4. Jodohkah Namanya?

2397 Words
TAN: Akhirnya selesai juga meeting tahunan yang membahas seabrek kerumitan perusahaan kayu lapis ini. Pengalaman pertama gue memimpin meeting di hadapan seluruh staf dan dewan direksi eN plywood, setelah gue resmi menyandang posisi General Manager. Saat pandangan gue menyapu isi ballroom untuk mencari sahabat-sahabat gue, sebuah tangan kokoh merangkul hangat pundak gue. "Saya memang tidak salah pilih ya," ujar pria yang masih gagah di usianya yang hampir memasuki setengah abad ini. Bagaimana nggak tetap gagah, gue dengar dia menikah dengan perempuan yang lebih muda 17 tahun darinya. Artinya usia istrinya saat ini masih sekitar 29 tahun. Mungkin hal itu membuatnya bisa tampil lebih muda dari usia yang sebenarnya. Nada bicaranya selalu terdengar berwibawa dan mengagumkan di mata gue. Kala semua orang membencinya karena kedisiplinan dan sikap kerasnya, justru gue sangat mengagumi karena ideide brilliant yang berhasil dia ciptakan. Dia juga memercayakan pada gue jabatan yang selama ini dia pegang. Namun sayang, akhir-akhir ini kami jarang sekali bertemu, karena sekarang dia sudah memutuskan untuk fokus di pabrik-pabrik di Jawa Timur. "Pak Arif bisa saja. Jangan terlalu memuji saya setinggi langit, Pak. Nanti saya lupa daratan, loh," jawab gue. "Saya tinggal dulu ya. Sekali lagi selamat. Kamu pantas memegang jabatan ini. Jangan kecewakan perusahaan, Mr. Dastan Alfarendra." Sekali lagi Arif Sakanada menepuk kuat bahu gue, dan mengucapkan nama lengkap gue. "Iya, Pak, sama-sama. Anda juga banyak membantu saya selama ini. Si kembar ikut ke Jakarta?" tanya gue sebelum pak Arif pergi. Hanya lambaian tangan di udara sebagai tanda tidak untuk menjawab pertanyaan gue. Sepeninggal Arif, dua sahabat gue datang untuk memberi selamat atas peresmian jabatan baru yang telah gue peroleh dengan penuh perjuangan. Alvin mengajak untuk makan siang, tapi gue cukup sibuk untuk sekadar makan siang. Masih banyak yang harus diselesaikan. Belum lagi para direksi juga meminta diadakan meeting khusus siang ini, membahas langkah-langkah ke depan gue untuk kemajuan perusahaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Gue mulai merasakan gerah berada di dalam ruangan ini. Gue keluar sebentar mencari angin segar sebelum melanjutkan meeting khusus bersama dewan direksi perusahaan. Sambil melangkah, gue membuka kancing kemeja paling atas dan melonggarkan sedikit dasi warna merah hati yang gue kenakan. Gue berjalan menyusuri koridor, lalu berhenti pada sebuah pagar stainless sebagai pembatas koridor dengan bagian terluar koridor. Gue rentangkan kedua tangan, bertumpu pada besi besar pembatas dan menghirup udara luar sebanyakbanyaknya untuk memenuhi paru-paru gue. Dari tempat gue berdiri sekarang, terdengar suara dari balik pilar pembatas cukup besar, memiliki pahatan sekeliling pilar yang menjadi hiasan di koridor ini. Gue merasa nggak asing dengan suara itu. Gue mencoba mendengarkan dengan seksama. Meski sudah lama nggak mendengarnya, gue berani taruhan kali ini. Meski gue bolak balik kalah taruhan sama Alvin tiap kali Valentino Rossi gagal naik podium pertama di beberapa sirkuit Moto GP, tapi kalau yang ini gue nggak takut kalah, ini suara yang sama dengan yang pernah gue dengar dua bulan yang