"Zoanna, aku tidak ingin membahasnya lagi, setelah kita bercerai, Kau masih bisa menemui Felix. Asalkan kau jangan pernah membuat dia menangis lagi!" kata Roy.
Zoanna merasakan darahnya berhenti mengalir sejenak. Kata "cerai" meluncur dari mulut Roy seperti belati tajam yang merobek jiwanya.
“Cerai?” Zoanna bertanya, suaranya gemetar antara marah dan tak percaya. Ia bangkit, menegakkan tubuhnya meski dadanya terasa sesak. “Apakah karena dia? Kau ingin membawa anak kita tinggal bersamanya, bukan?” Nada suaranya penuh tuduhan, seolah ia berusaha menggali jawaban yang sebenarnya telah ia ketahui.
"Tidak ada hubungannya dengan dia. Kau juga tahu apa sebabnya aku ingin bebas dari pernikahan ini." Suaranya datar, tak memberi ruang bagi perdebatan. Demi Felix, aku tidak akan melarangmu bertemu dengannya. Tapi tolong jangan menimbulkan masalah lagi.” Matanya menajam, ancaman menggantung di ujung kalimatnya. “Kalau tidak, aku akan mengajukan ke pengadilan, agar kau tidak bisa lagi berjumpa dengan Felix!”
"Salahku di mana? Kita menikah karena saling mencintai,” katanya, suaranya bergetar, penuh kesedihan dan kegetiran. “Kenapa kau begitu kejam padaku, Roy? Kau yang mengejarku saat itu. Kau yang berkata ingin bersamaku selamanya. Setelah aku melahirkan anak kita… kau malah menjauh. Apa aku membuatmu merasa jijik?”
Mata Roy mengeras saat mendengar kata-kata itu. Tanpa ampun, ia menjawab, “Seharusnya kau bercermin dan bertanya pada dirimu sendiri. Apa sebabnya aku menikahimu dan sekarang ingin menceraikanmu! Semua kejadian ini bermula dari dirimu sendiri.” Ia berhenti sejenak, memandangnya dengan tatapan yang dingin. “Kalau bukan karena kau, apakah aku masih bertahan di sini?” Dengan gerakan tegas, Roy menutup laptopnya dan bangkit dari tempat duduknya. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Zoanna dalam keheningan yang menyakitkan.
Zoanna terpaku. Kata-kata Roy menusuk hatinya, menghancurkan sisa harapan yang mungkin masih ia simpan. Dadanya terasa berat, seperti dihempas oleh gelombang penyesalan dan kemarahan.
“Lagi-lagi wanita itu yang kau rindukan,” gumam Zoanna dengan suara pelan, namun penuh luka. “Apakah hanya dia yang selama ini ada di hatimu? Bahkan aku, yang telah memberimu anak, masih kalah darinya. Roy Fernando, sampai kapanpun aku tidak bisa menggantikan tempatnya di hatimu!”
“Cinta lama… cinta lama yang gagal kau miliki, kini masih menjadi penyesalanmu walau kita telah memiliki anak. Begitu pentingkah dia di hatimu!” Seruan itu terdengar penuh kepedihan, mengekspresikan perasaan kecewa yang tak lagi bisa dibendung.
Tanpa berkata lagi, Zoanna berbalik, melangkah dengan langkah berat menuju kamarnya. Begitu ia masuk, pandangannya jatuh pada putranya yang sedang terlelap. Anak kecil itu tampak begitu damai, tak tahu bahwa kehadirannya membawa badai dalam pernikahan kedua orang tuanya. Zoanna mendekati ranjangnya, memandangi wajah polos anaknya dengan campuran perasaan yang sulit ia definisikan.
“Aku berharap dengan kehadiranmu, Roy akan semakin dekat denganku,” bisiknya dengan getir, “Ternyata aku salah besar. Karena adanya dirimu, aku malah semakin dijauhkan darinya, hingga ia ingin menceraikan aku.”
**
Di sebuah pedesaan yang jauh, Jones membuka pintu kamarnya perlahan, berusaha tak membangunkan istrinya yang tengah tertidur. Matanya menyipit saat pandangannya tertuju pada bayi yang berbaring di sudut ruangan. Bibirnya melengkung menjadi senyum jahat, penuh rencana yang kelam.
“Anak ini… aku jualkan saja ke mereka,” gumam Jones dengan nada dingin, seolah-olah keputusan itu bukan hal besar. “Setidaknya, aku bisa dapat uang untuk minum.” Ia mendekati bayi itu, pandangannya gelap, Wajahnya mencerminkan keserakahan yang menutupi sisa-sisa kemanusiaannya.
“Jangan salahkan aku, salahkan saja nasibmu yang sial,” ucapnya kepada bayi yang tak tahu apa-apa, tanpa hati.
Jones melangkah keluar dari gubuknya, menggendong bayi kecil milik Jessie dengan tangan yang kasar dan hati yang dingin. Udara malam yang dingin menusuk tulang, tetapi Jones tidak mempedulikannya. Niatnya bulat—bayi itu hanyalah beban. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju tujuan yang hanya ia sendiri ketahui. Tak lama kemudian, tangis bayi itu pecah, memecah kesunyian malam.
"Diam!" bentak Jones, menatap bayi itu dengan pandangan penuh rasa benci. "Untuk apa aku harus merawatmu? Kau tidak berguna, hanya membawa masalah saja!" suaranya dingin, tanpa secercah kasih sayang. Tapi tangisan itu justru semakin nyaring, seakan bayi itu sadar bahwa dirinya sedang berada dalam bahaya.
Beberapa jam kemudian, Jones tiba di sebuah gubuk kecil di pinggir desa. Pria-pria yang tengah berjudi berhenti sejenak, menatap Jones dengan rasa ingin tahu yang samar. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan mata licik, mendekat. “Untuk apa kau membawa bayi ini ke sini? Tidak ada yang mau menerimanya,” katanya sambil melirik bayi itu dengan jijik.
“Aku butuh uang,” sahut Jones tanpa ragu. “Bukankah istrimu tidak punya anak? Aku jual murah saja. Yang penting aku bisa minum,” ujarnya sambil tersenyum miring. Tapi tawarannya ditanggapi dengan gelengan kepala.
“Bayi ini belum satu bulan, merawatnya butuh biaya besar. Bawa saja ke tempat lain. Lagi pula, di desa ini siapa yang sanggup memberinya makan?” jawab pria itu, sinis.
Jones mendesah dengan frustrasi. “Cukup berikan air putih saja. Istriku juga memberinya air putih, dan dia bisa kenyang,” katanya, seolah-olah itu solusi yang masuk akal.
Tangisan bayi itu semakin kencang, wajah kecilnya memerah, seolah berteriak meminta pertolongan. Udara malam yang dingin membuat tubuh kecil itu menggigil.
“Diam! Kerjamu hanya tahu menangis!” bentak Jones, suaranya keras dan penuh kemarahan.
Tapi suara tangisan itu malah membuat para pria berjudi menjadi gerah. “Bawa pergi! Sangat berisik!” mereka berteriak, merasa terganggu.
Dengan rasa kecewa bercampur marah, Jones berjalan menjauh. Di tengah perjalanan, tangisan bayi itu tak juga mereda. Jones yang kesal mencubit tangan bayi itu, membuat tangisannya semakin keras. “Apa kau bisa diam? Kau sudah menangis hampir satu jam!” Jones menggeram, giginya terkatup rapat.
Akhirnya, rasa kesalnya memuncak. “Lebih baik aku buang saja, daripada membawa anak sial sepertimu ke rumah!” ucap Jones, meletakkan bayi itu di pinggir jalan yang gelap dan sunyi. Di sekelilingnya hanya ada semak-semak dan rumput tinggi yang bergoyang tertiup angin malam.
“Pantas saja orang tuamu tidak mau kau. Selalu saja menyusahkan,” gumamnya sebelum berbalik, meninggalkan bayi itu sendirian di kegelapan malam, tangisnya bergema tanpa jawaban.