TAN:
Menjadi rutinitas baru bagi gue, apa lagi kalau bukan chating dengan Kiara. Sesempatnya gue selalu berusaha mengiriminya pesan BBM. Ababil banget, emang. Suka-suka gue, lah. Padahal ini di luar kebiasaan gue juga, sih, yang mau repot-repot menghubungi perempuan lebih dulu. Prinsip gue, siapa yang butuh ya dia dulu dong yang harus menghubungi duluan. Dan gue sekarang kena batunya. Mampus.
Rencananya siang ini, gue mau pergi ke hotel untuk melihat persiapan acara pesta ulang tahun perusahaan nanti malam, sekalian menyempatkan bertemu Kiara, meski hanya sebentar saja. Setelah memeriksa beberapa proposal penting pengajuan ekspor, gue segera melesat ke basement. Buset, dua cecunguk ini sudah menyandar manja di samping mobil gue, ketika gue sampai basement kantor. Entah sejak kapan. Gue memang menjanjikan akan mengenalkan Kiara, tapi ya nggak sekarang juga.
"Gak sabar amat ketemu bu bankir," ujar Fandi sambil senyum smirk.
"Eh, jangan sampai elo ngerusak acara, Fan. Gue pastiin elo nggak dapat jatah bonus akhir tahun, kalau sampai semua kacau gara-gara elo," ancam gue pada Fandi, karena gue tahu mulutnya ini orang lebih parah bocornya daripada knalpot angkot Kampung Rambutan.
"Ampun, pak GM. Fandi Alamsyah janji bakal jadi anak yang baik kok."
Alvin menoyor kepala Fandi, yang justru dibalas dengan tawa membahana oleh Fandi.
Sesampainya di hotel, gue lihat jam tangan di pergelangan tangan gue menunjukkan pukul satu siang. Masih ada waktu satu jam lagi bisa bertemu Kiara.
DASTAN ALFARENDRA:
Kia, lagi di mana? Udah makan siang?
KIARA CAVITRI:
Udah baru aja. Lagi duduk santai di dalam ballroom.
Gue bergegas menuju tempatnya berada disusul dua sahabat gue, setelah mendapat balasan BBM dari Kiara. Sesampainya di ballroom yang kosong, gue melihat cuma ada satu perempuan sedang duduk menghadap panggung dan membelakangi pintu masuk. Dari punggungnya, bisa gue pastikan dia adalah Kiara. Gue melangkah pelan menuju tempatnya. Gue bisa lihat dari gesturnya kalau dia sedang menelepon dan mengobrol serius dengan seseorang, mungkin orang kantornya seperti kemarin siang. Alvin dan Fandi memilih duduk nggak jauh di kursi yang sedang kosong. Beberapa menit kemudian Kiara mengakhiri panggilan teleponnya, sambil menghela napas panjang. Sepertinya dia sedang ada masalah di kantornya. Ini sudah kali kedua gue memergoki dia marah-marah di telepon seperti ini.
Saat gue panggil namanya untuk memberitahukan bahwa gue sudah di sini, Kiara hanya menoleh dan menatap gue dengan ekspresi datar. Tersenyum tipis juga setelah gue tersenyum saat beradu tatap dengannya. Sepertinya Kiara memang sedang mempunyai masalah dalam pekerjaannya. Terlihat jelas dari wajahnya yang
sedikit kusut dan kacamata sudah nggak lagi bertengger di hidung mancungnya.
"Hey, sory ya," jawabnya datar. Ternyata pertemuan yang kesekian kali masih nggak mampu membuat Kiara sedikit saja lebih ekspresif dan reseptif saat melihat kehadiran gue.
"Nggak apa-apa," jawab gue tenang.
Gue mengambil posisi duduk di samping kursi kosong di sebelah Kiara. Sengaja gue nggak duduk di kursi kosong persis di sampingnya, supaya paling nggak, ada spasi di antara kami, sehingga Kiara tidak terlalu risi saat berdekatan dengan gue.
"Oya aku mau ngenalin teman-temanku, boleh?"
"Ya boleh lah, mana teman kamu?" Gue memanggil Fandi dan Alvin agar datang mendekat.
"Kia, kenalin mereka teman-temanku," ucap gue. Kiara berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan sambil tersenyum tipis.
"Duduk di sana aja ya," tukasnya setelah berkenalan dengan Alvin dan Fandi.
Kiara menurunkan kacamata yang bertengger di atas keningnya dan mengambil ponselnya. Kiara mengajak kami berbincang di sebuah meja bundar yang terdiri dari lima kursi kosong, tak jauh dari meja panjang tempat Kiara duduk tadi. Kami berempat mengobrol dalam suasana agak awkward. Gue dan Fandi yang banyak bicara. Sedangkan Alvin dan Kiara hanya menjadi pendengar. Setengah jam berlalu, beberapa orang sudah mulai memasuki ballroom. Alvin dan Fandi juga sudah keluar lebih dulu.
"Sory ya, workshopnya mau dimulai lagi, nih."
"Iya udah aku cabut dulu ya. Kia, ntar malam bisa ya," pinta gue sebelum benar-benar meninggalkan ballroom.
"Nggak bisa janji, tapi aku usahain." Setelah mendengar jawaban yang kurang memuaskan dari Kiara, gue meninggalkan ruangan ini, menyusul kedua teman gue yang sudah terlebih dulu keluar.
"Gimana pendapat lo pada?" tanya gue pada Alvin dan Fandi saat perjalanan kembali ke kantor. Bukannya menjawab, mereka berdua justru saling pandang.
"Cantik, tapi lo yakin?" tanya Fandi. Baik Fandi, terutama Alvin, tahu banget perempuan-perempuan yang pernah dekat dan jalan sama gue, sebagai pacar maupun friends with benefit.
"Kayaknya bukan lo banget gitu, nggak ada Miranda Kerr-nya sama sekali," Alvin menambahkan.
"Taiiik ...," gue mengumpati Alvin. Dia tahu banget kayak gimana tergila-gilanya gue pada Miranda Kerr, dulu, ketika masih pacaran dengan Anya. Arrrggh ... lupakan soal Miranda Kerr, jangan bahas Anya lagi.
"Perempuan yang kaku. Dari caranya dia berbicara di telepon tadi, kelihatan banget kalo dia tipe perempuan yang kurang welcome sama orang baru." Gue melempar tatapan kurang suka pada Fandi yang mengungkapkan pendapatnya soal Kiara.
"Kalau pertama kenal, pasti orang akan memiliki pandangan seperti itu. Gue aja udah pernah kena tatapan dinginnya plus dimaki waktu ketemu di Surabaya, semakin ke sini dia semakin menyenangkan menurut gue."
"Tapi apa lo yakin dia bakal naro hati ke elo? Kayaknya dia datar-datar aja ngeliat kedatangan lo."
"Ya begitulah Kiara kalau sama orang baru. Dia seperti membuat sebuah tembok besar dan kokoh saat ada seseorang yang mencoba mendekati. Bikin tambah penasaran."
"Jangan mengawali suatu hubungan karena rasa penasaran, Tan. Lo harus cari tahu gimana perasaan lo ke dia, setelah itu cari tahu juga bagaimana perasaan dia ke elo."
"Itu lah masalahnya, Al. Gue masih takut melangkah ke sana. Gue takut dia jadi menjauh setelah gue nanyain hal itu. Gue sudah merasa nyaman di zona ini."
"Dia terlalu jauh juga, Man. Kalo lo pacaran sama dia, yakin lo bisa LDR, heh? Kayak lo tahan aja jadi jomblo semu." Fandi memberikan pendapat soal jarak yang memang cukup jauh untuk hubungan ini nantinya yang nggak pernah tebersit di benak gue. Saking senangnya bisa dekat dengan Kiara.
"Bener juga, tapi gue mau nyoba jalanin aja dulu. Biar semua rasa nyaman ini mengalir seperti aliran air."
Fandi tersenyum kecut. "Ati-ati aja sama rasa nyaman itu, Tan. Karena rasa nyaman sama seseorang yang bukan siapa-siapa kita, efek sampingnya lebih kuat daripada jatuh cinta," ucapnya tanpa menatap gue dan Alvin.
Gue dan Alvin nggak menjawab. Suasana mobil lalu hening.
Sore ini, gue harus berpacu dengan waktu menyelesaikan segala pekerjaan di kantor. Ditambah lagi harus segera bersiap untuk acara nanti malam. Pukul 17:00, iphone gue berdenting satu kali tanda BBM masuk. Mata gue berbinar-binar menatap layar iphone.
Kiara bersedia menemani gue malam ini. Langsung saja gue balas BBM dari Kiara.
DASTAN ALFARENDRA:
Jam 19:45 aku jemput di depan kamarmu. Thanks ya Kia.
Yak, BBM gue cuma di read ini. Nih, perempuan datar banget, Ya Tuhan. Dia nggak agresif seperti kebanyakan perempuan yang mendekati gue selama ini. Tapi juga nggak kayak yang sok jual mahal. Gue menduga kalau ini bukan sisi asli seorang Kiara. Yang diperlihatkan beberapa hari ini pasti sisi lain darinya dan hanya sebuah tameng untuk melindungi kehidupan pribadinya. Ya, gue hanya bisa menduga-duganya tanpa berani mencari tahu lebih jauh lagi. Gue masih terlalu enggan berpisah dengan kenyamanan ketika bersama dengan gadis itu.
KIA:
Aku tidak tahu lagi, apa keputusanku ini sudah benar. Aku memilih menerima undangan dari Dastan untuk menghadiri pesta ulang tahun perusahaan tempat laki-laki tersebut bekerja. Tidak bisa dipungkiri, makin
ke sini aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Namun, aku masih enggan membawa perasaan dalam kebersamaan ini. Aku takut salah dalam menanggapi sikap baik Dastan yang ternyata nantinya hanya menganggapku angin lalu.
Dastan adalah pria pertama yang bisa membuatku berpikir untuk membuka salah satu pintu hati yang telah aku tutup rapat selama tiga tahun ini. Kesakitan dan rasa trauma yang aku dapat tiga tahun yang lalu, membuatku menutup diri dan menganggap bahwa semua laki-laki sama saja, jahat, membuat aku merasa insecure dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki. Rasa sakit yang digoreskan oleh seseorang di masa itu menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku dan meninggalkan bekas yang masih terasa perih bila tersentuh.
Aku mematut kembali refleksi diriku di depan cermin besar ini. Di antara dua gaun yang aku bawa, aku memilih mengenakan gaun berwarna hitam malam ini. Sebuah gaun malam model kemben sepanjang telapak kaki, memiliki belahan di sisi kiri sebatas lutut, berwarna hitam. Ada tambahan sentuhan kain tile warna serupa
menutupi bagian bahuku yang terbuka. Stilletto yang aku kenakan memiliki heels setinggi tiga belas senti berwarna abu-abu metalik senada dengan clutch. Kusanggul rambut sebahuku sedemikian rupa dengan bantuan hairspray agar terbentuk dengan baik dan rapi. Make up yang kupoles terkesan agak glamour memang, tapi tidak mencolok. Gaun itu sengaja aku bawa karena tahu pasti akan dibutuhkan. Biasanya untuk acara penutupan workshop.
Ada bunyi ketukan pintu kamar hotel. Aku mengintip dari peep-hole. Dastan sedang berdiri di luar. Buru-buru aku membuka pintu dan melihat penampilan laki-laki itu malam ini yang begitu memukau dengan setelan jas warna abu-abu dan dilengkapi dengan kemeja putih di dalamnya serta dasi warna hitam yang tersimpul rapi, Penampilannya menambah ketampanan yang dimiliki Dastan. Dari penampilannya mulai dari pakaian formal, hingga pakaian santai, penampilan malam ini yang paling membuat aku terpukau, tidak kalah dengan tokoh pria tampan dalam drama Korea yang sering ditonton Nadine. Manik mata Dastan menatap
penampilanku. Tatapan matanya sulit k****a dan sukses membuatku salah tingkah. Kulihat senyuman juga tidak henti terkembang di bibir tipisnya.
"Sudah siap, Kia?" tanya Dastan memecah keheningan sesaat di antara kami. Setelah menjawab siap, aku masuk kembali untuk berpamitan dengan rekan sekamarku, dan juga mengambil clucth di atas ranjang.
Sesampainya di depan pintu ballroom tempat acara pesta diadakan, Dastan menawarkan lengannya kepadaku. Aku yang sadar sedang berada bukan di lingkunganku, langsung mengamit lengan kokoh Dastan. Hal ini membuat tubuhku sedikit mendekat pada tubuh Dastan. Kami sempat melempar pandangan selama beberapa detik, sebelum memutuskan untuk melanjutkan langkah ke dalam ballroom. Jantungku berdetak semakin cepat saat berdekatan dengannya seperti ini. Laki-laki di sampingku ini terlihat tenang dan sesekali menatapku sambil tersenyum.
Dastan mengajakku masuk lebih dalam dan bertemu dengan teman-temannya. Semua mata kini tertuju pada
kami, no no no! lebih tepatnya kepadaku. Mulai dari tatapan sinis, tatapan penuh selidik dan bertanya-tanya, seolah kami berdua adalah a charming couple. Tidak satupun dari wajah yang tengah menatapku itu yang aku kenal. Dastan sendiri sepertinya sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti itu dan memilih bersikap santai. Dastan menunjuk ke arah Fandi dan Alvin yang sedang duduk di meja bundar di sisi kanan panggung, Fandi melambai-lambaikan tangannya pada Dastan. Ya, hanya dua wajah itu yang aku kenal di tempat ini.
"Selamat malam, Kiara," sapa Fandi ramah. Aku tersenyum menerima sambutan dari salah satu teman baik Dastan itu, sedangkan Alvin hanya tersenyum tipis melihat kehadiranku.
Setelah mengobrol ringan, Dastan pamit sebentar untuk menemui tamu penting, para petinggi perusahaannya. Fandi dan Alvin juga berpamitan kemudian, karena diajak oleh beberapa temannya menuju meja lain. Tinggallah aku sekarang seorang diri di meja bundar ini. Aku merogoh clutch untuk mencari ponsel. Saat ponsel kutemukan, pundakku ditepuk pelan
oleh seseorang. Ketika menoleh, aku mendapati sosok yang sangat kukenal dengan baik, tengah tersenyum menghadapku dengan setelan jas armany hitam dan kemeja putihnya. Pria yang masih cukup gagah di usianya yang tak lagi muda ini.
"Loh mas Arif. Kok ada di sini juga?" tanyaku heran. Mas Arif duduk di kursi di sampingku.
"Seharusnya saya yang tanya mbak Kiky, kok bisa ada di sini?"
"Saya sedang ada workshop di Jakarta selama lima hari. Kebetulan malam ini kosong, jadi saya menerima undangan teman yang tinggal di Jakarta, Mas. Pesta ulang tahun perusahaan tempat dia kerja."
Sosok yang tak lain adalah Arif Sakanada itu duduk di bangku kosong di sampingku. Laki-laki ini adalah suami Katrina, sepupuku. Kami lalu terlibat obrolan santai, dan sesekali diiiringi tawa. Kebetulan kami berdua memang sudah lama tidak bertemu. Aku baru 'ngeh' sekarang kalau Dastan dan mas Arif ternyata rekan kerja. Aku memang tidak terlalu fokus saat Dastan
menyebutkan nama perusahaan tempatnya bekerja ketika kami makan malam, beberapa waktu yang lalu. Pulau Jawa ternyata sempit, tidak seluas yang aku kira.
---
Find me on i********:; makvee79
Find me on w*****d; makvee
^vee^