Bab. 7

1406 Words
Keduanya terlalu larut dalam kebersamaan. Meresapi nyaman yang mengaliri rongga d**a, menembus jantung, dan sampai terbawa ke hati. Satya masih enggan mengurai dekapannya, begitu juga dengan Rissa, gadis itu masih tak rela melepas jarak, meski hanya beberapa centi. "Mas," ucap Rissa diantara suasana hening. Satya menunduk, menatap wajah sang istri. Masih ada sisa airmata disana, dan tangan Satya mengusapnya lembut. "Kenapa?" tanyanya masih dengan pandangan teduh. Rissa mendadak kelu. Otaknya serasa mengalami amnesia, lupa akan hal yang ingin ia ucapkan tadi. "Ada apa Rissa? katakanlah," sambung Satya. Indera lelaki itu menelanjangi Rissa, seolah berbalik menyiratkan tanya akan kata-kata yang menggantung dari bibir Rissa. "Tidak jadi Mas." alih-alih menjawab tanya Satya, gadis itu malah menunduk, urung mengutarakan pelbagai tanya yang menyesak di dalam otaknya. Jemari Satya menjetik ujung dagu Rissa, seketika gadis itu mengangkat wajah serta kedua matanya bersirobok dengan manik suaminya. "Apa yang kamu katakan tadi? kenapa tidak jadi?" tanya Satya balik, merasa penasaran. Suasana seperti ini yang Rissa benci. Saat dirinya luruh, jatuh ke dalam pesona seorang Satya, menjadikannya seketika layaknya orang bodoh, hilang akal, dan hanya bisa bergeming disertai rasa gugup. "Tidak ada Mas, aku hanya ingin bertanya apa Mas Satya sudah lapar atau belum." alibi lagi yang keluar dari bibir gadis itu. Padahal ini adalah suasana yang tepat untuk membahas tentang perasaan. Ah, membicarakan tentang hal itu seketika Rissa sadar diri. Ini terlalu cepat untuk menyimpulkan sebuah rasa Rissa. Biarkah semua mengalir begitu saja, tenang, dan mengikuti arus. gumamnya dalam hati. Ekor mata Satya menelisik jam yang melingkari tangannya. Ah, hampir saja terlupakan jika mereka memang belum sempat sarapan. Dan saat ini waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Cukup lama ternyata mereka menghabiskan pagi ini, dari saat datang hingga perdebatan yang tiba-tiba, dan diselingi dengan permintaan maaf Rissa, serta berakhir dengan pelukan Satya pada gadis itu. "Maaf ya Mas, gara-gara Rissa sarapan kita jadi tertunda," sesal Rissa menambahi. Satya menggeleng rasa lapar itu mungkin enyah, lenyap, serta menguap begitu saja saat tadi pagi mendengar kata perpisahan dari Rissa. Namun setelah keadaan saat ini membaik pun, anehnya lelaki itu juga tak merasa lapar, rasanya hormon amfetamin dalam tubuh Satya bereaksi, mungkin karena kebersamannya dengan Rissa dan efeknya kini menimbulkan euforia di hati lelaki itu. "Mas belum lapar, apa kamu sudah lapar?" ujar Satya berbalik tanya. Dan sama halnya dengan dirinya, Rissa juga menggeleng pelan. Aneh sekali batin Rissa, lapar itu sama sekali tak menyambangi cacing-cacing di perutnya. Mungkin apa yang dia rasakan sama dengan Satya. "Yasudah, kamu siap-siap ya, sudah masuk adzan, kita duhur dulu." titah Satya saat kendang telinganya menangkap seruan adzan duhur dari masjid yang tak jauh. Rissa kembali mengangguk patuh, gadis itu beringsut menuju kamar mandi. Lima belas menit, Rissa keluar dari kamar mandi, di dekat tempat tidur sudah tergelar dua sajadah dan juga sebuah mukena. Di atas tempat tidur juga tergelatak tas besar yang merupakan kepunyaan Rissa. Mingkin saat Rissa sedang ke kamar mandi, Satya bergegas turun dan membawa tas istrinya ke kamar. Khidmad serta khusu keduanya menunaikan duhur bersama. Allah, Rissa pikir ini adalah siang yang paling indah, berselimut cuaca yang cerah, dan berharap setelah ini hari-harinya akan dipenuhi berkah. "Mas, Aku mau bantu Ibu menyiapkan makan siang dulu ya," gadis itu berpamit setelah ritual doa usai jamaah. Satya malah menggeleng, membiaskan tanda tanya dalam benak Rissa. Allah, apakah akan ada penolakan lagi dari lelaki itu. pikir Rissa berprasangka. "Kenapa Mas?" Satya bangkit dari duduknya, mengambil sesuatu yang tergeletak di atas meja dekat tempat tidur. Ekor mata Rissa mengikuti langkah suaminya. "Kamu siap-siap ya, kita makan siangnya ditunda dulu sebentar, Mas lupa kalau siang ini ada acara walimatul arusy sahabat baik Mas," terang Satya menjelaskan dengan sebuah undangan berada di tangannya. Seulas senyum tipis muncul dari wajah Rissa. Merasa senang sekaligus bahagia karena Satya akan mengajaknya pergi, siang ini, ke acara sahabat baiknya. Tetapi belum sedetik senyum itu menguap, hilang tak berbrkas, bergantian gurat cemas. "Kenapa Rissa?" tegur Satya saat matanya memonitor sang istri yang masih memaku di tempat. Kirana. Iya, kini nama itu yang mengitari benak Rissa, menyesakkan beribu pertanyaan, kenapa Satya tidak mengajak Kirana tetapi malah dia. "Mas, apa tidak sebaiknya Kamu pergi dengan.." "Kirana sedang diluar kota Rissa, sudah dua hari ini," sahut Satya cepat, saat paham arah pembicaraan Rissa. Oh, keluar kota. gumam gadis itu pelan. Sebersit nyeri menyeruak, terlalu hiperbola sampai lupa akan posisinya, dan mungkin jika saat ini Kirana ada di sini, pasti bukan dia yang akan Satya ajak, melainkan Kirana. Pikir Rissa. "Mas, apa Aku pantas mendampingi Kamu?" tanya yang berusaha Rissa tahan tapi akhirnya meluncur juga dari bibirnya. Satya yang masih mengenakan sarung dan baju kokoh lengkap dengan pecinya berjalan mendekat pada Rissa. Tangan lelaki itu menangkup kedua pipi Rissa, "Mas tidak pernah mencarimu, dan Kamu juga tidak pernah mencari Mas, tetapi Allah yang telah mempertemukan kita." kata-kata yang sederhana, lugas, namun penuh makna dan disertai kelembutan. Ya Rabbi, perempuan mana yang bisa menolak pesonanya. Meskipun baru mengenal hitungan hari, tetapi sikap Satya sangat menghargainya sebagai seorang istri. "Yang pantas menilai seseorang itu hanya Allah, bukan sesama manusia," tukasnya lagi menambahi. Selain sikapnya yang penuh kelembutan, juga keshalihan Satya memberi nilai tersendiri bagi lelaki itu di mata Rissa. "Bersiaplah Rissa, berdandanlah untuk Mas, dan jangan nampakkan gurat sedih sedikitpun di wajah cantikmu, Mas ingin melihat senyummu, Kamu lebih cantik saat tersenyum daripada saat menangis." kata-kata Satya reflek memunculkan sengatan yang tak biasa bagi gadis itu. Tanpa dikomando semburat merah membias dari wajah Rissa saat mendengar pujian Satya padanya. Allah, bolehkah aku merasa bahagia atas pujian itu!? batin Rissa. "Terima kasih Mas, Aku akan siap-siap. Mas Satya mau Aku siapkan bajunya juga?" Satya mengangguk diiringi sunggingan senyum. ____ Berpamit pada ayah dan ibu Satya. Keduanya melengang pergi ke acara walimatul arusy teman dekat Satya. Sebuah masjid di kawasan Surabaya kota menjadi tempat acara ijab berlangsung. Riuh suasana menyelimuti saat Satya menggandeng tangan gadis itu memasuki aula masjid. "Mas, memangnya yang nikahan siapa?" tanya Rissa penasaran. "Ghaly. Masih ingat kan? yang kemarin menjadi saksi di acara ijab qobul kita?" "Iya Mas, Rissa ingat." mana mungkin Rissa bisa melupakan peristiwa sakral yang dilalui kemarin itu. Meski acaranya tidak semeriah saat ini, dan hanya ada beberapa orang saja yang hadir, termasuk teman dekat Satya yang menjadi saksi di pernikahan mereka kala itu. Dan kini gantian Satya yang menjadi saksi di acara pernikahan Ghaly, sahabatnya. Saat sudah berada dalam ruangan, indera penglihatan Rissa dibuat takjub dengan dekorasi ruangan, sederhana namun memancarkan kesan istimewa. Bunga krisan serta anggrek warna-warni menjadi hiasan hidup, serta tepat di atasnya sebuah papan dari sterefoam didesain dengan ukiran nama kedua mempelai. Ghaly Abdullah Zaid & Safira Illyana. bibir Rissa berucap membaca nama kedua pengantin. Otak Rissa menjelajah dimensi angannya. Membayangkan seandainya dia dan Satya yang tengah berada dalam situasi ini. Kedua pipinya mencetak lengkungan senyum saat angan itu melintas. Ah, bolehkah ia berharap lebih pada suratan takdir yang mempertemukannya dengan Satya. Menjadikan setitik rindu dalam hati atas nama lelaki itu, bersujud atas pertemuan ini, mencoba menyelami asa yang bernama cinta, serta mendedangkan nama Satya sebagai sandaran hati. Atas takdir yang Kuasa kini tersulam ikatan antara dia dan Satya. Akankah nanti lelaki itu menjadikan Rissa satu-satunya permata di dalam hidupnya. Ah, terlalu berat angan dan pikiran Rissa saat ini, mungkin. pikir gadis itu lagi. "Mas Satya, ya ampun ngga nyangkah kita ketemu di sini." angan Rissa buyar seketika saat mendengar suara yang penuh ekspresif dari seorang gadis. Tetapi yang membuat telinganya berdengung adalah, sapaan gadis itu pada Satya yang terkesan sangat akrab. "Assalamualaikum, Dita." tukas Satya membalas sapaan gadis itu dengan ucapan salam. Dalam hati Rissa mencetak kata 'Oh, jadi namanya Dita.' entah kenapa ada sebersit ketidak sukaan saat ada gadis lain mendekati Satya. Ah, mana mungkin ini cemburu. Tidak!? ingkar Rissa. "Kenalin Dita, ini Rissa isteri Saya." "Yaah, Mas jadi benar ya mas Satya ini udah nikah? Udah sold out dong? kirain bang Ghaly cuma becanda kemarin waktu ceritra jadi saksi dinikahan mas Satya." cerocosan yang lumayan panjang dari gadis bernama Dita itu. "Rissa, kenalin ini namanya Dita, sepupunya Ghaly," ucap Satya ganti mengenalkan Dita pada Rissa. Rissa mengulurkan tangan disertai senyuman pada Dita. Menghela napas lega, saat Satya dengan lantang mengenalkan dia sebagai isterinya pada Dita. Ah, entalah tidak tahu pasti, kenapa hati Rissa berbunga tiap kali Satya menyebutnya isteri. ########## bersambung.... Kasih kritik dan saran dong buat kisahnya Satya Rissa. Kurang apa sih? Membosankan tidak? Feelnya gimana menurut kalian? Kog Saya rasa kurang peminatnya. Apa karena...? Ah, sudahlah. ??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD