TAN:
Akhirnya gue berhasil menelepon Kiara untuk yang pertama kalinya, setelah sebelumnya dengan susah payah gue mengais-ngais keberanian yang terbuang dalam tong sampah di samping kubikel gue. Sekarang kedua sahabat dunia akhirat gue ini malah menatap gue dengan tatapan aneh. Seolah gue adalah artefak dari zaman Meghantropus Electus yang ditemukan melalui penggalian arkeologi. Kurang ajar banget. Apalagi ekspresinya Fandi, persis kayak pecundang bertahuntahun nggak ngerasain yang namanya o*****e hebat.
"Nyet, lo nggak salah minum obat?" ucap Fandi mendaratkan punggung tangannya di depan jidat gue.
"Apaan lo? Gue nggak sakit kok," jawab gue.
Alvin menertawai gaya salam gue menelepon Kiara beberapa saat yang lalu. "Sejak kapan lo pakek salam 'assalamualaikum' gitu?" tanyanya takjub dan kagum seperti melihat hamparan gunung dan pantai yang selalu
menjadi destinasi favorit untuk menyalurkan hobi travelling-nya.
"Setdah, gue ini muslim woyyy! Wajar lah gue salam gitu," jawab gue pura-pura tersinggung.
"Oh ya! Saya kira selama ini Anda atheis, Pak?" Fandi ikut-ikutan meledek gue. Kelihatan banget dia bahagia.
"f**k, banget emang lo!" Gue mencibir.
"Kok gue jadi penasaran sama si Kiara itu. Ada fotonya nggak?" Gue cuma menggeleng karena memang nggak memiliki fotonya. Gue lihat kontak BBM-nya, saat ini masih menggunakan gambar langit yang mungkin dia ambil saat berada di pesawat sebelum ke Jakarta kemarin, sebagai display picture.
"Gue jadi salting, Bro, sampai nggak tau gimana caranya bersikap sama cewek. Kiara ini bener-bener istimewa di mata gue."
Alvin menepuk pundak gue tanpa mengatakan apa pun sebagai bentuk dukungan, seperti biasanya.
Pukul setengah delapan malam gue mencoba menghubungi Kiara kembali, tapi dua kali menghubunginya, panggilan gue nggak dijawab. Mungkin dia masih tidur. Dia pasti lelah banget, pikir gue. Akhirnya gue memutuskan untuk nggak meneleponnya lagi. 15 menit berlalu, ponsel gue berdering. Di layar ponsel, ada nama Kiara sedang mencoba menelepon. Gue langsung menyambar ponsel dan menerima panggilan teleponnya.
"Hallo, ya Kiara?"
"Sorry ya, aku tadi tidur waktu kamu telepon."
"Iya, it's ok, kamu pasti masih capek. Gimana, apa bisa keluar malam ini?" tanya gue ragu.
"Iya bisa, Tan."
"Oke good, aku jemput kamu ya di hotel."
"Kita ketemuan di lobby ya?"
"Oke."
Gue langsung bersiap dan segera berangkat menuju hotel, tempat Kiara menginap.
KIA:
Setelah menelepon Dastan, kuputuskan untuk menelepon Andra. Dia harus tahu tentang Dastan ini. Aku dan Andra memang cukup dekat dan sering saling bercerita, bahkan tentang hal sekecil apa pun, termasuk tentang siapapun laki-laki yang sedang mendekati ataupun sedang dekat denganku. Selain karena usia kami terpaut cukup dekat, aku dan Andra memang selalu cocok dalam mengobrolkan hal apa saja. Aku menceritakan kembali pertemuanku dengan Dastan dan pertemuan kami sebelumnya pada Andra, serta semua kebetulan yang di luar nalar ini. Ada jeda sesaat. Mungkin Andra sedang berpikir, sepertinya juga tertarik saat aku menceritakan bahwa kami sudah bertukar nomor ponsel dan pin BBM.
"Sekarang dia ngajakin Mbak jalan."
Andra berdecak kagum di seberang telepon."Wah gercep juga. Kayaknya dia emang naksir deh, dari
pertama lihat Mbak di kereta api waktu itu. Aku ngerasa caranya dia mandangin Mbak waktu itu tuh, beda."
