Gema adzan subuh baru saja terdengar merasuk ke dalam kendang telinga Rissa. Tidak biasanya gadis itu bangun bersamaan dengan kumandang subuh. Biasanya ia sudah terjaga tepat di sepertiga malam sebelum subuh menyapa. Agak sedikit berat membuka matanya untuk beranjak. Mengumpulkan sedikit demi sedikit kesadaran, saat mata Rissa terbuka sempurna, menyapu pemandangan sekitar ia tak mendapati sosok lelaki yang semalam menguraikan dekapan di tubuhnya, memberinya kecupan lembut, Lelaki yang memberinya pengalaman indah romansa malam pertama.
Pipinya merona seketika saat memori ingatannya berputar pada peristiwa semalam. Ah, yaa Allah, begitu indahnya malam pengantin hingga Rissa sampai terbuai, seakan luka yang mengiris sudut hati itu lenyap tak berbekas oleh sikap Satya padanya. Seulas senyum menghiasi wajah Rissa.
Bahagia?
Benarkah dia merasa bahagia? ataukah ini hanya semu dan sesaat. Mengingat tidak ada ikrar cinta diantara dia dan suaminya.
Mencoba untuk tetap tegar, menerima keadaan serta takdir Tuhan yang disiapkan untuknya.
namun detik berikutnya senyum itu lenyap, pudar dan menguap. Ah, ya Rabbi, jika mereka kini ditakdirkan bersama, apa cinta itu juga terselip di hati masing-masing. Rissa masih belum bisa memastikan tentang perasaannya. Bukankah terlalu cepat untuk menyimpulkan.
Lalu?
apa yang mereka lalukan semalam itu hanyalah sebagai bentuk hak, kewajiban dan tanggung jawab semata. Gadis itu kembali tersenyum, tapi kali ini senyuman lirih, seakan menggugat kembali takdir yang harus ditapaki. Belum sepenuhnya percaya jika kini ia telah bersuamikan seorang Satya.
"Kamu sudah bangun?" suara sapaan dari lelaki yang baru memasuki kamar mereka sedikit membuat Rissa kaget. Reflek gadis itu menarik selimut untuk menutup tubuhnya sampai sebatas leher. Rasa canggung, malu serta gugup masih mendera. Lebih lagi rasa dingin tiba-tiba menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Mungkin itu efek dari rasa gugup yang berlebihan. Biar bagaimanapun Satya masih terasa asing baginya. "Kenapa Rissa?" lontaran pertanyaan Satya saat melihat ekspresi kaget dari Rissa.
Gadis itu hanya menggeleng lemah. Tak berani mengangkat wajah saat lelaki yang telah halal baginya itu menatapnya lekat. "Buruan mandi trus siap-siap ya, setelah itu kita subuh bersama." ucapan yang sangat lembut terdengar. Allah, bisakah Aku menahan untuk tidak jatuh ke dalam pesona lelaki itu. Dia lelaki yang sangat lembut, sopan tutur katanya, sangat perhatian dan menjaga, serta taat sekali pada agamanya. Kaum Hawa mana yang bisa berpaling dari daya tariknya. Rissa diam-diam bermonolog dalam hati. Diam-diam juga tanpa sadar mengagumi.
Dua sajadah kembali menjadi saksi saat sepasang anak manusia itu kembali ke sujudnya. Usai subuh bersama Satya membuka sebuah buku, ah lebih tepatnya sebuah kitab. Sebuah kitab nadhom alfiyah. Rissa sedikit banyak tahu tentang kitab yang kini dibaca suaminya itu. Kitab nahwu fenomenal Alfiyah karangan Syaikh Abdullah Muhammad bin Jamaludin bin Malik Al Andalusy.
Ekor mata Rissa hanya mengawasi sang suami yang tengah serius itu. "Mas Satya suka membaca Alfiyyah?" pertanyaan meluncur dari bibir Rissa. Rasanya tidak tahan untuk saling diam seusai mereka subuh berjamaah tadi.
"Iya, baru belajar. Mas ingin bisa menghafal seribu nadhom alfiyyah. Dulu sempat belajar, tapi hanya sebentar saat mengikuti pesantren kilat." Satya berceritra dengan sendirinya. Bibirnya melengkung, memunculkan senyum tipis usai bercerita. "Kalau kamu bagaimana?"
"Bagaimana apanya Mas?"
"Hafalan nadham alfiyyah?"
Rissa bergeming. Memori otaknya seketika kembali di masa Adam masih hidup. Ah, mana mungkin Rissa akan gampang menelantarkan ingatannya tentang lelaki itu. Jika dulu Adam seringkali memberinya puisi serta membacakannya syair cinta seribu nadham alfiyyah. Kata-kata cinta yang penuh kalam Ilahi serta bermakna sangat indah. Akankah gadis itu akan kembali mendapatkannya dari sosok Satya.
"Rissa.." panggilan Satya menyadarkan Rissa kembali dari ingatannya tentang Adam dan kitab alfiyyah.
