Bagas menangis ketika menghampiriku dan Nurma. Pria kecil yang mirip sekali denganku itu langsung memeluk sang ibu dan mengadukan apa yang terjadi kepadanya.
“Ada apa, Sayang?” tanya Nurma.
“Anak-anak sini ngejekin aku dan Mbak Kinan, Bu. Katanya Mbak Kinan anak haram. Kenapa Mbak Kinan dibilang haram, Bu?”
Aku tak menatap Nurma sejenak. Lantas bangkit usai wanita itu mengangguk lemah. Baiklah, kita membagi peran. Dia yang akan menjelaskan semuanya kepada Bagas dan aku yang memberi pengertian kepada Kinan. Walau terlihat dewasa, gadis itu pasti merasa sangat tertekan karena hal ini.
Ketika aku keluar, Kinan tampak duduk di kursi meja makan seorang diri. Gadis itu hanya diam dan memainkan sendok-sendok yang digantung di tengah meja dengan jarinya.
“Kinan.”
Gadis itu menoleh, lalu mengulas senyum. Aku mengambil duduk di sampingnya dengan perlahan karena sakit akibat pukulan Anas belum mereda.
“Kinan ndak apa-apa?” tanyaku.
“Enggak, Pak. Memangnya kenapa?”
Gadis itu balik bertanya. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal aku tahu, ini adalah satu konsekuensi yang harus dihadapi gadis itu karena lahir tidak dalam situasi yang seharusnya.
“Kamu boleh cerita apa saja sama bapak. Jangan dipendam sendiri. Soal anak-anak yang mengejekmu. Bapak akan–”
“Enggak perlu, Pak. Mereka, kan, ngomong sesuai kenyataan. Kinan memang anak … anak yang lahir bukan karena pernikahan,” kata gadis itu.
Hatiku makin sakit mendengar ucapan gadis itu. Aku menyesal Ya Allah. Berkali-kali aku meminta taubat karena dosa yang ternyata masih mengejar sampai sejauh ini. Kenikmatan sesaat yang kemudian berimbas pada gadis kecil bernama Kinanti yang dilahirkan oleh Sri. Dahulu, aku juga tak berpikir panjang ketika mendengar kabar bahwa Sri menikah dengan orang lain karena hamil denganku. Tidak terlintas sedikitpun mengenai hal itu karena aku pikir, Sri pasti sangat kecewa karena aku pergi tanpa kabar. Dan sekarang, anakkulah yang harus menanggung semuanya.
“Tolong jangan bilang begitu, Kinan. Bapak janji akan menebus semuanya. Bapak ndak akan membiarkanmu terus menderita. Beri Bapak kesempatan,” kataku.
Gadis itu tersenyum. Kemudian bangkit dari duduk. Kinan mengulas senyum dan hendak beranjak ke kamar setelah sebelumnya berucap.
“Bapak cukup jadi Bapak yang baik buat Bagas. Kinan baik-baik saja, Pak.”
Kinan lantas pergi ke kamarnya. Aku tak menyusul. Namun, tetap duduk di kursi meja makan demi memikirkan apa yang sudah kuperbuat selama ini. Setelah banyak yang terjadi, aku benar-benar tak habis pikir dengan keputusan Sri datang setelah 15 tahun lebih kami berpisah. Mengapa waktu itu dia tak langsung menyusulku untuk meminta pertanggung jawaban. Namun, itu sudah tidak penting lagi. Semua sudah terjadi dan aku bertanggung jawab untuk mendidik Kinan saat ini.
Tak lama, Nurma dan Bagas keluar. Mereka menghampiriku di meja makan dan ikut duduk di sana.
“Kinan gimana, Mas?” tanya Nurma.
“Dia ndak mau ngaku, Nur. Dia ndak mau membagi masalahnya sama aku.”
“Bagas dengar dan lihat sendiri, Pak. Anak-anak itu ngatain Mbak Kinan. Tadi, Mbak Kinan juga sempat bilang kalau Bagas ndak boleh ngomong sama Bapak sama Ibu,” kata Bagas.
Anak itu memang sudah bisa diandalkan untuk menjaga sang kakak. Namun, masih terlalu kecil untuk memahami dosa yang kulakukan di masa lalu. Nurma yang duduk di depanku mengusap punggung tanganku lembut, lalu mulai membuka suara.
“Aku udah jelasin sama Bagas. InsyaAllah dia paham apa yang terjadi dan berjanji untuk ikut menjaga Kinan. Iya, kan, Sayang?” ucap Nurma.
Pandanganku beralih pada pria kecil yang saat ini mengulas senyum.
“Iya, Pak. Bapak tenang saja.”
“Iya, bapak percaya sama kamu,” kataku.
Bagas tersenyum. Tak lama, dia pamit untuk tidur karena ini sudah larut malam. Aku dan Nurma juga beranjak ke kamar untuk beristirahat. Hari ini, terlalu banyak yang terjadi. Termasuk kepadaku dan Kinan. Ingin segera mengakhiri hari dengan tidur dan mengunjungi dunia mimpi. Namun, rasanya pikiran masih melayang pada hal lain di luar sana. Apakah Kinan benar-benar bisa sedewasa itu?
Sampai hampir tengah malam aku tak bisa memejamkan mata. Kulirik Nurma yang tampak lelap di sampingku. Wanita itu juga pasti kelelahan. Jadi, aku memilih bangkit dan berniat mengambil minum di dapur. Saat itu, aku tak berpikir apa pun selain untuk mengambil air demi melegakan tenggorokan. Nyatanya, perasaanku yang mulai tak tenang menginterupsi hati untuk beranjak menuju ke kamar Kinan.
Kuayun kaki perlahan demi meredam suara langkah. Aku tak mau mengganggu waktu istirahat Kinan atau pun Bagas yang memiliki kamar bersisihan. Saat sudah sangat dekat dengan pintu kamar Kinan, aku mendengar gadis itu bicara dengan berbisik. Sepertinya sedang melakukan panggilan telepon.
“Tapi Kinan terus ngerepotin keluarga Bapak di sini, Ma. Enggak apa-apa Kinan di sana tinggal di tempat itu. Asal keluarga di sini aman. Enggak apa-apa Kinan enggak bisa tidur setiap lama, yang penting Kinan enggak nyusahin Bapak. Kinan enggak masalah nyium bau alkohol tiap hari, asal enggak di sini. Mama jemput Kinan, ya.”
Aku mematung di depan pintu kamar gadis itu. Dengan gusar mengepalkan tinju. usai mendengar ucapan Kinan. Memangnya dia dan Sri tinggal di mana dengan keadaan yang demikian mengerikan?