Aku tertawa. "Sok tau kamu. Kayak peramal aja."
"Yeee, dikasih tau malah ngeyel. Aku ini cowok. Jadi, tahu bedanya pandangan cowok yang hanya pengin lihatin aja sama yang lebih dari pengin lihatin aja."
"Terus Mbak mesti gimana sekarang?" Lagi-lagi Andra tertawa meledekku.
"Kamu kayak ABG aja, Mbak. Ya udah sekarang siap-siap aja. Yang penting hati-hati di jalan, pulangnya jangan tengah malam, terus GPS ponselmu aktifin, biar kalau kamu diculik sama si Dastan itu gampang ngelacaknya," lanjutnya. Andra tertawa terbahak-bahak setelahnya. Begitulah Andra, cowok paling menyebalkan di muka bumi ini, tapi aku selalu cocok dengannya, dan dia memang selalu menyenangkan jika diajak mengobrol. Tidak heran dia bisa memiliki banyak kenalan juga teman baik. Karakternya berbeda sekali denganku.
Tuhan, kenapa perasaanku jadi tidak keruan ya rasanya. Untunglah aku membawa beberapa pakaian non formal yang bisa aku gunakan untuk pergi malam ini. Kuputuskan menggunakan dress bahan katun dengan panjang diatas lutut berwarna merah, tanpa lengan, dipadukan dengan cardigan cream dan sandal tali dengan heels setinggi lima senti berwarna beige. Rambut sebahuku kubiarkan tergerai dan malam ini aku menggunakan softlens bening agar tidak perlu repotrepot dengan kacamataku. Kupoles wajahku dengan make up sederhana.
Pukul delapan lebih dua puluh ponselku berbunyi tanda ada pesan BBM masuk. Dastan mengabarkan bahwa dia sudah menungguku di lobi saat ini. Aku mematut kembali penampilanku di depan cermin dan tersenyum tipis melihat pantulan bayanganku sendiri. Kusambar sling bag Dior hitamku, lalu berpamitan pada rekan sekamarku.
Sesampainya di lobi, peredaran bola mataku berhenti pada sosok laki-laki yang sedang duduk santai di sofa dekat meja resepsionis. Dia semakin terlihat
tampan walaupun tampilannya berubah. Kali ini penampilannya lebih santai dari pertemuan siang tadi. Dia mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak kecil berlengan panjang. Lengan kemejanya sudah dilipat hingga siku dan dilengkapi celana jeans warna biru denim, juga Converse warna abu-abu. Dia sedang menelepon seseorang sehingga tidak menyadari kedatanganku. Aku melanjutkan langkah dan berhenti di hadapannya, kutarik napas pelan lalu menyapanya.
"Hay," sapaku dengan suara lirih.
"Eh, hay," jawabnya seraya mendongak. Dia tersenyum kepadaku. Seketika itu, kakiku jadi terasa lemas.
Seharusnya, ada suatu tanda khusus yang harus dia bawa ke manapun untuk memberitahuku dan para kaum Hawa, agar menutup mata ketika dia memutuskan untuk tersenyum. Dastan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya. Dia memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu tersenyum. Apa ada yang salah dari penampilanku. Ah, semoga saja tidak.
"Lama nggak nungguinnya?" tanyaku kemudian agar segera menghentikan kegiatannya yang sedang memerhatikanku dengan cukup intens.
"Emmhh, enggak kok. Kita jalan sekarang, ya."
Aku mengangguk lalu mengekori tubuhnya yang tinggi. Punggungnya enak banget itu dibuat sandaran hidup, eh. Kata Nadine tipe punggung sander-able. Aku mengulum senyum mengingat ekspresi Nadine bila berpapasan dengan laki-laki tipe itu.
Dastan tiba-tiba menoleh. "Jangan jalan di belakangku dong, ntar aku dikira Om kamu, lagi," ucapnya.
"Eh, Iya. Sorry," jawabku sambil tersenyum kikuk.
Di pintu utama hotel, Dastan memberikan kartu parkir dan kunci mobilnya kepada petugas vallet. Tidak sampai sepuluh menit, sebuah sedan hitam mengkilat sudah berada di hadapan kami. Petugas vallet membungkuk lalu menyerahkan kunci mobil kepada Dastan.
"Ayo, Kiara, masuk," ujar Dastan dengan ramah sambil membukakan pintu penumpang untukku. Pipiku menghangat diperlakukan seperti ini.
"Kamu suka lagu apa, Kia?" tanya Dastan memecah keheningan di antara kami sambil menghidupkan audio mobilnya. Kenapa namaku menjadi manis begini kedengarannya saat dipanggil Kia oleh Dastan. Ouch...
"Apa saja, asal jangan lagu heavy metal."
Dastan tersenyum lebar menanggapi jawabanku. Aku memang tidak suka musik metal yang membuat telinga berdengung. Baguslah, Dastan juga tidak suka genre musik seperti itu. Dia kemudian memutar lagu milik Adera yang berjudul Bahagia Bersamamu.
"Kita mau ke mana, Tan?"
"Jalan-jalan dulu sambil ngobrol, gimana? Abis itu makan. Atau kamu mau sebaliknya?" gestur tubuhnya terlihat tenang, sesekali jarinya diketukkan di roda kemudi seolah mengikuti melodi yang sedang mengalun dari audio.
Aku menatap mata sipitnya tanpa ekspresi sesaat. Sedikit banyak aku ragu, apa akan aman bersama dia malam ini? Apa dia tidak akan mengajakku ke tempattempat aneh nantinya? Seharusnya aku berpikir dua kali saat menerima ajakannya tadi, tapi sudah terlambat. Sekarang apa dia tidak berpikir bahwa aku ini perempuan yang gampangan? Padahal ini adalah perkenalan pertamaku dengannya, aku sudah maumaunya diajak jalan, ck, Kiara, Kiara. Aku berdecak sebal mengingat sikapku yang terlalu gegabah ini. 'Semoga Allah selalu melindungiku dari marabahaya dan hal-hal buruk nantinya, Amin.' Aku merapalkan doa dalam hati.
"Gimana, Kia?" pertanyaan Dastan sedikit mengejutkanku.
"I, iya terserah kamu aja. Asal jangan ngajak aku ke tempat dugem." Kiara Cavitri Yusuf apa yang kamu ucapkan? Lihatlah sekarang ekspresi Dastan berubah kaget begitu. Rutuk dewi batin di hati kecilku.
"What? Ya enggaklah, Kia. Emang aku keliatan kayak bukan pria baik-baik, ya, sampai kamu berpikiran aku akan membawa kamu ke tempat dugem?" ucapnya sambil tertawa, tetapi pandangannya masih fokus ke jalanan yang lumayan padat malam ini.
"Enggak gitu kok. Maaf ya," ucapku dengan kepala tertunduk, menatap jari-jariku yang saling bertautan saat mulai gelisah.
Dastan menyadari kecanggungan yang terjadi di dalam mobil ini. Dia terus mengajakku mengobrol hingga kami berdua larut dalam berbagai obrolan, seperti menceritakan pengalaman lucu pekerjaan kami masingmasing. Sesekali aku tersenyum, karena celetukanceletukan dari Dastan. Hal itu bisa membuatnya menoleh padaku di sela-sela konsentrasinya mengemudikan mobil.
Dastan itu orang yang ekspresif menurutku. Dia tidak segan untuk tertawa seketika itu juga bila ada hal yang memang lucu menurutnya. Tetapi di sini, Dastan lebih banyak berbicara daripada aku. Dia lebih banyak ingin mengetahui tentangku, sedangkan aku sendiri
masih terlalu enggan untuk bertanya dan mengenalnya lebih jauh. Dia menceritakan tentang dia sendiri tanpa aku memintanya. Seolah-olah dia sedang mencoba meyakinkanku bahwa dia memang tertarik padaku.
Aku hanya tersenyum saja menanggapi setiap ceritanya. Setelah lama berkeliling, mobil memasuki sebuah restoran masakan Sunda yang masih ramai hingga pukul sembilan malam ini. Kedatangan kami disambut oleh seorang pelayan laki-laki.
"Selamat malam, Tuan. Selamat datang di restoran kami."
"Malam, Mang. Reservasi atas nama Dastan Alfarendra ya."
"Mari silakan, Tuan Dastan."
Pelayan itu mengajak kami untuk masuk ke bagian lebih dalam restoran. Mempersilakan kami menempati sebuah gazebo yang berada di taman belakang restoran, dan menyodorkan buku menu kepada kami. Saat ini Dastan berada tepat di hadapanku, posisi duduk kami
hanya terpisah oleh sebuah meja pendek model persegi yang berukuran tidak sampai dua meter. Aku dapat memandang dengan jelas wajahnya dari posisi dudukku saat ini. Tuhan pasti sedang berbahagia saat mengirimkan janin ke rahim ibunya dulu. 'Tampan sekali pria di hadapanku ini, Ya Allah.' Jantungku berdetak tidak keruan saat Dastan menatap tepat di manik mataku.
"Kamu kok nggak pakek kacamata, Kia?" tanyanya dan membuatku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab.
"Oh, aku pakek softlens."
"Oh gitu. Kamu oke kan kalau aku mengganggu waktu istirahat kamu?"
"Oke kok, santai aja."
C'mon! Dastan jangan memandangiku seperti itu. Jari-jariku semakin saling meremas menutupi kegugupanku. Dastan membuka obrolan kembali denganku, tidak suka suasana awkward jika kami saling
diam. Tidak lama kemudian, dua pelayan datang membawa baki besar berisi pesanan kami berdua. Setelah pelayan pergi, kami berdua makan dalam keadaan hening. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring, juga lantunan lagu-lagu slow mengiringi makan malam kami. Dia bisa menyesuaikan dengan aku yang kurang suka mengobrol saat makan. Kebiasaan yang diturunkan oleh mendiang Papa. Obrolan kami berlanjut setelah makan malam selesai.
"Cowok yang bareng kamu waktu di kereta api siapa kamu, Kia?" tanyanya saat aku telah meneguk habis minumanku. "Oh, itu adek aku. Namanya Andra," jawabku. "Jadi kamu anak pertama juga ya? Sama dong, aku juga anak pertama. Cuma bedanya adekku cewek, namanya Delisha. Kamu sama Andra kayaknya akrab banget ya? Usia kalian juga kayaknya dekat." "Iya, aku sama Andra cuma beda dua tahun, makanya kami bisa deket, malah lebih kayak teman
daripada saudara," jawabku diakhiri dengan senyum. Dastan ikut tersenyum setelahnya.
Kami membicarakan beberapa hal ringan lain seputar pekerjaan dan sahabat-sahabatnya. Dia akan mengenalkan sahabat-sahabatnya itu kepadaku nanti. Dastan memergokiku melihat jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih beberapa menit. Aku mengangguk setuju saat dia menawarkan kembali ke hotel sekarang.
Saat mobilnya berhenti di drop zone hotel, Dastan meminta izin mengantarku hingga depan kamar hotel dan aku tidak menolaknya. Kami terdiam cukup lama di dalam boks berukuran besar ini. Kurasakan lift merambat dengan sangat lambat. Kepalaku tertunduk dan menatap lantai marmer yang menjadi pijakanku kini.
"Seneng bisa jalan sama kamu, Kiara," ujar Dastan, membuatku mendongak.
"Iya makasi ya, Tan."
"Kalau aku ajak jalan lagi, jangan nolak ya?" tanyanya. Aku menoleh dan menatap wajahnya yang kini tengah tersenyum memandangiku.
"Emmh ... aku salah ngomong ya? Maksudku gini, kamu kan masih sampai Jumat di Jakarta. Jadi masih ada banyak waktu. Mungkin kamu ada waktu luang gitu. Duh, gimana ya ngomongnya." Dastan menggaruk tengkuknya yang aku rasa tidak gatal itu, sepertinya karena salah tingkah.
"Iya boleh, tapi jangan berprasangka buruk ya sama aku."
"Maksud kamu berprasangka buruk gimana?"
"Emmhh, kamu jangan nyangkain aku perempuan gampangan karena langsung mau menerima ajakan jalan dari kamu." Aku kembali tertunduk menutupi rasa malu dan bersalahku. Tidak seharusnya aku mengatakan hal ini.
"Astaga, Kia, kamu kok bisa berpikiran seperti itu? Aku tuh seneng banget loh kamu nggak marah-marah
lagi kayak waktu kita ketemu di Surabaya. Ditambah kamu nggak nolak waktu aku ajak jalan. Malah aku bersyukur. Sumpah!"
Aku menoleh dan menatap wajah Dastan. Kuberanikan diri untuk menatap manik matanya dan mencari kesungguhan apa yang telah dikatakannya. Baru aku sadari ternyata bola matanya berwarna coklat terang. Sejak tadi, bahkan dari awal bertemu, aku tidak sadar bahwa warna bola matanya sebagus itu karena aku sama sekali tidak berani menatap langsung ke arah bola mata berwarna hazel itu.
'Ding!' Suara lift berhenti dan pintu lift terbuka. Dia mempersilakanku untuk keluar terlebih dahulu. Sekarang, aku sudah berada di depan kamarku dan menghadapkan kartu kamar ke sinar hijau yang ada di sisi pintu. Beberapa menit kemudian pintu masih belum mau terbuka. Apa ada yang salah dengan kartu dan pintu? Tidak mungkin aku salah kamar 'kan? Kutengok nomor kamar yang menggantung di pintu. Benar kok ini kamarku? Kenapa tidak bisa juga? Aku mulai gugup
tingkat propinsi saat ini. Aku tahu Dastan pasti sedang memerhatikanku saat ini.
"Ada masalah sama pintunya, Kia?" tanyanya.
Aku tidak menjawab, masih sibuk menggerakkan kartu di depan sinar hijau. Dari belakangku, tangan Dastan terjulur melewati bahuku untuk mengambil kartu yang berada di tanganku, jemari kami otomatis bersentuhan.
"Coba, sini lihat," ujarnya. Otomatis membuat tubuhnya menjadi lebih mendekat padaku, sehingga aku bisa mencium dengan jelas aroma parfumnya, perpaduan antara aroma vanila yang lembut, harum woody maskulin dan aroma apel yang mengesankan seperti gentlement dan elegan. Aroma parfumnya yang kalem ini membuat perasaanku nyaman. Seperti disengat listrik ribuan volt, tubuhku kini menjadi sangat kaku dan tibatiba luluh lantah.
"Kamu kebalik gini, Kia, ngarahin kartu ke sinar ultranya." Suara beratnya mengembalikan kesadaranku yang hampir terhipnotis aroma tubuhnya.
Dua detik kemudian pintu akhirnya terbuka. Aku refleks memutar tubuh ingin mengucapkan terima kasih. Bodohnya, aku lupa saat ini posisi Dastan masih berada dekat di belakang punggungku. Dan tak ayal tubuh kami kini saling berhadapan dengan jarak tidak lebih dari 30cm. Saat Dastan menunduk, aku dapat merasakan embusan napasnya yang hangat di wajahku, menyadarkanku yang sempat terpaku sejenak. Seketika itu juga, aku membalikkan badanku dan mendorong pintu yang sudah tidak terkunci. Saat aku melangkah, Dastan menahan lenganku yang membuat lututku kembali lemas.
"Ya, Tan?" cicitku.
"Ini kartunya," tukas Dastan seraya menyerahkan kartu hotel kepadaku.
Demi apa pun aku sangat malu saat ini. Kenapa aku bisa segugup ini sampai lupa pada kartu hotelku. Andaikan tidak ada siapa-siapa di sini, sudah aku benturbenturkan kepalaku di tembok akibat ulah bodohku ini. Dastan masih memegang pergelangan tanganku dengan
tangan kirinya. Padahal dia sudah memberikan kartu hotel padaku dengan tangan kanannya.
"Makasi ya, Kia, untuk malam ini. Semoga kita bisa berteman baik setelah malam ini," ucapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku hanya mengangguk lalu berpamitan untuk masuk. Aku tidak mau bertingkah bodoh lagi di hadapannya. Aku menarik tanganku secepat kilat, membuka pintu dan bergegas masuk.
"Iya sama-sama. Aku masuk dulu ya, Tan. Assalamualaikum," ucapku
"Walaikumsalam," jawab Dastan sambil tersenyum, dan pintu kamar segera aku tutup.
Begitulah aku, akan menjadi manusia paling dingin dan menyebalkan pada saat sisi bodohku sedang terbaca oleh orang lain, apalagi ketika aku sedang gugup dan menahan malu.
---
^vee^