"Tidak Mas, Aku tidak sepenuhnya menghafal. Hanya beberapa bait saja, itupun juga masih belum lancar." jawabnya pada Satya. Sebersit rasa nyeri merasuk ke dalam hatinya jika mengingat dulu Adam berjanji akan mengajarinya menghafal alfiyyah jika mereka sudah menikah. Nyatanya baru beberapa bait saja yang dihafal Rissa tapi takdir berkehendak lain.
Nadham Alfiyyah secara tidak langsung kembali menghadirkan kenangan tentang Adam dalam benak Rissa. Masih melekat dengan sangat jelas, pelbagai syair, puisi serta kata puitis yang terangkai dari bait-bait Alfiyyah oleh Adam untuk Rissa. Allah, Betapa nyeri hati Rissa jika harus kembali mengingat. Sesak, serta ingin menagis rasanya. Isthigfar juga acap kali terapal dalam hati gadis itu saat teringat Adam. Bagaimanapun statusnya sekarang adalah istri dari Satya. Rissa merasa dihimpit duri dosa jika terus saja masih memikirkan lelaki lain.
"Mas Satya ingin dimasakin apa untuk sarapan?" pertanyaan yang sengaja Rissa lontarkan untuk menghindar dari ingatan tentang Adam. Ah iya, ini adalah tawaran kedua kalinya dari gadis itu, setelah semalam Satya menolak saat Rissa ingin memasakkan sesuatu untuknya.
"Tidak usah Rissa." lagi dan lagi, sebuah penolakan yang Rissa dengar. Yaa Allah, Kenapa aku harus merasa terluka saat penolakan itu kembali terucap dari bibir mas Satya. cericit Rissa dalam hati. Padahal gadis itu hanya ingin menunjukkan baktinya sebagai istri. Ingin sepenuh hati melayani suaminya. Saat Satya mengucap janji atas namanya, saat itu juga Rissa juga berjanji akan sepenuhnya menyerahkan jiwa, raga, serta hatinya pada lelaki itu.
Rissa bergeming. Entah, harus menjawab apa atas penolakan untuk yang kedua kali dari Satya. Air mukanya menyiratkan secuil kekecewaan. Kecewa yang hanya bisa ia pendam. Ia rasakan sendiri.
"Maksud Mas, tidak usah repot menyiapkan sarapan. Karena Mas mau mengajak kamu langsung ke rumah ayah dan ibu. Mereka sudah menunggu kita di sana." sambungan penjelasan dari Satya menimbulkan kegamangan di hati Rissa. Entah ia harus senang atau sedih, tetapi rasa cemas lebih mendominasi hatinya saat ini. Perempuan mana yang tak senang jika akan dikenalkan pada keluarga suaminya. Tatapi masalahnya adalah, pernikahan yang sangat mendadak, bahkan tanpa dihadiri oleh keluarga dari sang suami. Masih tercetak dengan sangat jelas dalam ingatan Rissa,
kemarin saat Satya mengucap ijab qobul hanya membawa satu temannya bernama Ghaly, yang menjadi saksi dari pihak Satya dan juga yang membacakan khutbah nikah seusai akad.
Lalu bagaimana nanti ia harus bersikap di depan kedua mertuanya. Rissa, mendadak sangat cemas, takut jika terjadi penolakan dari ayah serta ibu Satya.
"Tadi sebelum subuh Mas sempat menelpon ayah serta ibu, dan sudah memberitahu perihal pernikahan kita." Satya masih meneruskan penjelasannya. "Oh iya, ayah dan ibu titip salam buat kamu" tambahnya lagi pada Rissa.
"Iya, waalaikumsalam. Apa kita akan kesana pagi ini juga Mas?" pertanyaan yang tak perlu ditanyakan lagi sebenarnya. Satya sudah menjelaskan jika mereka akan langsung ke rumah kedua orangtua Satya pagi ini juga. Namun sinyal kecemasan semakin menguat di hati gadis itu. Bagaimana nanti ia harus bersikap di depan kedua orangtua Satya. Apakah nanti mereka bisa menerimanya sebagai menantu. Pelbagai pertanyaan berputar di otak Rissa.
"Kamu siap-siap ya, sebentar lagi kita berangkat."
"Iya Mas."
___
"
Kalian jadi pergi pagi ini?" bu Rumi menatap wajah Rissa dengan raut sendu. Setelah mencurahkan kasih sayang serta cintanya, kini perempuan paruh baya itu harus rela melepas anak gadis satu-satunya untuk tinggal bersama suaminya.
Rissa yang paham akan raut sedih sang ibu, beringsut mendekat. Dipeluknya erat serta lama tubuh bu Rumi. Secercah rasa tak siap untuk meninggalkan rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan akan masanya bertumbuh sampai kini dewasa. "Ibu jangan sedih ya, Rissa pasti akan sering kesini," ucapnya mencoba tegar. Padahal dalam hati pun hatinya menangis, seperti teriris.
"Nak Satya, Ibu titip jaga Rissa ya. Tolong buatlah dia tersenyum selalu, permintaan Ibu cuma satu, bahagiakan Rissa." bu Rumi berucap sambil kedua matanya memandang lekat ke arah Satya.
