“Kinan.”
Gadis itu menoleh ketika aku memanggilnya. Dua gadis yang sejak tadi merangkulnya buru-buru menjauh. Lalu, berlari meninggalkan anak gadisku yang sudah ketakutan. Belum juga selesai masalah satu, saat ini kudapati Kinan mendapatkan perlakuan tak baik di sekolah. Apakah gadis itu benar-benar tak bisa melawan?
“Bapak.”
“Kenapa ndak melawan? Kamu diapain tadi sama mereka?” tanyaku yang sudah geram.
“Kinan enggak berani, Pak.”
Aku membuang napas kasar. Ya Allah, kenapa jadi begini? Jika aku tak melihatnya, Kinan pasti juga tak akan pernah mengakui. Di sekitar rumah saja ia diam ketika dibully. Di sekolah pasti juga sama. Aah … anak ini. Mengapa dia tak setangguh Sri? Aku lantas berjongkok dan mengusap bahu gadis itu pelan, mencoba memberi pengertian untuk Kinan yang mungkin merasakan hal berbeda ketika tinggal di sini dan di Kalimantan bersama Mamanya.
“Kinan, kalau ada yang salah dan menurut Kinan ndak benar, bilang. Jangan diam saja. Mereka akan terus begitu kalau kamu ndak lawan. Sekarang ikut bapak. Kita ngomong sama guru kelas kamu mengenai perbuatan mereka,” kataku.
Kinan manut. Kugandeng gadis itu menuju ke ruang guru. Hanya ada beberapa pengajar yang ada di sana, dan kami disambut oleh seorang guru piket yang sudah datang lebih dulu.
“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“Iya, Pak. Saya mau mengadukan apa yang terjadi sama anak saya. Kinan dibully. Dia terus dipojokan dan ketakutan. Bagaimana peran pihak sekolah? Apa saya harus mengatasi ini sendiri?” tanyaku sedikit kesal.
Aku mencoba menekan emosi karena jujur, aku paling benci hal yang demikian. Kinan, aku yakin sudah menderita ketika tinggal hanya dengan Sri. Lantas, di sini juga ia harus menderita? Aku tak akan segila itu membiarkannya.
“Kita bicarakan baik-baik, Pak,” kata guru piket hari itu.
Pria itu mengajakku duduk di ruang tamu sekolah. Sembari menunggu guru yang berwenang mengatasi hal ini. Kulirik Kinan yang hanya menunduk sejak tadi. Saat itu, aku mengusap punggung tangannya hingga dia mendongak menatapku.
“Mulai sekarang ceria semua yang Kinan rasakan. Apa pun yang terjadi pada Kinan. Cerita ke bapak atau Ibu, jangan dipendam sendiri. Paham?”
Kinan mengangguk. Gadis itu lantas mengusap sudut matanya yang mengembun. Aku membantunya dan meminta gadis itu mengatakan apa yang dia rasakan saat ini.
“Kinan enggak pernah merasakan kasih sayang Bapak sejak dulu. Beberapa bulan yang lalu, Kinan kabur dari rumah karena Kinan ngambek sama Mama. Mama enggak pernah cerita soal Bapak. Mama selalu marah kalau Kinan tanya soal Bapak. Mama juga selalu menangis setelah marahin Kinan. Seolah-olah, mengingat Bapak adalah rasa sakit yang tidak bisa Mama lupakan. Jadi, Kinan maksa Mama untuk antar Kinan ketemu Bapak. Kinan mau bilang semua ini ke Bapak. Kinan mau bilang kalau Mama sering nangis tiap kali ingat Bapak. Tapi setelah sampai di sini, Kinan enggak bisa mengatakan itu karena … Kinan enggak tau siapa yang salah, Pak,” jelas gadis itu panjang lebar.
Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Kinan. Ini sudah sangat lama. Hubunganku dan Sri sudah berakhir sangat lama. Namun, apa benar jika semuanya masih membekas di hati Sri sampai sekarang. Kesalahanku yang tidak aku sadari, dan adanya Kinan yang bahkan aku tidak tahu dia pernah ada,
Ya Allah, sesayang ini Engkau hingga memberiku peringatan demikian keras. Dosa itu memang harus kutebus dan ini adalah saat yang tepat. Aku akan membuat semuanya lebih baik. Untuk Kinan dan Sri, jika bisa.
Tak lama, guru yang berwenang datang. Kujelaskan apa yang terjadi pada Kinan tadi. Aku minta sikap pihak sekolah atas semua yang terjadi pada anakku tadi. Akhirnya, dua gadis yang tadi membully Kinan datang.
Mereka berdua menunduk saat memasuki ruangan. Guru meminta mereka duduk dan menjelaskan apa yang mereka lakukan tadi.
“Kami cuma ngomong apa adanya, kok, Pak. Kemarin aku lihat kartu keluarganya Kinan. Hanya ada nama Mamanya aja, ndak ada nama Bapaknya. Biasanya yang begitu itu ndak punya Bapak, kan,” kata gadis berkuncir dua.
Aku mengepalkan tinju. Walau sedikit kesal, tetapi aku harus menahan diri. Dia hanya anak kecil yang pasti akan mengatakan apa yang ia lihat saja.
“Aku bapaknya Kinan. Sekarang tolong kalian jangan bicara begitu lagi soal Kinan. Kinan juga anak biasa seperti kalian. Punya Mama dan Bapak. Jadi, tolong jangan dibully,” kataku dengan penekanan di bagian akhir kalimat.
“Iya, Om. Kami minta maaf. Seharusnya kami ndak begitu sama Kinan,” kata salah satunya.
Aku membuang napas lega ketika guru juga ikut memperingatkan. Mereka memang masih anak-anak. Namun, tak seharusnya berkata demikian dan merundung seseorang. Aku lantas pamit setelah itu. Kuminta Kinan belajar dengan tenang mulai sekarang.
“Ingat! Kalau ada apa-apa. Ngomong sama bapak atau guru kalau di sekolah. Jangan diam saja,” kataku.
Kinan mengangguk lemah. Aku lantas bangkit dari jongkok dan hendak beranjak untuk pulang ketika Kinan tiba-tiba menahan lenganku.
“Apa Bapak enggak bisa kembali sama Mama lagi?” tanyanya.