6. Second Lunch

1875 Words
TAN: Gue memasuki kantor dengan perasaan bahagia pagi ini. Sepanjang perjalanan menuju ruangan baru gue di lantai 25, gue nggak berhenti bersiul. Gue bahagia banget hari ini. Efek makan malam bareng Kiara, nih kayaknya. Gue memandangi ruang kerja baru gue ini. Gue tersenyum puas sambil menelusuri setiap sudut ruangan ini, tepat seperti yang gue mau. Nggak terlalu besar, cukuplah, desain interior-nya simpel, dominan warna hitam dan putih. Gue baru menempati ruangan ini setelah serah terima jabatan dengan Arif Sakanada kemarin. Gue melangkah menuju meja kerja dari kayu jati yang cukup besar dan sudah ada beberapa map file di atasnya. Gue duduk di kursi besar dan beroda, membuka aplikasi BBM di iphone. DASTAN ALFARENDRA: Selamat pagi Kiara. Selamat beraktivitas ya. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit menunggu, masih belum ada balasan. Mungkin Kiara sedang ada di ruang workshop dan sedang konsentrasi penuh, sehingga nggak memerhatikan BBM gue. Gue memilih mulai berkutat dengan map-map di atas meja dan memulai pekerjaan gue hari ini. 1,5 jam kemudian, iphone gue berbunyi sekali tanda BBM masuk. Ternyata Kiara mengirim sebuah gambar. di atas kertas folio bergaris. Gambar laki-laki berjas dan berdasi longgar yang sedang tersenyum, kedua tangannya terselip di dalam kantong celana, rambutnya dibikin jabrik dan sedikit berantakan. Ditambah ada tulisan 'PAGI KOKO DASTAN. HAVE A NICE DAY', di samping gambar karikatur tadi. Anjir, lu kate gua koko toko bangunan Kia, gerutu gue dalam hati saat membaca tulisan itu. Gue tersenyum lebar menatap layar iphone dan mulai mengetik balasan kepada Kiara. Gue terlarut dalam chat BBM ini, dan berakhir dengan janjian untuk lunch bersama hari ini. Gue nggak lagi melanjutkan chat dengannya yang memang cuma dibalas dengan kata 'oke' , 'iya' dan emote saja. "Ciye, ciye, yang lagi kesengsem. Cuma mandangin ponsel aja sampek senyum-senyum mulu, Pak GM." Kehadiran dua sahabat gue ini cukup mengejutkan. Gue nggak sadar kapan masuknya dua cecunguk ini. Masa iya gue bisa terhipnotis hanya gara-gara BBM-an? Gue tertawa saja membalas ledekan Fandi dan Alvin. "Gimana bro, sukses semalam acara jalannya?" Alvin selalu lebih peduli daripada meledek, berbeda dengan Fandi yang meledek dulu baru peduli. "Ya gitu lah, Al. So far, lancar-lancar aja. Kiara masih mau balas BBM gue pagi ini." "Kayak apa, sih, orangnya? Ada fotonya nggak? Sumpah ya, gue penasaran banget sama perempuan yang bikin lo mendadak ingat sama Agama lo sendiri," tanya Fandi yang sangat ingin tahu seperti apa rupa Kiara. Alvin terbahak mendengar terusan kalimat yang diucapkan Fandi di akhir pertanyaannya. "Anjriiit ..., nyari ribut lo! Kagak ada, Fan. Gue bukan ABG labil yang kalau lagi jalan sama cewek, sempet-sempetnya foto selfie di mobil." Fandi mencibir mendengar jawaban gue dan langsung saja gue timpuk wajahnya itu dengan bolpoin. "Elaah ... foto candid gitu masa nggak ada?" Fandi masih saja bertanya, sepertinya belum puas kena timpukan bolpoin. "Bentar lagi sepatu gue yang melayang ke muka lo, Fan!" Fandi putus asa dan nggak memaksa gue lagi. "Apa yang membuatnya istimewa di