"Insha Allah, Pak, Bu. Saya akan berusaha membahagiakan Rissa semampu Saya." janji yang sudah dua kali Satya ikrarkan setelah sebelumnya ia berjanji pada almarhum Adam.
___
Sepanjang perjalanan menuju rumah kedua orangtua Satya, Rissa memilih lebih banyak diam. Bohong sekali jika dia mengatakan tak ada kecemasan maupun ketakutan yang melanda hatinya. Sibuk merangkai kata serta kalimat yang akan ia ucapkan jika nanti bertemu dengan ibu serta ayah mertuanya.
Ekor mata Satya melirik sang istri. Rissa tak sadar rupanya jika sedari tadi Satya diam-diam memerhatikan. "Kamu kenapa Rissa?" ucap Satya karena Rissa hanya bergeming, tak mengeluarkan sepatah katapun sejak mereka memasuki mobil.
"Tidak apa Mas, apakah masih lama sampainya Mas?" Satya menggeleng pelan mendengar tanya Rissa. Gadis itu tak tahu jika dalam hati Satya pun tengah diliputi rasa cemas yang teramat. Cemas bagaimana nanti reaksi kedua orangtuanya. Juga cemas akan satu nama yang mungkin akan menjadi pihak paling tersakiti atas pilihannya menikahi Rissa.
Kirana. Gadis yang hampir empat tahun menjalin hubungan dengan Satya. Demi dia Satya rela menunggu sampai Kirana lulus serta wisuda. Kini Satya merasa penantiannya terbuang sia-sia. Bagaimana nanti ia harus menjelaskan serta memberi pengertian pada Kirana. Yaa Allah. Rahasia apa yang sudah Kau siapkan untuk para hambamu.
"Kita sudah sampai Rissa." saat menjawab tanya Rissa, mobil yang membawa mereka memasuki sebuah kompleks perumahan. Mata Rissa memonitor sekitaran kompleks. Ternyata orangtua Satya tinggak di kompleks yang bisa dibilang elite dan mewah. Banyak rumah-rumah besar dan bergaya arsitektur eropa berdiri di sana.
Asyik mengamati sekitar, Rissa sampai tak sadar jika mobil telah berhenti. Genderang dalam hatinya tanpa dikomando menabuh dengan sangat kencang. Keringat dingin juga seketika menjalari sampai kakinya. Berusaha setenang mungkin. Rissa berkali-kali pura-pura membetulkan letak jilbabnya. Ya Rabbi, aku berlindung kepadamu dari rasa ketakutan dan kecemasan. Rapal Rissa dalam hati sebelum Satya mengamit tangannya untuk memasuki rumah.
"Assalamualaikum.." ucap keduanya saat menginjakkan kaki di ruang tamu. Mata Rissa juga reflek mengawasi pemandangan yang tersugu. Rumah yang begitu besar jika dibandingkan rumah bapak serta ibunya yang tidal ada apa-apanya.
"Waalaikumsalam," jawaban dengan nada lembut dari seorang perempuan paruh baya. Mungkin seumuran ibunya. pikir Rissa. Senyuman juga langsung menyambutnya dan Satya.
"Ibu." hanya kata itu yang terlontar dari mulut Satya.
"Ini pasti yang namanya Rissa ya?" Rissa gugup saat ibu Satya mendekatinya. Diambilnya tangan ibu Satya untuk ia kecup. "Iya Bu, saya Rissa."
"Masuk Nak, Ibu dan Ayah sudah menunggu kalian." titah ibu Satya mempersilakan keduanya.
Rissa masih belum banyak menyimpulkan tentang orangtua Satya. Tetapi satu hal yang sedikit membuat hati gadis itu lega, ibu Satya menyambutnya dengan hangat.
"Ayah tidak percaya kamu benar-benar melakukan ini Satya. Sejak kapan Ayah mengajarimu untuk jadi pecundang!? Dimana hati nuranimu, apa kamu tidak memikirkan perasaan Kirana sama sekali!?"
Begitu memasuki ruang tengah. Rissa dikejutkan dengan pernyataan mengagetkan dari lelaki paruh baya, sepertinya ayah Satya. Kata-katanya tegas, agak menyesakkan hati. Sedikit kaget, karena Rissa sudah membentengi hatinya jikalau kedua orangtua Satya tidak sepenuh hati menerima kehadirannya. Setegar-tegarnya seorang Rissa. Tetap saja dia manusia biasa. Napasnya tercekat, sesak menggelayut mengisi ruang hatinya saat ini. Bukan karena perkataan ayah Satya yang terkesan tak menerima dia. Tetapi satu nama yang telah disebutkan oleh ayah mertuanya.
Kirana!?
Siapakah dia? Oh, Allah. kenapa rasanya sesak sekali mendengar nama perempuan lain disandingkan dengan suaminya. Kenapa mas Satya tidak jujur saja waktu itu. Andaikan dia jujur dan mengatakan jika sudah mempunyai calon istri. Tidak akan pernah Rissa mau dan menerima Satya. Hati Rissa kembali mengangah. Rasa takut itu terasa mencekam, seakan mengulang dimana ia kehilangan Adam. Kini seperti itu juga yang ia rasakan.
######