pulang ke sini? Buang saja di suatu tempat!" bentak Jones, matanya memancarkan kebencian saat ia mencoba berjalan ke arah kamar bayi.
Sandra melangkah cepat, menahan tangan suaminya,"Jangan sentuh dia! Bayi sekecil ini sudah banyak menderita. Dia tidak tahu apa-apa sama sekali! Kenapa kau harus begitu kejam padanya? Beri dia kesempatan untuk hidup!" kata Sandra, suaranya penuh harapan meski rasa takut melingkupinya. Ia menggenggam tangan suaminya erat-erat, memohon agar pria itu berubah.
"Lepaskan tanganku!" bentak Jones. Dengan kasar, ia mendorong Sandra hingga tubuh wanita itu kehilangan keseimbangan. Sandra terjatuh dengan keras, kepalanya membentur sudut meja. Suara dentuman itu bergema di telinga Jones. Tubuh Sandra ambruk ke lantai, tak bergerak. Darah segar mengalir dari luka di kepalanya.
Jones tertegun sejenak, napasnya tercekat. "Menyusahkan saja," katanya ketus, namun langkahnya mendadak terhenti. Ia berbalik, menatap tubuh Sandra yang tergeletak di lantai. "Sandra! Jangan akting, cepat bangun!" serunya, suaranya berubah menjadi nada cemas. Tidak ada jawaban. Rasa panik mulai merayapi dirinya. Jones mendekat, lututnya goyah saat melihat darah yang terus mengalir.
"Sandra! Jangan menakuti aku. Cepat buka matamu!" katanya berulang kali, dengan suara yang semakin putus asa. Ia mengguncang tubuh Sandra, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Napasnya tercekat, akhirnya ia memeriksa denyut nadinya dan menyadari kebenaran yang menghantamnya seperti petir.
"Sudah mati..." gumam Jones dengan suara bergetar. Ia terduduk di lantai, matanya kosong, seolah tidak percaya apa yang telah terjadi.
Setelah beberapa saat terdiam, Jones perlahan bangkit. Pandangannya teralihkan ke kamar Sandra, Tempat bayi yang sedang tidur. Dengan langkah berat, ia memasuki kamar itu. Tatapannya penuh kebencian. Ia mendekati bayi itu, matanya menyipit.
"Bayi sialan... Istriku memintaku memberimu kesempatan untuk hidup," ucapnya dingin, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh kebencian. "Baiklah. Aku akan membuatmu hidup. Tapi... kau akan menjalani kehidupan yang menderita. Jangan berharap bisa makan dan minum gratis. Jangan berharap bisa sekolah atau memiliki mainan."
Tatapan Jones semakin kelam. Kebencian dan kehancuran yang dirasakannya menjelma menjadi ancaman yang meresahkan, dan bayi itu hanya bisa terbaring, tidak tahu apa yang akan menantinya di masa depan.
***
Di sisi lain, Zoanna menarik putranya, Felix, dengan langkah tergesa-gesa, membuat anak kecil itu kebingungan dan ketakutan. Udara dingin tidak mampu meredam rasa panik yang mulai merasuki pikiran Felix.Wajah ibunya tegang, dan cengkeraman di tangannya begitu keras hingga menyakitkan.
"Jangan melawan, cepat masuk ke dalam mobil!" titah Zoanna dengan nada keras, suaranya menggema, menggetarkan hati Felix yang masih lugu.
Felix menggeleng, matanya penuh air mata. "Mama, aku tidak mau!" katanya, melepaskan cengkeraman tangan ibunya dengan sekuat tenaga dan berlari menuju rumah. Napasnya tersengal, ia merasakan jantungnya berdetak cepat di dadanya. Rasa takut merayap di sekujur tubuhnya.
"Berhenti!" teriak Zoanna, matanya membelalak marah. Ia mengejar Felix dengan langkah cepat.
Saat ia berhasil mengepung Felix di ruang tamu, Zoanna berusaha mengatur napasnya. "Kau harus pergi dari sini. Aku sudah siapkan tiket untuk mengirimmu ke luar negeri. Di sana ada pamanmu yang bisa menjagamu," katanya, kali ini nadanya lebih tenang, namun tetap penuh paksaan.
"Tidak mau!" teriak Felix, ketakutan yang terpancar di matanya terlihat jelas. Ia berlari secepat mungkin, berharap bisa lolos dari cengkeraman ibunya. Namun, langkah kecilnya tersandung oleh kaki meja dan tubuhnya jatuh ke lantai keras. Air mata mengalir di pipinya saat ia mengerang kesakitan. "Aahhh!"
Zoanna menghampiri dengan cepat. Ia menatap anaknya yang terjatuh, bukan dengan rasa khawatir, melainkan dengan kemarahan yang membara. "Masih ingin lari?" bentaknya. Ia menarik lengan mungil Felix dengan kasar, hingga anak itu menangis kesakitan.
"Mama... sakit!" rintih Felix dengan suara serak, mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman yang menyakitkan. Tetapi Zoanna tidak peduli. Hatinya telah membeku, tertutup oleh amarah dan tekanan yang tak terkatakan. Ia menarik Felix seolah bocah itu tak lebih dari boneka yang bisa ia kendalikan sesuka hati.