mata lo, Tan?" tanya Alvin kali ini. Fandi memilih mengelilingi ruang kerja gue. "Istimewa banget, Al. Dia memiliki sesuatu yang nggak perempuan lain miliki. Gue sekarang lagi ngadepin perempuan dewasa, nggak kayak perempuanperempuan yang pernah gue temuin selama ini." "Dewasa? Emang berapa usianya? Pekerjaannya apa?" "28 tahun, kerja di salah satu bank di Jember, Jawa Timur, udah hampir tujuh tahun ini. Gue yakin dia workaholic kayak gue." "Tetangga dong sama mas Anang Hermansyah?" celetuk Fandi, tapi nggak gue peduliin dan memilih melanjutkan obrolan dengan Alvin. "Oh, perbankan. Lo nggak curiga, perempuan di usia segitu masa iya belum punya pasangan hidup? Minimal pacar atau tunangan gitu?" "Gue nggak pernah nyerempet nyinggung soal itu, Al." "Apa dia kurang terbuka sama lo?" "Enggak juga, tapi gue nggak bisa nebak isi hatinya. Ekspresinya datar, sebelas duabelas lah sama elo, agak tertutup juga menurut gue." "Dia pakai cincin kawin nggak tuh di jari manisnya? Jangan-jangan udah ada label hak patennya 'bukan milik umum'. Kan berabe kalo elo ganggu 'milik' orang, urusannya bisa sampai meja hijau, Man!" Fandi nyeletuk saat menyelesaikan acara tour keliling ruangan baru gue. Gue mencoba mengingat apa di jemari Kiara tersemat cincin semacam cincin tunangan atau cincin kawin seperti yang Fandi tanyakan itu. Gue sempat melakukan kroscek terhadap penampilan Kiara tadi malam. Dia hanya memakai sebuah jam tangan stainless berbentuk kotak kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dan gue baru 'ngeh' sekarang bahwa semua jemari Kiara bebas dari cincin jenis apa pun. Fandi menatap gue penuh curiga dengan menyipitkan matanya? Dia menunggu jawaban dari gue. Gue hanya menjawab dalam bentuk gelengan. Fandi berdecak. "Man up! Gercep dikit dong! Kalau elo yakin sama dia, tunggu apa lagi? Nunggu dia disamber orang? Terus undangan pernikahannya ada di atas meja lo bulan depan?" "You're kidding right, huh? Lo kira mau ngajak cewek ONS, kudu gercep supaya cepet dapet kepuasan?" teriak gue tersinggung dengan ucapan Fandi yang kadang emang suka nggak mikir kalau ngomong. Alvin berusaha menengahi gue dan Fandi yang siap beradu mulut. "Santai, man! Fandi cuma ngajuin pendapatnya. Selebihnya ya terserah elo juga. Kita selalu dukung elo kok," ucapnya. "Tan, sekretaris lo oke punya tuh. Sengaja banget kayaknya mancing libido lo. Masa lo nggak minat?" Fandi mengalihkan pembicaraan kami yang sudah 'naik' dengan hal lain. Dia mulai menampakkan wajah mesumnya. Kadang gue heran sama sahabat gue satu ini. Tiap lihat perempuan, yang ada di otaknya itu pasti cuma have s*x. "Bukan level gue sekarang yang model-model gitu. Ambil lo aja." "Serius, Tan?" "Iya, Fan. Asal dia mau aja sama lo." "Anjiirrr ...," umpat Fandi. Gue dan Alvin menertawai kelakuan bodoh sahabat kami ini. Melupakan ketegangan yang sempat terjadi beberapa saat yang lalu. "Nanti makan siang di mana nih Pak GM?" tanya Fandi iseng. "Pak GM mau lunch bareng Bu Bankir dulu hari ini," jawab gue dengan ekspresi pongah menghadap Fandi. "Setdah ... Semalam dinner, hari ini lunch. Kebangetan kalau besok lo nggak jadian sama dia, Tan." Lagi-lagi Fandi mengeluarkan celetukan asbun alias asal bunyinya. Sinting memang teman gue satu ini. "Gila lo, Fan. Gue nggak mau tergesa-gesa sama yang satu ini. Sekali gue salah langkah, bakalan gatot semuanya." Fandi tertawa penuh kemenangan karena berhasil mempermainkan emosi gue. "Ya deh selamat berjuang ya Pak GM mengejar cinta Bu Bankir," jawabnya dengan tertawa meledek. KIA: Kepalaku rasanya cenut-cenut membaca email dari kantor. Baru ditinggal dua hari saja sudah banyak ulah baru yang dibuat oleh oknum tidak bertanggung jawab. Kulihat jam dari layar ponsel, sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh. Syukurlah sepuluh menit lagi aku bisa keluar untuk menghubungi staf cabang. Kuletakkan frame kacamata bertengger di atas kening seperti kebiasaanku, di saat mataku sedang lelah. Perwakilan dari BI mengakhiri pembicaraannya. Di saat bersamaan, ponselku berbunyi tanda BBM masuk. DASTAN ALFARENDRA: Aku udah di lobi. Kamu udah kelar? KIARA CAVITRI: 15 menit lagi. Aku mau sholat dulu. Aku bergegas kembali ke kamar untuk sholat lalu segera turun ke lobi. Aku tidak mau sampai Dastan menungguku terlalu lama. Prinsipku, aku tidak suka menunggu, jadi aku tidak mau jika ada yang harus menungguku. Ini adalah acara kedua aku dan Dastan. Dia masih saja mencoba untuk tetap bisa berkomunikasi denganku. Anehnya, aku menikmati momen ini. Apa benar yang dikatakan Andra semalam, bahwa dia punya perasaan lebih padaku. Ah, aku tidak mau mengambil kesimpulan terlalu jauh. Selama dia tidak ada gelagat mencurigakan seperti akan menjahatiku, aku akan tetap mengikuti ke mana arah hubungan ini. Sekarang aku sudah tiba di lobi. Saat hendak berjalan mendekati Dastan, ponselku berdering, panggilan masuk dari kantor. Aku mencari tempat agak jauh dari lobi untuk menerima panggilan telepon ini. Pilihanku jatuh di kursi malas dekat kolam renang. "Assalamualaikum, Bu Kiara. Saya Triana, bu, mau menanyakan soal revisi hasil audit minggu kemarin." "Iya, apa yang mau ditanyakan, Tria?" Kemudian, kami larut dalam obrolan seputar kantor hingga lima belas menit. Telingaku sampai terasa panas dan berdengung rasanya, karena ponselku juga sangat panas saat ini. Aku juga berbicara dengan nada agak tinggi, membuatku semakin pusing. Setelah pembicaraan berakhir, kubuka kacamata dan kuletakkan di sampingku, beserta ponselku. Kuusap pelan wajahku dengan kedua telapak tangan lalu menumpukan kedua sikuku di atas paha dan duduk bertopang dagu menghadap kolam. Saat kuembuskan napas kasar, terdengar suara berat dari belakangku. Ternyata Dastan sudah ada di belakangku entah sejak kapan. Dia berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di tembok pembatas yang ada di pinggir area kolam renang ini. Oh tidak, berarti dia mendengarkan pembicaraanku dengan Tria. Ah, dia pasti sekarang berpikir aku adalah perempuan tempramental karena sedari tadi aku tidak berhenti berbicara dengan nada tinggi pada Triana. "Kita makan sekarang, yuk. Aku laper," ujarnya. Lalu melangkah di sampingku setelah aku beranjak dari kursi malas. Saat sudah sampai di restoran hotel, Mama menelepon. Aku memutuskan panggilan telepon Mama, lalu menghubunginya kembali. Sudah menjadi kebiasaan saja, sebisa mungkin aku yang menghubungi Mama. Saat ini, Dastan tengah memandangiku dengan posisi tubuhnya duduk bertopang dagu menatapku. Sesekali dia tersenyum seolah sengaja ingin memamerkan lesung pipitnya yang mengganggu detak jantungku. Tentunya aku tertular untuk membalas senyuman penuh arti itu. "Sory ya, aku terima telepon di hadapan kamu." Dastan hanya tersenyum menanggapi permintaan maafanku. "Oya, besok malam ada acara pesta ulang tahun perusahaan tempat aku bekerja, acaranya di hotel ini juga. Emmh-" Dastan menggantungkan ucapannya, aku hanya bisa menatap tanpa mengerjap menunggu kelanjutan ucapannya. "Oh gitu. Terus?" tanyaku akhirnya. "Apa kamu bersedia nemenin aku ke pesta itu?" Aku sedikit terkejut mendengar ajakan Dastan untuk hal ini. Pesta ulang tahun perusahaan? Yang pasti tidak berbeda jauh acaranya dengan pesta pernikahan, pakai gaun atau dress cantik, dandan cantik dan bla, bla, bla. Aku paling malas dengan acara-acara seperti itu, apalagi lingkungannya pasti berisi orang-orang yang tidak aku kenal. Akan aku pikirkan dulu. Setengah jam telah berlalu. Acara lunch ku dengan Dastan harus berakhir. Aku berpamitan untuk kembali ke ruang workshop. Sekali lagi, dia mengingatkan untuk bersedia memenuhi undangannya. Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Lalu setelahnya kami berpisah di lobi. Saat aku hendak masuk lift tiba-tiba Dastan menahan lenganku. Sentuhannya membuatku membeku, detik berikutnya aku menepis tangannya dengan sikap protektif. Membuat Dastan menampilkan wajah syok dengan sikapku. "Sorry, kacamata kamu ketinggalan, Kia," ucapnya sambil tersenyum malaikat. Rasanya aku ingin segera melesat dari hadapan laki-laki ini. Aku segera masuk lift, dengan kepala tertunduk setelah menerima kacamata yang disodorkan olehnya. Wajahku benarbenar panas saat ini. Stupid me! Selepas acara workshop, aku merasa tubuhku sangat lelah. Aku bergegas mandi, sholat dan merebahkan tubuhku di atas ranjang berukuran sedang ini. Rekan sekamarku belum kembali karena tadi berpamitan akan keluar hingga tengah malam. Kartu hotel juga dia yang bawa, sehingga aku bisa tidur lelap hingga besok subuh. Pukul lima pagi aku sudah terjaga dengan tubuh lebih segar. Puas juga tidurku malam ini. Bagaimana tidak, tidur dari pukul tujuh malam sampai pukul lima pagi tanpa terganggu. Kuraih ponsel di atas nakas dan mulai mengecek satu persatu, ada kabar apa saja selama aku tertidur. Dari mulai panggilan masuk, pesan singkat dan terakhir BBM. Ada tujuh panggilan tidak terjawab, satu dari Andra, dua kali dari Nadine dan empat kali dari Dastan. Wow! Aku tersenyum menatap layar ponsel. Lalu bergegas melaksanakan ibadah sholat subuh. Selesai sholat Aku kembali berbaring di atas ranjang, mendengarkan lagu-lagu yang melantun dengan suara pelan dari earphone. Belum selesai lagu milik Jamie Cullum yang berjudul Everlasting Love berputar, ponselku berbunyi, sebuah BBM masuk. Aku cukup terkejut menatap layar ponsel dan mendapati Dastan sudah membalas BBM-ku sepagi ini. Kami hanya chating sebentar, karena aku harus fokus mempelajari materi workshop untuk hari ini. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD