Bab 8. Beban Anak di Luar Nikah

877 Words
Pagi-pagi sekali, usai menjalankan salat malam, aku duduk di meja makan menikmati kopi buatan Nurma sembari menunggu Subuh datang. Aku hanya tidur sebentar saja semalam. Entahlah, semalam usai mendengar Kinan berbicara dengan Sri di telepon aku tak bisa berpikir dengan jernih. Gadis itu tak mau menyusahkanku padahal aku sama sekali tak keberatan. Dia adalah tanggung jawabku walau sebenarnya tidak begitu menurut agama. Namun, siapa yang tega membiarkan buah hati kita menderita? Mendengar pembicaraan singkat mereka, sedikit banyak aku bisa menyimpulkan apa yang dimaksud Kinan dengan ‘tempat itu’. Tempat tinggal mereka yang katanya selalu ramai tiap malam dan penuh dengan bau alkohol. Tempat seperti itu adalah sebuah lokalisasi. Jika aku tak salah, memang di tempat itulah kehidupan malam di Kalimantan selalu hidup. Namun, aku tak mau buru-buru mengambil kesimpulan. Ada baiknya aku tabayyun kepada Kinan dan menanyakannya dengan jelas. Tak lama, kudengar langkah kaki Nurma dari lorong rumah. Wanita itu tampak tergesa-gesa mengusap pipinya dan mengulas senyum dengan terpaksa. Dia baru saja pulang dari tukang sayur yang ada di ujung gang. Kebiasaannya berbelanja memang sepagi ini demi menyiapkan sarapan untukku dan anak-anak sebelum kami berangkat. Aku bangkit, lalu mendekatinya. Wanita itu, menunduk dan menganyam jarinya pada ujung jilbab. “Ada apa, Nur?” tanyaku. Dia menggeleng lemah. Nurma mencoba menutupi wajahnya dan menoleh membelakangiku. “Ndak apa-apa, Mas.” “Nur.” Aku membalik tubuhnya dan mencoba bertanya lagi apa yang terjadi. Saat itu, Nurma tak lagi bisa menahan emosinya. Dia menangis dan menempel pada dadaku demi menumpahkan semua yang Nurma rasakan. Tak lama, suaranya bergetar menceritakan apa yang terjadi di tempat tukang sayur barusan. “Aku nampar Bu Imel, Mas. Dia sudah keterlaluan. Dia bilang sopir memang suka tebar benih di mana-mana. Aku ndak terima karena Bu Imel bilang Mas Pram lelaki yang ndak bertanggung jawab. Aku kesal, Mas.” Aku terdiam mendengar pengaduan istriku. Aku tak tahu harus berkata apa. Sebab, aku merasa itu memanglah benar. Walau tidak semuanya. Para tetangga tahu Nurma pulang ke rumah Anas beberapa hari lalu dan mulai menebar gosip yang tidak-tidak mengenai rumah tangga kami. Walau aku akui, sejak kedatangan Kinan kami memang tidak baik-baik saja. Selalu saja ada masalah yang datang menghampiri. “Ssstts, sudah-sudah. Jangan nangis lagi. Nanti kalau anak-anak dengar ndak enak, Nur. Sudah, hapus air matanya. Jangan dengarkan apa kata mereka. Kita fokus sama keluarga kita saja, ya,” kataku. Nurma mengangguk. Ia buru-buru mengusap air matanya dan bersikap biasa saja. Aku mengusap bahunya lalu membantu wanitaku membetulkan jilbab yang ia kenakan. “Biar aja mereka ngomong apa. Aku ndak masalah, Nur. Yang penting kamu sama anak-anak ada di sini sama aku. Semuanya sudah cukup,” kataku. Nurma mengangguk lemah. Dia mengulas senyum kecil dan buru-buru membuka belanjaannya. Dia bilang akan segera memasak untuk pagi ini. Namun, tak lama Azan Subuh berkumandang. Aku bersiap untuk salat jemaah di masjid dan Nurma membangunkan anak-anak seperti biasa. Pada masjid di mana aku biasa menjalankan salat jemaah, tak ada Bapak-Bapak usil yang bertanya mengenai Kinan. Aku tahu, para pria jauh lebih bisa menahan diri soal gosip yang beredar. Namun, saat aku hendak keluar, Ustaz Hamid menghampiriku. Pria itu mengajakku mengobrol seraya berjalan pulang. “Aku ndak akan tanya soal siapa gadis itu, Pram. Aku ndak ada hak. Tapi, aku salut sama semua yang sudah kamu lakukan. Semoga Allah selalu kasih kesehatan sama kamu dan Nurma untuk menjaga amanah yang diberikan. Antar ke masjid, nanti biar tak ajarin ngaji kalau kamu ndak sempat.” MasyaAllah, di tengah banyaknya orang yang membenci, Ustaz Hamid ternyata memberi perhatian lebih kepada Kinan. Tentu saja, aku menyambut dengan tangan terbuka tawaran itu. “InsyaAllah, nanti sore Kinan akan datang ke masjid, Taz. Matur nuwun,” kataku. Kami lantas berpisah setelah itu. Pagi ini, kami semua bersiap untuk berangkat. Kulihat Kinan tampak biasa saja walau aku yakin semalam ia menangis ketika menelepon Sri. Aku mencoba membuka suara ketika kamu berkumpul di meja makan saat itu. “Kinan betah ndak di sini?” tanyaku. Gadis itu mendongak, usai mengulas senyum dia menyahut. “Betah, Pak.” “Kalau betah, ndak usah telepon Mama untuk minta dijemput, ya. Kinan harus tinggal sama bapak. Bapak akan sekolahkan Kinan sampai kuliah,” kataku. Saat itu, Kinan menunduk dalam. Nasi di sendok tak jadi dia angsurkan dalam mulut. Dia mematung dan hampir meneteskan air mata, ketika aku dengan tegas mengusap lembut punggung tangannya. “Jangan nangis di depan rezeki. Pamali, Sayang,” kataku. Kata-kata Nurma yang kujiplak dan memang ada benarnya. Kita harus bersyukur di depan makanan, bukan menangis. Namun, gadis itu malah terisak. Nurma buru-buru memeluk gadis itu dan mencoba menenangkannya. Nurma memintaku untuk berhenti membicarakan hal itu saat ini. Mungkin benar, ini juga beban bagi Kinan sendiri. Pagi itu, kuantar Kinan ke sekolah sebelum berangkat bekerja. Sementara Nurma mengantar Bagas karena Anas tak datang seperti biasa. Usai mencium tanganku takzim, Kinan turun dan masuk ke kelas. Gadis itu mengulas senyum dan melambai ke arahku yang langsung melajukan truk ke arah kediaman Pak Mul dan Karto. Namun, baru sampai perempatan, aku melihat ponsel milik Kinan tertinggal. Jadi, aku memilih memutar arah untuk memberikan benda itu kepada Kinan. Usai memarkir truk aku berjalan masuk ke halaman sekolah. Namun, belum juga aku mengayun kaki terlalu jauh, aku menghentikan langkah dan melihat hal yang tak pernah kupikirkan selama ini. Ya Allah, Kinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD