Stupid!!! Gimana bisa gue lupa menanyakan siapa namanya. Gue terus merutuki kebodohan kali ini yang lupa menanyakan siapa nama perempuan berkaca mata cantik itu. Otak gue buntu seketika saat menyentuh tubuhnya tadi. Badannya wangi. Aroma parfumnya manis dan lembut. Gue bahkan masih mengingat dengan baik aroma parfumnya sampai saat ini. Gue menatap kepergian perempuan itu sampai punggungnya menghilang, di balik kerumunan orang-orang yang memenuhi stasiun Gubeng pagi ini. Dia memang nggak se-seksi Heidi Klum, Candice Swanepoel dan para angel's Victoria's Secret yang lain, tapi senyumnya bikin hati gue bergetar. Kosakata gue kenapa ngaco gini, sih--bergetar.
Gue mulai menyusuri stasiun menuju pintu keluar. Gue lihat teman gue sudah datang menjemput. Tangan Revan, teman gue, diangkat setinggi-tingginya supaya gue bisa melihatnya. Gue berjalan menuju ke arah teman gue itu. Dia teman baik gue, Fandi dan Alvin juga semasa kuliah di Jakarta, yang masih tetap akrab hingga sekarang. Dia juga satu-satunya pria yang berani melepas masa lajangnya di antara kami. Kami saling berjabat tangan dan berpelukan ala laki-laki. Logat Jawa-nya masih medok. Revan itu lugu, sederhana dan selalu menjadi incaran Fandi untuk berbuat iseng, karena keluguannya.
Sesampainya di area parkir mobil, gue melihat perempuan di kereta tadi seperti sedang berdebat dengan seorang pria paruh baya dan adik laki-lakinya. Perempuan itu sepertinya menyadari gue perhatikan dari tempat gue berdiri. Nggak butuh waktu lama, dia langsung memasuki mobil SUV putih dan menutup pintu mobil dengan sangat keras, sampai pria paruh baya itu terkejut dan menggeleng kesal karena kelakuannya. Gue terkejut saat Revan menepuk pundak gue, lalu masuk ke dalam mobil sedan milik Revan. Gue terus memikirkan perempuan itu sepanjang perjalanan, apa yang membuatnya sampai kelihatan begitu emosi saat bertemu pria paruh baya itu.
"Apa bener yang diceritain Fandi dan Alvin, kalau kamu lagi nyari cinta sejati, makanya bela-belain naik kereta api ke Surabaya?" tanya Revan saat kami sudah berada di dalam mobilnya.
"Iseng aja, Rev. Gue menjalankan sesuai dengan klu yang dikasih sama wanita itu."
Revan mencibir. "Kamu itu pria metropolitan, tapi kok bisa percaya hal seperti itu? Kamu kan tinggal tunjuk perempuan mana yang kamu mau, jadi ngapain kamu mesti repot-repot percaya hal takhayul kayak gitu?"
"Lo sendiri mutusin nikah, juga gara-gara percaya takhayul gituan kan? Bahagia 'kan lo sekarang!" balas gue.
Gue ingat banget, Revan menerima perjodohan dari Mamanya karena dia diramal oleh peramal nggak jelas saat kami iseng-iseng jalan-jalan di PRJ (Pekan Raya Jakarta) dulu saat masih zaman kuliah. Niat awalnya mau ngecengin SPG yang beredar di sana, sampai Fandi mencetuskan sebuah ide konyol untuk mengerjai Revan dengan membayar seorang peramal agar memberi ramalan palsu untuk Revan. Peramal itu mengatakan kalau Revan tidak menikah sampai usianya 25 tahun, maka dia akan menjadi bujang lapuk alias perawan tua kalau bagi perempuan. Jadilah dia menikah dengan perempuan pilihan Mamanya dan bertahan hingga hari ini. Padahal peramal itu cuma hasil akal-akalannya Fandi yang nggak pernah kapok mengerjai Revan. Ada-ada saja rahasia jodoh yang menurut gue masih menjadi misteri ini.
"Terus kamu ketemu sama perempuan yang dimaksud bu Mayang itu?" Revan berpaling saat mobilnya berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.
"Iya udah ketemu. Bu Mayang nggak bohong," jawab gue tersenyum penuh misteri.
Revan melotot. "Ah, serius kamu? Terus mana sekarang perempuan itu?" tanyanya semakin penasaran.
Gue tergelak menutupi rasa kecewa gue. "Udah pergi. Kata bu Mayang kalau gue ketemu dia tiga kali di waktu yang berbeda, maka bisa dipastikan dia jodoh gue. Ini kan baru ketemu sekali. Jadi, masih kurang dua kali lagi untuk bisa menentukan kebenarannya."
Revan balas tertawa. Gue hanya menatap lurus ke jalanan kota Surabaya yang cukup padat pagi ini. Pikiran gue terus melayang membayangkan wajah perempuan ayu di gerbong kereta tadi.
KIA:
Malam ini kuputuskan untuk hangout ke Galaxy Mall, karena mall ini yang paling dekat dengan posisi rumah sepupuku Katrina--anak pertama Om Salman--yang sudah menikah dengan duda kaya dan tinggal di kompleks perumahan mewah di daerah Kertajaya.
Tadi sore, aku memilih untuk kabur dari rumah om Salman dan meminta sepupuku untuk menjemput di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah om Salman. Aku mengatakan pada Andra kalau akan menginap di rumah Katrina malam ini. Enak saja Om ku itu, mau menjodoh-jodohkan dengan orang yang aku tidak kenal sama sekali. Pakai alasan sakit pula, supaya aku mau datang ke Surabaya. Jadi, niatnya untuk mempertemukanku dengan orang itu kesampaian. Aku sampai harus mengambil cuti dua hari dan meninggalkan pekerjaan, yang aku yakin pasti sudah menumpuk di hari Senin nanti. Mama juga tidak membicarakan hal ini sebelumnya sama aku. Arrggh ... adik sama kakak sama saja.
"Kiky, maafin Abah ya. Dia gitu karena sayang sama kamu," ujar Katrina memecah keheningan di antara kami di dalam mobil CRV matic seri terbaru miliknya.
"Biarin, aku masih kesal sama om Salman. Seenaknya dia kayak gitu sama aku. Emangnya aku nggak bisa apa milih calon suami sendiri?" jawabku dengan setengah menggerutu.
Katrin malah tertawa. "Kalau kamu bisa, tunjukin dong sama keluarga, siapa calon pendamping hidup kamu, Ki," ucapnya dengan senyum cemooh.
"Trin, milih calon suami itu nggak gampang, nggak kayak beli baju di Mall, asal comot, kalau nggak cocok bisa dikembalikan atau ditukar," jawabku teoritis. Padahal sebenarnya memang aku tidak mempunyai calon untuk kukenalkan pada keluarga sebagai pendamping hidup.
"Inget umurmu loh, Ki. Kamu sekarang sudah 28 tahun. Anakku aja sudah dua dan gede-gede. Masa kamu masih sendiri aja. Masih mending kamu punya pacar, nah ini, sama sekali nggak ada," debat Katrina tidak mau kalah.
"Ya anak kamu kan emang kembar, makanya ada dua," balasku acuh.
"*Koen lak diwarai kok yo muwesti ngeyeeel, nggarai jembek wae," Bahasa 'Suroboyoan' Katrina akhirnya keluar. Itu menandakan Ibu dua anak ini sudah sangat kesal.
"Apa sih ini ... Aku kabur ke tempatmu mencari ketenangan jiwa dan raga, Trin. Ini malah dapet omelan, gratisan pula." Aku membuang muka dari hadapan Katrina dan menatap kaca jendela di sampingku dengan malas.
"Ya deh aku stop! Udah sampek nih, turun dah," ujar Katrin seraya mematikan mesin mobilnya.
Setelah satu jam mengelilingi Mall dan sesekali berhenti di beberapa outlet baju, tas dan sepatu, kami memutuskan makan malam di outlet HokBen. Saat aku sedang makan, aku merasa ada seseorang sedang berdiri di samping mejaku. Aroma parfumnya seperti pernah aku kenal sebelumnya, tapi di mana, entahlah aku lupa.
"Hai, kita ketemu lagi." Suara berat itu, siapa ya? Kedengarannya tidak asing di telingaku.
Aku mendongakkan kepala dengan gerakan slow motion dan mendapati laki-laki di kereta api tadi pagi sedang menatapku dengan senyumnya yang melengkung, lesung pipit di pipi kanannya bisa terbentuk sempurna meski hanya tersenyum begitu, dan sekarang bisa aku nikmati lebih dekat sebagai karya cipta terbaik dari Tuhan. Seleranya Nadine, oppa-oppa Korea, jika aku menceritakan sosoknya pada Nadine, aku jamin Nadine pasti menodongku untuk menemaninya maraton drama Korea sepulang dari Surabaya.
Penampilannya juga berbeda, lebih segar dari penampilannya pagi tadi. Rambut dengan model undercut nya terlihat basah, entah efek air habis mandi atau memang diolesi pomade seperti laki-laki kebanyakan di kantorku. Katrin menginjak kakiku dan memberi isyarat dengan menaikkan kedua alisnya. Seolah bertanya 'siapa?' dari sorot matanya. Aku hanya mengedikkan kedua bahuku.
"Oiya, hai juga," jawabku kaku, sekaku kayu jati. Apa ini Kiara, kenapa kamu tegang begini, santai saja lagi. Dewi batinku tertawa puas meledekku.
"Boleh saya duduk di sini?" tanya laki-laki itu ramah sambil menunjuk kursi kosong di sampingku.
"Iya, boleh aja."
Terus aku harus bagaimana sekarang? Malah awkward gini. Coba lihat si Katrin senyum-senyum tidak jelas seperti itu, macam orang gila baru saja dia. Tidak lama, ada seorang laki-laki lagi yang mendatangi mejaku.
"Tan, maen ngilang aja kamu. Bilang-bilang dong kalau masuk sini." Si laki-laki kereta api yang diomeli temannya ini malah cengengesan.
"Sorry, gue buru-buru tadi," jawab laki-laki yang kini sudah duduk di sampingku ini sambil menggosok tengkuknya.
"Loh, kamu Revan ya?" Katrin tiba-tiba bersuara dan menunjuk ke arah laki-laki yang baru datang ini.
"Eh, Katrina bukan, sih? Apa kabar kamu?"
Laki-laki yang bernama Revan itu langsung duduk di kursi kosong samping Katrina. Dan lihatlah mereka sekarang malah reuni, melupakan aku yang terdiam dan sudah seperti mannequine di outlet pakaian perempuan yang tadi aku lewati.
"Kamu sama siapa, Katrin?" tanya laki-laki teman Katrin.
"Oh, ini sama sepupu aku, kenalin dong."
"Revan,"
"Kiara."
Kami berdua berjabat tangan. Lalu apa kabar pria kereta api di sampingku ini? Aku menatapnya sekilas. Wajahnya berubah menjadi datar dan terlihat kurang menyukai kondisi ini. Sedangkan Katrin dan Revan malah asyik bertukar cerita masa-masa SMA mereka. Saat aku selesai meneguk minuman bersoda milikku, pria kereta api ini menarikku cukup kuat hingga aku beranjak dari kursiku dan mengikuti langkahnya.
"Loh, mau ke mana, Tan?" Revan terkejut melihat tingkah temannya ini, sedangkan Katrina juga tidak kalah terkejut sampai beranjak dari tempat duduknya.
"Hei, sepupuku mau dibawa ke mana, Mas?" tanya Katrina penuh selidik.
"Kalian ngobrol santai aja dulu di sini. Gue ada perlu sebentar sama cewek ini, Rev." Laki-laki ini menjawab dengan tenang, kemudian kembali menarik lenganku. Aku memilih tidak memberontak daripada harus ribut di tempat umum.
"Psst ... Kamu mau bawa aku ke mana, sih?" tanyaku setengah berbisik, karena aku yakin seluruh isi Gerai HokBen yang sedang padat tengah menatap ke arah kami. Setelah sampai di pintu gerai, dia cuma berbisik di telingaku lalu menarik lenganku lagi. Tidak yang kencang banget, malah seperti digandeng rasanya. Lah...
Sambil berjalan dengan setengah menyeretku, dia tersenyum. "Kita akan mencari tempat ngobrol lain yang lebih nyaman, di sini berisik," bisiknya. Membuat tengkukku meremang mendengar suara beratnya yang sedikit serak.
Akhirnya aku menyetujuinya, tapi ini tangannya tidak juga melepas lenganku, meski aku sudah berkali-kali memintanya untuk melepas. Rasa-rasanya aku seperti cewek yang dipaksa ikut ke KUA kalau diseret-seret seperti ini. Meski merasa insecure pada laki-laki ini, tapi entah kenapa terselip rasa nyaman saat dia memegang tanganku. Tangannya masih berada di pergelanganku, saat kami tiba di sebuah resto outdoor yang suasananya cukup nyaman, lebih tenang daripada di dalam. Laki-laki itu mempersilakanku duduk di sebuah sofa single berwarna putih gading.
"Kamu mau apa? Langsung aja, deh." Aku berkata dengan nada sangat kesal. Dia malah tersenyum menatapku, lalu duduk di seberang sofaku.
"Aku ke sini cuma pingin kenalan sama kamu," jawabnya dengan sangat santai, seolah tanpa dosa telah menyeretku ke tempat ini.
Aku lantas menggebrak meja di hadapanku dengan kesal, melihat tampangnya yang bisa banget terlihat tetap santai dari tadi. Mana sekarang aku juga sedang bad mood tingkat dewa gara-gara kelakuan om Salman.
"Anda cuma buang-buang waktu saya saja!" ucapku tegas. Aku beranjak dari tempat dudukku, namun tangan kokohnya menahan lipatan sikuku dengan kuat.
"Kenapa kamu harus marah? Aku bilang cuma pingin kenalan, ya berharap bisa ngobrol juga sama kamu."
"Lepasin tangan Anda sekarang, atau saya akan teriak!" ucapku sarkas. Laki-laki itu syok, lantas melepas cekalan tangannya saat itu juga, aku berlalu meninggalkannya.
Ekspresinya benar-benar terkejut melihat aku menghardiknya dengan kasar. Dia tersadar ketika aku sudah melangkah untuk melewatinya.
"Hei, kamu mau ke mana?"
"Ke Hongkong," jawabku santai dan meninggalkannya yang masih terpaku menatap kepergianku.
Segera aku telepon Katrin dan mengajaknya ketemuan di basement. Ada saja yang membuatku kesal setengah mati hari ini. Setelah tadi Om Salman, sekarang ada orang sinting yang menyeretku ke restoran hanya ingin sekadar kenalan dan mengobrol denganku. Hari apa ini? Kenapa aku apes double kuadrat gini.
TAN:
Untuk mengenalnya saja, gue butuh perjuangan seperti ini, gimana untuk mendapatkannya coba? Cobaan apa ini Tuhan? Apa ini yang dinamakan dengan istilah cinta butuh perjuangan? Baguslah, sekarang gue merasakan dan harus menjalani istilah itu. Entahlah, kadang gue sendiri juga bingung, kenapa gue bisa pingin banget mendekati perempuan itu? Over all, dia memang cantik dan wajahnya nggak membosankan, tapi lebih daripada itu, dia begitu menarik di mata gue, bikin penasaran dan terutama bisa membuat perasaan gue merasa nyaman meski baru pertama ini bertemu dengannya. Benar kata bu Mayang, wajah perempuan itu cerah bagai matahari terbit dan menenangkan bagai matahari terbenam. Dia beda banget dengan perempuan kebanyakan yang pernah mampir di hidup gue. Ya ampun, ini kenapa gue jadi menye banget gini coba.
Rasa penasaran gue semakin memuncak karena ini pertemuan kedua di waktu yang berbeda dengannya. Elah, nih jantung juga bisa-bisanya berdetak nggak normal saat mengingat yang disampaikan oleh bu Mayang. Bertemu dengannya di saat matahari terbit, bila bertemu dengan wajah yang sama sebanyak tiga kali di waktu yang berbeda, maka bisa dipastikan dia adalah jodoh dan takdir gue.
Selain itu, dekat hotel gue menginap dan rumah Revan, ada Mall yang nggak kalah besar padahal, Grand City apa gitu kalau nggak salah nama Mall-nya, tapi Revan malah mengajak gue ke Mall yang tempatnya jauh antah berantah begini. Alasannya cuma pengin mengajak jalan-jalan dan mengobrol sama gue. Plus, dia udah bosen ke Mall itu, karena hampir tiap hari lewat situ kalau berangkat kerja dan hampir setiap bulan juga mengunjungi Grand City. Makanya mumpung ada gue, Revan mengajak gue main yang jauh. Dan karena alasan Revan itu lah, gue bisa ketemu lagi sama perempuan kereta api itu. Apa ini klu dari langit yang lain untuk mempertemukan gue dengan perempuan yang dimaksud bu Mayang? Oh Goosh!!! Petualangan sinting apa yang sedang coba gue jalani saat ini. Kenapa juga harus langsung membawa perasaan di dalamnya? Mampus.
"Tan, wooyy! Kamu ngelamunin apa?" Suara Revan membuyarkan lamunan gue. Baguslah.
"Perempuan tadi. Itu perempuan yang gue maksud di stasiun. Ini kali kedua kita bertemu di waktu yang berbeda."
Revan tertawa. "Yang kamu bilang bakal jadi jodoh dan takdir kamu?" tanyanya dengan nada meledek.
Gue menjatuhkan kepala ke sandaran jok mobil lalu terpejam. "Gue udah memberikan kesan buruk sama dia di awal pertemuan kita," jawab gue lesu.
"Lah kamu, main tarik anak orang. Lagian ya, kamu kayak bukan Dastan yang aku kenal. Selama kenal sama kamu waktu kuliah, aku nggak pernah sekalipun lihat kamu sampe usaha segitunya cuma buat kenalan sama perempuan." Revan kembali mencoba mengingatkan reputasi gue soal perempuan saat di kampus.
Mata gue terbuka kembali. "Itu dia yang gue nggak habis pikir, Rev. Gue ngerasain perasaan yang beda sama perempuan ini. Apa gue jatuh cinta pada pandangan pertama ya?" Gue menghela napas panjang.
"Kiara. Nama perempuan itu Kiara, Tan," jawab Revan tenang, tapi berhasil mengalihkan pandangan gue untuk menghadap sepenuhnya pada Revan.
"Oiya, lo tadi udah kenalan ya. Lo juga kenal sama saudara perempuan itu. Bisa bantuin gue nyari informasi tentang dia, dong?" Gue kembali bersemangat, ketika mengingat Revan mengenal orang terdekat Kiara.
Revan mengembuskan napas penuh penyesalan. "Sorry, yang aku tau cuma namanya Kiara. Tadi juga aku nggak sempet minta nomer ponsel dan alamat Katrin, karena Katrin keburu pergi. Kayaknya abis terima telepon dari Kiara deh. Lagian, aku nggak terlalu kenal juga sama Katrin."
Sial! Ada aja halangannya.
Gue meminta Revan mengantar ke hotel dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta besok pagi dengan menggunakan pesawat pertama. Kata bu Mayang, kalau memang jodoh, gue pasti bertemu dengan cinta sejati gue. Ini juga baru pertemuan kedua. Masih ada satu kali pertemuan lagi untuk memantapkan hati. "Kalau jodoh nggak ke mana" prinsip baru hidup gue dalam misi mengejar cinta sejati.
----
*Kamu kalau dinasehati pasti keras kepala, bikin kesal saja).
^vee^