"Ayah tidak percaya kamu benar-benar melakukan ini Satya. Sejak kapan Ayah mengajarimu untuk jadi pecundang!? Dimana hati nuranimu, apa kamu tidak memikirkan perasaan Kirana sama sekali!?"
Begitu memasuki ruang tengah. Rissa dikejutkan dengan pernyataan mengagetkan dari lelaki paruh baya, sepertinya ayah Satya. Kata-katanya tegas, agak menyesakkan hati. Sedikit kaget, karena Rissa sudah membentengi hatinya jikalau kedua orangtua Satya tidak sepenuh hati menerima kehadirannya. Setegar-tegarnya seorang Rissa. Tetap saja dia manusia biasa. Napasnya tercekat, sesak menggelayut mengisi ruang hatinya saat ini. Bukan karena perkataan ayah Satya yang terkesan tak menerima dia. Tetapi satu nama yang telah disebutkan oleh ayah mertuanya.
Kirana!?
Siapakah dia? Oh, Ya Rabbi kenapa rasanya sesak sekali mendengar nama perempuan lain disandingkan dengan suaminya. Kenapa mas Satya tidak jujur saja waktu itu. Andaikan dia jujur dan mengatakan jika sudah mempunyai calon istri. Tidak akan pernah Rissa mau dan menerima Satya. Hati Rissa kembali mengangah. Rasa takut itu terasa mencekam, seakan mengulang dimana ia kehilangan Adam. Kini seperti itu juga yang ia rasakan.
"Ayah," tukas Satya ingin menjelaskan semuanya pada sang ayah.
Lelaki paruh baya yang dipanggil ayah oleh Satya itu hanya diam. Ekor mata Rissa memberanikan diri melirik sang ayah mertua, wajahnya teduh, sama seperti suaminya, meskipun ada sedikit gurat keriput menghiasinya. Namun yang menjadi fokus Rissa ada kilat amarah di kedua mata ayah mertuanya. Rissa bisa sangat jelas menyaksikkan ada kemarahan di sana.
"Ayah, sebaiknya biar Satya dan Rissa duduk dulu, baru kita bicarakan baik-baik tentang ini." suara lembut dari ibu Satya terdengar menenangkan. Ayah Satya terlihat mengangguk pelan.
"Duduklah Satya, dan kamu Nak," ucapnya sambil memandang ke arah Rissa. Suara serta tatapannya melunak dibandingkan tadi saat pertama mereka datang, "Ayah minta kamu jelaskan sekarang juga Satya, apa yang terjadi!?" sambung ayah Satya langsung menodong penjelasan dari putranya.
Rissa duduk dengan tidak tenang. Gugup, cemas, takut, dan rasa bersalah, semuanya jadi satu menyeruak dalam hati. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, hati Rissa mendadak gamang, bukan karena penyambutan yang cukup mengejutkan oleh ayah mertuanya. Tetapi satu nama perempuan yang ia sama sekali tidak tahu itu siapa, dan ada hubungan apa dengan Satya yang kini menjadi suaminya itu.
Kirana.
Iya, Kirana. Sesak, tak bisa ditampik begitu saja oleh Rissa. Bohong sekali jika gadis itu merasa biasa saja saat mendengar gaung nama Kirana di telinganya. Yaa Allah, kuatkan hatiku akan kenyataan yang mungkin saja akan menyakitkan. Rapal Rissa diam-diam bermunajat.
Satya menjelaskan semua rentetan kejadian pada ayah serta ibunya, semua terdengar jelas, tidak ada yang ditutupi. Ayah Satya terlihat beberapa kali menghela napas berat. Ah, Rissa paham sekali apa yang dirasakan orangtua itu, bagaimanapun kemarin bapak dan ibunya juga mengalami hal yang sama saat pernikahan putri mereka terancam gagal karena kepergian Adam.
"Maafkan Satya, Yah. Demi Allah semua terjadi begitu saja tanpa Satya sengaja." ekor mata Rissa melirik sang suami yang tengah menyatakan penyesalannya di depan sang ayah. Ibu Satya terlihat lebih tenang, meskipun tercetak sedikit gurat kecewa dalam bola matanya.
"Yasudah, nanti kita pikirkan bagaiman solusinya," sahut ayah Satya terdengar bijak, "Satya apa kamu tidak ingin mengenalkan isterimu pada Ayah dan Ibumu?" sambungnya lagi kali ini disertai senyuman tipis.
Rissa makin gugup, tak berani mengangkat wajahnya, malu. Mungkin saja begitu. Berkali-kali tangan gadis itu terulur membenahi jilbabnya, untuk mengalihkan rasa canggung yang mendera. "Namanya Marissa Attaya. Ayah, Ibu." Satya menyebut nama panjang Rissa di depan ayah serta ibunya.
"Kemari Nak, Ibu ingin mencium keningmu." masih dengan debaran dan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun saat Rissa beringsut mendekat ibu Satya. Hatinya menghangat, dan rasa nyaman menjalar ke seluruh tubuhnya saat merasakan kecupan di keningnya dari perempuan paruh baya itu. "Cantik sekali kamu Rissa, sejak dulu Ibu selalu mendoakan Satya agar mendapat jodoh perempuan yang shalih, serta menutup auratnya. Dan sepertinya doa Ibu terkabulkan." ucap ibu Satya lagi sambil kedua tangannya mengelus pipi Rissa.
"Aamiin, terima kasih Bu, Saya masih belum pantas disebut seperti itu." balas Rissa merendah. Entah, ia harus merasa lega, senang, atau bahagia dengan pujian ibu Satya. Yang pasti masih ada ganjalan di hati gadis itu sebelum Satya menjelaskan siapa itu Kirana. Hubungan yang ia jalani saat ini bukanlah main-main. Rumah tangga, yang janjinya langsung atas nama Allah Ta'alla serta disaksikan para malaikatnnya.
Kata Cahyadi Takariawan, seorang konselor pernikahan. Beliau mengatakan bahwa pernikahan adalah janji atau akad yang terikrarkan atas nama Allah, dituntunkan oleh agama dan diperkuat oleh lembar dokumen pemerintah. Dan yang menjadi pertanyaan dalam benak Rissa adalah, benarkah pernikahannya akan bisa kuat serta bertahan tanpa adanya sakinah atau cinta yang mengiringinya?
Setiap perempuan pasti akan mendamba membangun syurga, membina cinta dan menggapai ridhaNya bersama pasangan, tapi apa itu bisa berjalan jika masih ada kebohongan yang tertutupi.
"Satya, apa Rissa sudah tahu perihal Kirana?" lontaran pertanyaan dari ayah Satya, sepertinya akan menjadi pembuka segala gunda dalam hati Rissa tentang Kirana. Airmuka Satya seketika berubah saat mendengar nama Kirana disebut. Lelaki itu hanya menggeleng lemah. "Ceritrakan semuanya pada isterimu jangan ada yang di tutupi Satya," titah ayah Satya dan kembali mendapat anggukan dari Satya sebagi jawaban. Inilah saat yang ditunggu oleh Rissa.
"Iya Satya, jelaskan semuanya Nak. Pernikahan itu urusan untuk jangka panjang, seumur hidup. Maka jangan ada kebohongan, jujur tapi menyakitkan itu lebih baik, daripada harus bahagia diatas dusta." perkataan ibu Satya terdengar lugas dan sangat bijak, namun hati Rissa makin tak karuan mendengarnya. Kebohongan apa sebenarnya yang disembunyikan Satya darinya? Sudah pasti ini tentang Kirana.
Rissa masih bingung, ada hubungan apakah Satya dan Kirana. Entah mereka sepasang kekasih, tunangan, atau bahkan mereka sudah menjadi suami-istri!? Rissa menebak dalam diam. Takut, cemas, akan kenyataan di depan mata.
"Rissa sebelumnya Mas minta maaf karena belum sempat menceritakan hal ini." Satya memulai penjelasannya. Rissa hanya diam, menyimak.
"Rissa, apa kamu marah?"
"Tidak Mas, jelaskan saja semuanya agar Aku mengerti." tukas Rissa menyiapkan hati.
"Sebanarnya sebelum menikahi kamu, Mas sudah mempunyai tunangan dan calon istri."
untuk sekian detik Rissa hanya bisa terdiam mendengar kejujuran Satya. Bukan rasa sedih, namun sesak dan rasa bersalah tiba-tiba menghantui. Bagaimana bisa dia dengan mudahnya menerima Satya menjadi suaminya sementara ada hati yang harus dijaga lelaki itu, ada perempuan yang juga mempercayakan janjinya pada Satya. Ah, rasanya Rissa ingin memaki dirinya sendiri saat ini. Dia merasa menjadi perempuan paling jahat karena secara tidak langsung telah merebut tunangan orang lain.
"Rissa demi Allah, Mas tidak ada niatan untuk tidak jujur waktu itu." sahut Satya saat melihat raut gamang di wajah Rissa.
Sekuat tenaga ia tahan, akhirnya jatuh juga buliran bening itu dari kedua mata Rissa. Rentetan peristiwa manis yang ia lalui bersama Satya malam itu kembali memasuki otak Rissa, hatinya nyeri, marah, sesal, serta bingung harus mengambil langkah.
"Kenapa Mas!?" gugatnya pada Satya, "Kenapa kamu tidak jujur saja waktu itu? Andai saja Kamu mengatakan jika sudah bertunangan dan mempunyai calon isteri, Aku pasti tidak akn pernah mau menerima kamu." gadis itu menangis sejadi-jadinya. Merasa lelah sekali dipermainkan oleh kenyataan.
"Isthigfar Nak, jangan seperti ini." ibu Satya mendekap Rissa dalam peluknya. Mencoba menenangkan.
"Ngga seharusnya Rissa menikah dengan Mas Satya, Bu. Andai saja waktu itu dia menceritakan semuanya," ucap Rissa disela isakan tangis. Ya Rabbi, kenapa terjal sekali jalan yang harus ku tapaki. Bisakah aku menego takdir yang tertulis atasku. cericit gadis itu dalam hati.
Rissa seakan merasa menjadi gadis paling malang di dunia ini. Jiwanya kembali harus merasakan luka.
"Awalnya Ayah juga marah pada Satya akan keputusannya yang diam-diam menikahi kamu Nak, tetapi setelah mendengar penjelasan darinya, Ayaha paham beban yang harus ditanggung Satya." ayah Satya ikut menyahut, seakan ingin meredam sedih serta kecewa yang dirasakan Rissa saat ini, "Jangan bersedih dan merasa bersalah, semua sudah takdir. Ayah dan Ibu menerima pernikahan kalian, kami menerima kamu sebagai menantu Rissa," sahutnya lagi. Harusnya Rissa bisa merasa tenang mendengar pernyataan sang ayah mertua. Namun rasa itu enyah, lenyap dan menguap, menyisakan rasa sakit serta bersalah jika mengingat ada hati yang mungkin akan sangat terluka oleh pernikahannya dengan Satya.
"Rissa maafkan Mas, tolong jangan seperti ini." bujuk Satya melihat sang istri yang masih tak hentinya menangis. Kilatan amarah menyeruak di dalam kedua bola mata gadis itu. Marah, akan sikap Satya yang tidak jujur.
"Mas sudah berjanji pada almarhum Adam dan juga pada ibu serta bapak kalau Mas tidak akan membuatmu menangis lagi," ucapan Satya semakin menyulut amarah dalam hati Rissa. Semua janji itu tidaklah ada artinya jika dengan menepati tapi Satya mengorbankan janji yang lainnya. pikir Rissa.
"Lalu bagaimana dengan janjimu pada Kirana, Mas!?" Satya hanya terdiam saat Rissa melempar pertanyaan akan janjinya pada Kirana. Lelaki itu bergeming, kerongkongannya terasa tercekat, dan beberapa kali terlihat mengusap kasar wajahnya. Entah, Satya sendiri masih bingung bagaimana nanti akan menjelaskan pada Kirana.
"Soal itu, nanti Mas akan pikirkan solusinya." hanya itu jawaban yang keluar dari bibir Satya.
"Tidak Mas, hanya ada satu solusinya," sahut Rissa cepat. Semua mata menoleh pada gadis itu, menunggu tentang solusi yang dimaksud oleh Rissa.
"Apa maksud kamu Rissa?"
"Iya, solusinya hanya satu Mas. Ceraikan aku...!"
##########
tbc...