lalu. "Nggeh, Ma. Kiky baik aja. Iya sudah sampai tadi jam dua malam. Tadi pagi-pagi sekali langsung workshop, jadi nggak sempet mau nelepon Mama. Iya makasi, Ma. Assamualaikum." Suara itu terdengar sangat lembut dengan logat jawa yang agak kaku menurut gue. Nggak lama pemilik suara itu terdengar sedikit menghela napas. Kiky? Gue tersenyum geli, mendengar dia menyebut nama itu untuk dirinya sendiri, panggilan rumahnya, mungkin. Sosok itu keluar dari balik pilar besar tempatnya menelepon. Gue nggak berani menoleh ketika dia berjalan di belakang punggung gue. Yang bisa gue rasakan adalah embusan aroma parfumnya saat terkena terpaan angin sepoi-sepoi. Damn!!! Bahkan gue masih mengingat dengan baik aroma parfum manis dan lembutnya. Gue langsung berbalik saat merasa dia sudah melewati posisi gue berdiri. Gue menatap punggung itu mulai berjalan menjauh dengan pelan tapi pasti. Blazer berwarna biru tua dan rok pas badan berwarna senada sepanjang sedikit di atas lututnya membalut tubuhnya yang tidak terlalu kelebihan lemak, dengan pas. Oh Gosh, itu belahan di bagian belakang roknya cukup menggangu pandangan gue, membuat darah gue berdesir. Seluruh rambutnya digelung membentuk cepol seperti karyawan-karyawan perempuan di kantor gue, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih dan mulus dengan sempurna. Susah payah gue coba telan ludah gue sendiri dan tibatiba hasrat laki-laki gue keluar begitu saja. Gue menggeleng kuat-kuat untuk membuyarkan khayalan kotor di otak gue sekarang. Man, gue mendadak amnesia dengan sepasang p******a. Cover model naked majalah Playboy dan Maxim yang geletakan di apartemen Fandi bahkan nggak ada apa-apanya bagi gue saat ini. Kembali gue longgarkan dasi yang rasa-rasanya semakin menyekik leher. Tubuh perempuan itu menghilang di balik tembok. Gue segera mengikuti langkahnya dan mendapati dia tengah duduk di sofa di koridor lain hotel ini. Dia sedang menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Di sini, gue beranikan diri untuk kembali mendekatinya. Perempuan yang hampir dua bulan ini gue coba cari tahu identitasnya, mengobrak-ngabrik hampir semua apilkasi media sosial dengan keyword Kiara, like a stalker. Namun sayang sekali, beberapa kali gue coba cari, tetap nggak bisa menemukan petunjuk apa pun mengenai media sosialnya. Hal tersebut membuat gue desperate dan nggak terlalu menganggap lagi omongan bu Mayang waktu itu. Kini Tuhan kembali mempertemukan kami kembali dengan caraNya yang serba kebetulan. "Selamat siang," sapa gue seramah mungkin. Gue nggak salah, ini benar-benar Kiara. Sepertinya dia agak terkejut mendengar sapaan gue yang cukup pelan ini. "Iya, selamat siang." Kiara membenahi posisi duduknya, sedikit ditegakkan, tatapan penuh selidik terlihat dari balik kaca mata minus dengan frame hitam itu. Gue berusaha untuk mengingatkan dia kembali tentang pertemuan kami yang tidak berujung perkenalan dua bulan lalu. Bibir mungilnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung, dan bibir itu terkatup kembali. "Kita belum sempet kenalan. Namaku Dastan," jawab gue seraya menyodorkan tangan kanan dengan sopan. Gue ucapkan nama gue tanpa ragu, karena nggak ingin kehilangan kembali kesempatan untuk berkenalan dengannya. "Kiara," jawabnya singkat seraya meraih uluran tangan gue. Oh God! Dunia gue seperti sedang berhenti ketika kulit kami bersentuhan. Kulitnya dingin dan lembut, tapi terasa sangat tegas ketika menggenggam tangan gue. Gue permisi untuk duduk sambil menunjuk spasi kosong di sofa, yang kini tengah diduduki Kiara. "Oh iya, silakan," jawab Kiara sedikit agak bergeser dari posisi duduknya. "Aku minta maaf kalau sikapku waktu di Surabaya bikin kamu ilfeel." "Iya, aku juga minta maaf." Dia tersenyum tipis. Perempuan ini kenapa jadi manis gini sekarang. Pakai acara minta maaf segala. Untuk apa Kiara minta maaf? Yang resek kan gue. Oh, mungkin dia juga merasa bersalah karena sudah membentak gue waktu itu. Sekadar basa-basi, gue bertanya sedang ada urusan apa dia di Jakarta. Dia sedang ikut workshop perbankan yang diadakan oleh Bank Indonesia. Kiara berada di Jakarta selama lima hari ke depan. Hati kecil gue memekik kegirangan saat ini. Gue bakal bisa ketemu dengan Kiara sampai hari Jumat malam. Yes! Ucap gue dalam hati. Kiara agak heran dengan ekspresi gue saat ini yang terlihat seperti sedang mengulum senyum. Setiap kali gue bertanya pasti dijawabnya cuma singkat. Nggak apaapa, suaranya kali ini lebih ramah, nggak sedingin saat gue bertemu dia pertama kali. Saat sedang mengobrol seru, menurut gue, sih, ada seorang wanita lebih tua usianya dari Kiara mendatangi tempat kami duduk dan mengingatkan Kiara kalau workshop-nya akan segera dimulai lagi. Kiara berdiri, begitupun gue. Setelah mengumpulkan tenaga dalam dari segala penjuru mata angin, gue memberanikan diri menahan lengannya. "Boleh aku minta nomer handphone kamu?" tanya gue ragu. Keluar juga jurus tersakti yang gue miliki. Kiara menatap gue heran. "Untuk apa?" tanyanya penuh selidik. Mampus gue kalau sampai salah jurus. Di saat tiap wanita yang pernah gue dekati, tanpa diminta dengan senang hati menyodorkan nomor handphonenya pada gue, wanita yang satu ini malah bertanya "untuk apa?" saat gue meminta nomor handphonenya. Salah sasaran gue. Gue berdeham sekali. "Mau ngajuin kredit di bank kamu. Ya teleponan sama kamu lah, Kiara," ujar gue, diiringi tawa renyah dari Kiara. Adem dengarnya, man. Awalnya gue takut banget kalau dia akan bersikap dingin dan marah-marah kayak waktu itu. Tetapi kali ini nggak, gue malah dapat bonus tawa renyahnya. Kiara mengeluarkan ponsel dari dalam saku blazer-nya. Setelah menyentuh layar sentuh ponselnya beberapa kali, ia menyodorkan ponsel android waterproof -nya. "Nih. Aku lupa sama nomor handphone sendiri, sih." Kiara tertawa lagi, tapi kali ini menertawakan dirinya yang nggak ingat pada nomor ponselnya sendiri. Giginya putih, tak ketinggalan gingsul yang baru gue sadari keberadaannya, jadi pengin banget digigit mesra sama gigi gingsulnya itu. "Boleh bagi pin BBM juga nggak?" tanya gue pantang menyerah, setelah mengetik deretan nomor yang tertera di layar, ke Iphone gue. Kiara tersenyum. "Nggak sekalian id IG, Line, sss sama Path juga? Kali aja mau endorse apa gitu." Kali ini gue yang ketawa, banyol juga ini cewek, di balik sikap dinginnya waktu di kereta api pagi itu. "Boleh kalau ada," ujar gue. "Sayangnya nggak ada." Kiara menyeringai lalu meminta kembali ponselnya. Pantesan, di hampir semua media sosial yang dimiliki oleh hampir semua manusia bumi ini, bahkan sampai Mark Zuckerberg jatuh miskin juga, gue nggak bakal menemukan satu akun medsos pun yang mengarah milik Kiara. k*****t banget kan. Dia memberikan kembali ponselnya sudah dalam keadaan barcode di permukaan layar. "Diinvite sendiri ya. Aku juga lupa pin BBM ku," ujarnya. Dengan segera gue buka aplikasi BBM dan mendekatkan layar iphone gue ke layar ponsel android Kiara. "Di accept sekarang, ya," tukas gue seraya mengembalikan ponselnya. "Boleh besok nggak, Koh?" Kiara mengulum senyum. Entah kenapa dipanggil 'Koh' oleh Kiara, bawaannya jadi pengin panggil dia 'Cece', tapi nggak pantes banget. Kiara wajahnya macam orang Arab, nggak ada Chinessnya sama sekali. Damn!!! Gue bawa cabut juga lo dari sini, Kiara. "Jangan lah, Ce. Sekarang saja lah," jawab gue sambil sok bicara dengan aksen 'Kokoh-kokoh' di pinggiran Glodok. Kiara ketawa renyah, lagi. Mendengar Kiara tertawa bikin gue bingung mesti ngapain setelah ini, saking nervous-nya. Gue membuka lagi aplikasi BBM dan mulai mengecek recent update. Tertera di layar iphone bahwa KIARA CAVITRI sudah menerima permintaan pertemanan. Gue semringah menatap layar iphone dan memasukkannya kembali ke saku celana. "Thanks ya, Kiara." "Kembaliannya, Ko?" "Ambil aja." Kami lalu tertawa bersamaan. Kiara berjalan menjauhi gue. Saat tubuhnya sudah hampir menghilang di balik tembok, sekali lagi gue nekat memanggilnya. "Kiara, nanti malam kalau ada waktu kita keluar ya." Kiara berhenti dari langkahnya yang tidak terlalu tergesa itu. "Telepon aja ya, aku takut ketiduran setelah workshop nanti." Dia berlalu tanpa menunggu jawaban dari gue. Gue nggak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan kebahagiaan ini. Ini kali ketiga gue bertemu dengan Kiara Cavitri, di waktu yang berbeda pula, pagi, malam dan siang. Dari ketiga pertemuan itu, semua benar-benar nggak disengaja dan nggak direncanakan. Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan yang sia-sia. Gue ketemu lagi dengannya itu adalah suatu pertanda menurut gue. Mungkin saja kami memang jodoh. Ach, ada secercah harapan di hati gue untuk kembali mengharapkan kebenaran dari apa yang pernah disampaikan oleh bu Mayang, kalau perempuan yang gue temui di kereta api Logawa yang sedang melaju pagi itu, lalu bertemu lagi di tiga kesempatan dan waktu yang berbeda, akan menjadi jodoh dan takdir gue. Gue merapikan kembali kancing kemeja dan dasi yang sudah longgar, melangkah pasti untuk kembali ke tempat meeting dengan jajaran dewan direksi di perusahaan gue. Di dalam juga sudah ada Arif Sakanada. Dia sedang menatap tajam saat gue menyampaikan presentasi dan ide pertama gue di hadapan para petinggi perusahaan. Di sini, di ruangan besar yang sanggup menampung hingga seribu orang lebih, hanya ada sepuluh orang saja di dalamnya. Semua terduduk mengelilingi sebuah meja bundar dan menatap tajam ke arah gue berdiri saat ini, di samping sebuah layar proyektor sebesar lima kali tubuh gue. Saat gue perhatikan wajah-wajah dingin di meja bundar itu, rasarasanya gue adalah yang paling bungsu di antara mereka. KIA: Aku mencoba bersikap seramah mungkin padanya. Aku tidak mau menyalahkan takdir Sang Kuasa yang mempertemukan kami kembali setelah pernah berjumpa dua kali dan dua bulan tidak bertemu tanpa perkenalan. Bukankah memang hal seperti itu yang selalu aku bayangkan selama ini? Sebenarnya aku sangat mengingat dengan baik, suaranya, aroma maskulin dari tubuhnya, apalagi wajahnya yang tampan. Namun aku bersikap seolah tidak mau kelihatan bahwa aku masih mengingatnya dengan baik. Tengsin lah ya kalau ketahuan. Aku tidak mengerti apa yang Allah rencanakan kepadaku di balik pertemuanku dengannya yang serba kebetulan ini. Aku tidak pernah menyimpan nomor ponselnya, tidak pernah melakukan janji untuk bertemu lagi di hotel ini, bahkan namanya saja aku tidak tahu sampai sebelum dia memperkenalkan diri sesaat yang lalu. Bu Desi, salah seorang rekan kerjaku mengingatkan, bahwa saat ini adalah waktunya aku untuk presentasi. Aku naik ke panggung dengan langkah tenang dan pasti. Kutatap ballroom yang telah diisi oleh ratusan peserta workshop dari seluruh penjuru negeri, beserta beberapa perwakilan dari Bank Indonesia. Di sini, di hadapan mereka, aku harus mempresentasikan tentang kinerja team audit bank cabang tempatku bernaung beberapa tahun terakhir ini. Perasaanku sedikit lega, presentasi yang aku sampaikan berjalan lancar dan mendapat applause dari pejabat BI. Kuteguk air mineral yang berada di hadapanku saat ini dan kubuka kaca mata minus yang sedikit berat di ujung hidungku. Syukurlah aku bisa menyelesaikan dengan baik sesi ini. Masih ada empat hari lagi. Aku mencoba mengingatkan agar tidak terlena dengan keberhasilanku baru saja. Beberapa jam sudah berlalu. Kulihat jam berbentuk kotak kecil berbahan stainless steel di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan pukul setengah enam. Setengah jam lagi workshop hari ini akan berakhir. Aku bisa mengistirahatkan sejenak tubuhku di kamar besar dan mewah dengan berbagai fasilitas bertaraf internasional, yang hanya diisi oleh dua orang saja. Aku dan ibu Desi, rekan kerja yang aku kenal saat di Bandara Juanda dan merupakan perwakilan dari Kantor Wilayah Surabaya. Saat sedang berjalan menyusuri koridor menuju kamar hotel, ponselku bergetar berkali-kali tanda ada telepon masuk. Dengan tenang aku menjawab panggilan telepon. "Hallo, assalamualaikum?" jawabku sopan. "Hallo, Kiara? Ini aku, Dastan." "Oh iya, kenapa, Tan?" "Gimana, udah selesai workshopnya hari ini? Emmh... Kamu capek nggak?" Dastan sungguh-sungguh ingin mengajakku keluar. Apa yang dia inginkan? Mengapa dia sangat ingin mendekatiku, batinku bertanya. Hey, Kiara, kamu bukan lagi ABG yang lugu. Kamu seorang perempuan dewasa berusia 28 tahun. Sudah seharusnya kamu lebih peka kalau laki-laki dewasa itu memang sedang tertarik padamu dan ingin mendekatimu, celetuk dewi batin di sudut hati kecilku. "Kalau kamu bersedia memberiku waktu untuk beristirahat sebentar saja, kita bisa keluar malam ini," jawabku kemudian. Terdengar Dastan sedang menghela napas. "Beneran kamu bisa?" tanyanya lagi. "Iya kalau kamu bersedia, tolong hubungi aku jam delapan malam ya. Sekarang aku pengin istirahat dulu, bentar." "Oke Kiara, aku telepon kamu lagi nanti. Sekarang kamu istirahat aja dulu." Sudut bibirku tiba-tiba terangkat untuk tersenyum setelah menerima panggilan telepon darinya. Apa benar jodoh dan takdir itu adalah satu paket? Aku akan coba mencari tahu tentang itu nanti. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD