Bab. 6

1509 Words
Mata Satya membeliak, kaget bercampur tak percaya mendengar kata-kata permintaan Rissa. Baru satu hari mereka menapaki kehidupan sebagai suami istri, kenapa bisa dengan gampangnya Rissa mengucap kata perpisahan. Sekian detik lelaki itu tak mampu berucap, kerongkongannya tercekat, bibirnya mengatup rapat. Ya Rabbi, kenapa harus kata cerai yang ia dengar, padahal itu adalah kata yang paling dibenci Allah, dan paling menjadi favorit para iblis. Perceraian adalah proyek terbesar iblis di dunia ini, para syaitan pasti akan berpesta pora, bergembira, jika berhasil memisahkan sepasang suami istri ke dalam perceraian. "Istighfar Nak, tenangkan hatimu dulu." ibu Satya yang menyahut diantara hening yang masih merayapi. Satya beringsut, berdiri, bukan menjawab perkataan Rissa, namun lelaki itu berlalu pergi dari sana. Seiring ketipak langkah suaminya, Rissa tak bisa lagi manahan sesak, airmatanya tumpah seketika. Antara menyesal dan takut akan ucapannya barusan. Memang tidak seharusnya dia meminta sesuatu yang diluar nalar. Perceraian adalah sesuatu yang halal, namun sangat dibenci oleh Allah Ta'alah. Gadis itu masih bergeming, bahunya naik-turun menghalau isakan tangis. Ingin dia berlari menyusul Satya serta mengatakan jika dia menyesal telah mengucap kata cerai, namun tubuhnya tertahan oleh rasa sesal dan takut. Takut saat melihat reaksi Satya, lelaki itu tak mengacuhkan perkataannya, bahkan melengang begitu saja, serta tatapan matanya menyiratkan kekecewaan. Oh Ya Rabbi, haruskah bahtera yang baru terarungi ini akan retak, berserakan, hancur berkeping dan menyisakan perpisahan. "Istighfar Rissa, jangan mengambil keputusan di tengah keputus-asaan dan emosi." ayah Satya membuka suara, memberi nasihat. Dalam hati Rissa membenarkan apa yang dikatakan oleh ayah mertuanya itu. "Pantang untuk seorang istri mengucap kata cerai jika rumahtangganya dalam keadaan baik-baik saja Nak," sambung ibu Satya menambahi. Rissa terus saja merapal istighfar dalam hati, sesekali gadis itu menjerit, merutuki kebodohannya. Tetapi bagaimana dengan Kirana? bukankah gadis itu juga pasti akan merasa sangat tersakiti dengan pernikahannya. Apa bisa Rissa berbahagia di atas rasa sakit perempuan lain. Hal itu yang saat ini masih mengganjal di hati Rissa. "Pergilah Nak, susul suamimu, bicarakan semuanya dengan baik-baik." usapan lembut di bahu Rissa dari ibu Satya sedikit menenangkan. Rissa mengangguk. "Terima kasih Ayah, Ibu. Maafkan Rissa yang sudah mendahulukan emosi," ucapnya pada ayah dan ibu mertuanya. "Susul Satya sekarang Rissa, kamar Satya ada di lantai dua, hampiri suamimu Nak, bicarakan dari hati ke hati." titah ibu Satya lagi. Tak mau menunggu lagi, Rissa menyeret kakinya, menuju tempat seperti yang ditunjukkan ibu Satya. Sepanjang langkah kaki, jantung Rissa merasa berdebar. Cemas dan was-was akan reaksi Satya nanti. Mata Rissa memonitor lantai dua rumah Satya, ada beberapa pintu di sana, Rissa merutuk, kenapa bisa dia lupa menanyakan letak kamar Satya. Gadis itu mengetuk satu-persatu pintu kamar, dua kali tak ada jawaban, sampai di pintu ketiga, tangan Rissa terulur memegang handle pintu, seketika kamar itu terbuka. Menghela napasnya dalam-dalam sebelum Rissa meneruskan langkahnya menghampiri Satya yang kini berbaring miring membelakangi. Gugup, bingung dan ada sebersit ragu. Bagaimanapun dia harus bicara pada Satya, atau mungkin mengucap permintaan maaf atas kebodohannya meminta cerai. Berusaha merangkai kata dalam hati, Rissa mendekat dan duduk di sebelah Satya. Agak ragu, tetapi memberanikan diri menyentuh lengan suaminya itu. Mata Rissa terpejam sejenak, berusaha membentengi hati tentang apapun reaksi Satya nanti. "Mas Satya.." ucapnya agak terbata, "Mas maafkan Rissa, jika perkataan Ku tadi telah menyakiti perasaan kamu Mas. Demi Allah, Aku juga tidak ingim berada dalam situasi seperti ini." sambungnya lagi. Sedetik, dua detik, Satya masih belum menyahut. Lelaki itu bergeming pada posisinya. Rissa mengigit bibirnya sendiri, merasa gagal membujuk Satya. "Mas, Aku akan keluar jika Kamu masih marah dan ingin sendiri." Rissa pikir biarlah untuk saat ini Satya menenangkan hati, mungkin dengan meninggalkannya seorang diri. Dan gadis itu rasa dia pun butuh waktu untuk kembali meyakinkan hatinya, bahwa tidak seharusnya tadi terucap kata perpisahan dari bibirnya. Ah, semuanya terjadi begitu cepat, secara tiba-tiba, dan ia harus menerima keadaan itu. Kepergian Adam, pernikahan dadakan, dan juga tentang Kirana. Rasanya rentetan kejadian kembali menyesak dalam otak Rissa. "Rissa.." Gadis itu memaku langkahnya seiring panggilan yang terdengar. Alih-alih berkata, Satya malah merengkuh tubuh Rissa ke dalam peluknya. Sekian detik hanya keheningan yang menyelimuti. Ingin menampik rasa yang hadir, diam-diam menyelinap ke dalam perasaannya, tapi Rissa malah mengaitkan kedua tangannya, membalas pelukan Satya. "Mas, maaf..." ucapnya lirih, diantara derai air yang luruh begitu saja di kedua pipinya. Satya mengurai dekapannya, kedua tangan lelaki itu terulur menyentuh wajah Rissa, mengusap lembut, menghapus genangan air yang menggantung. Gelengan pelan ditunjukkan di depan Rissa sebagai tanda bahwa ia tak senang melihat airmata menghiasi wajah istrinya. "Maafkan Aku, Mas." kedua telunjuk Satya menempel tepat di bibir Rissa, membungkam gadis itu. Kedua pasang mata mereka saling menatap. Ah, gugup itu kembali merayapi saat berada dalam jarak yang dekat sekali. Rissa semakin merasa gemetar saat merasa ada sesuatu yang menempel di keningnya, ingatannya berkebat, kembali pada memori malam tadi. Kecupan yang sama, terasa hangat, menenangkan, dan mungkin akan menjadi candu untuknya. Rasanya jiwa Rissa melayang, terbang ke awan, tak bisa sedetikpun menolak pesona serta kelembutan Satya. Namun detik berikutnya Rissa merasa terhempas, terpelanting, jatuh, remuk tak bersisa, saat menyadari bahwa, harusnya bukan dia yang merasakan kelembutan sikap Satya, harusnya bukan dia yang mendapat perhatian lelaki itu. Atau mungkin perhatian dari Satya untuknya hanyalah sebatas tanggung jawab akan janjinya. "Berjanjilah satu hal pada Mas, Rissa." ucap Satya setelah mendaratkan kecupannya di kening Rissa. Janji!? gadis itu masih terpaku, belum sepenuhnya paham akan janji yang diminta Satya padanya. Seluruh inderanya mengamati lelaki itu, mencoba menelisik. Apa Satya akan memintanya berjanji untuk bisa menerima Kirana. Berbagi dengan perempuan itu. Rissa terdiam, entah kenapa hatinya harus merasa terkoyak saat menebak permintaan Satya. "Janji apa Mas?" masih dengan terbata gadis itu mengumpulkan segenap kenyataan jika nanti tebakannya tentang janji yang diminta Satya itu benar seperti yang ia pikirkan. Kedua tangan Satya beralih, membingkai wajah Rissa. Bola matanya menatap dalam, seakan menusuk, mengakibatkan gadis itu salah tingkah. "Berjanjilah pada Mas, bahwa kamu tidak akan pernah mengatakan, atau mengucapkan kata-kata itu lagi." Rissa sedikit terhenyak dengan permintaan Satya. Gadis itu paham, apa yang dimaksud Satya dengan 'kata-kata itu' pasti adalah kata cerai yang tadi ia ucapakan. "Rissa dengarkan Mas," sambung Satya lagi manatap serius pada Rissa. "Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, pernikahan itu sakral, suci, apa kamu paham, dasyatnya janji saat sumpah itu terucap." jelas Satya tegas namun penuh kelembutan. Rissa hanya mengangguk pelan, entah kenapa tiba-tiba sosok di depannya terasa begitu istimewa. "Iya Mas, Aku janji." sahutnya lagi. Satya menghela napas lega, "Saat janji itu terucap, saat Mas mengucap sumpah atas namamu, saat itu juga kamu menjadi tanggung jawab Mas, bukan hanya urusan duniamu, tapi juga akhiratmu." sambungnya lagi penuh kesungguhan. "Tapi Mas, bagaimana dengan..?" "Kirana maksud Kamu?" sela Satya sudah paham siapa yang dimaksud Rissa. Lelaki itu memejamkan mata sejenak. Bagaimanapun dia tetap merasa bersalah pada Kirana. "Itu nanti akan Mas pikirkan solusinya." Entah kenapa hati Rissa gamang mendengar jawaban Satya. Solusi apa yang dia maksud. Apa mungkin Satya akan tetap menikahi Kirana dan berpoligami. Ah, membayangkan saja Rissa enggan. Meskipun dia berada di posisi yang salah, tetapi perempuan mana yang mau berbagi suami, perhatian, kasih sayang, serta cinta. Memang kesannya egois sekali, tapi itu adalah hal yang wajar. Setiap perempuan pasti ingin menjadi yang pertama dan satu-satunya. "Solusi yang bagaimana Mas?" tanya gadis itu diantara rasa ragu. "Nanti Mas akan memberi pengertian dan menjelaskan pada Kirana, bahwa kami memang tidak ditakdirkan untuk berjodoh, dan mungkin itu akan menyakitkan. Tetapi Mas yakin kalau Kirana akan bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Mas." tersenyum lirih saat Satya menjawab tanya Rissa. Indera gadis itu bisa melihat ada gurat kesakitan dari sorot mata Satya. Biar bagaimanapun lelaki itu tak bisa menutupi sebersit kekecewaan yang membias dari wajahnya. "Mas, Aku ikhlas jika.." "Apa kamu sudah melupakan janjimu Rissa!?" "Maaf Mas, tapi Aku tidak ingin menjadi penghalang cinta Mas dan Kirana, Aku ikhlas mengalah dan mundur jika memang itu yang terbaik." setengah menangis dalam hati saat berucap. Rissa pikir lebih cepat dia mundur itu lebih baik daripada dia makin merasuk ke dalam rasa nyaman saat berada di dekat Satya, dan mungkin nanti akan semakin sulit melepas lelaki itu. "Rissa, kita mungkin menikah karena terpaksa. Mungkin juga kamu belum bisa sepenuhnya menerimaku, tetapi berikan Mas kesempatan untuk memenuhi janji Mas, membuatmu bahagia. Mas mungkin tidak lebih baik dari Adam, tetapi Mas janji akan menjadi yang terbaik untukmu." Rissa mempertajam indera pendengarannya, meresapi setiap kata yang terucap dari bibir lelaki itu, mencari-cari apakah ada kebohongan darinya. Sayang sekali Rissa tak menemukan itu, justru gurat keseriusan itu memancar dari kedua bola mata Satya saat memandangnya. "Iya Mas, maafkan Rissa jika tadi sempat membuat Mas kecewa. Rissa janji, apapun yang terjadi, tidak akan lagi mengucapkan kata itu," ucap Rissa penuh keyakinan. Sepenuh jiwa menyandarkan hatinya pada satu nama, Satya. Tangan kekar Satya kembali menarik Rissa ke dalam dekapannya, memeluknya, erat, seakan menegaskan bahwa dia tidak akan membiarkan gadis itu sendirian. Entah bagaimana besok, dia tak ingin memikirkannya saat ini. Apa yang terjadi, biarlah terjadi. Tidak tahu pasti apa namanya, tetapi keduanya merasakan hal yang sama. Nyaman. Rasa itu sudah cukup mewakili perasaan masing-masing. Iya, sesederhana itu. ### bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD