Chapter 7

1140 Words
"Jangan asal bicara, Lo." "Nggak. Aku nggak asal bicara. Aku tahu kamu polisi dan kedatangan kamu ke sini, untuk menyelidiki kasus--" ucapan Cia terhenti karena Al langsung membungkam mulut Cia dengan telapak tangannya. Al langsung menarik Cia ke arah taman belakang sekolah. Hanya di sana mereka bisa berbicara dengan bebas tanpa gangguan siapapun. "Lepasin Al, tanganku sakit." Genggaman tangan Al pun terlepas. Ia lalu menatap Cia dengan tajam. "Lo ngikutin gue?" Tanya Al penuh penekanan. Cia yang masih mengusap pergelangan tangannya, langsung menatap Al, "Nggak kok." Sungutnya "Kalau Lo nggak ngikutin gue, dari mana lo tahu status gue?" Cia menatap Al dengan sangat lamat. Ia menghela nafas panjang dan melepaskannya secara perlahan, "Sebenarnya aku, tapi janji dulu kamu nggak akan marah?" "Bilang aja kenapa sih?" "Kemarin, aku ngikutin kamu." "Kan lo--" "Dengerin dulu sampai selesai." Al menyetujui. Ia seketika diam, namun tatapan tajamnya tak pernah terlepas dari Cia. "Kemarin aku ngikutin kamu pas pulang sekolah, tapi benar deh, tujuannya bukan buat nyari tahu siapa kamu. Tapi pengen tahu di mana rumah kamu. Ya mana aku tahu kalau kamu ke tempat kerja kamu yang sebenarnya." Cia menatap Al takut-takut. Tatapan tajam Al masih menghunus matanya. "Aku nggak bohong, Al. Itu jujur sejujur-jujurnya. Aku lihat kamu masuk ke sebuah rumah. Aku pikir itu rumah kamu. Pas aku mau masuk ke dalam, aku ditegur sama ibu-ibu penjual ketoprak atau apalah itu, aku lupa. Ibu itu negur aku. Dia yang bilang kalau rumah itu sebenarnya markas polisi." Al menatap mata coklat Cia. Ia memejamkan matanya lalu menghela napas berat. Dengan kesal ia mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia kecolongan. Gadis di hadapannya ini ternyata lebih berbahaya dari yang ia pikirkan. "Maafin aku. Aku nggak tahu kalau itu markas polisi." Al menatap Cia Lamat. Marah juga tak ada gunanya. Yang ia pikirkan sekarang adalah, ia berharap Cia tak membuka statusnya di depan umum. Cia tak bocor ke mana-mana. Al menyandarkan dirinya di dinding yang ada di samping Cia. Gadis itu menatap Al yang terlihat kalut. "Kamu tenang aja. Aku nggak bakalan bocor kok. Aku janji akan jaga rahasia." Tatapan mata Al setelahnya membuat Cia gugup setengah mati. Tatapan itu bukan tatapan marah, kesal ataupun benci. Tapi tatapan tenang dan hangat. "Gue seorang polisi yang menyamar di sekolah ini." Al menatap Cia yang juga sedang menatapnya. "Sepasang suami istri bercerita sama gue kalau mereka baru saja kehilangan putri satu-satunya yang mereka punya karena bunuh diri." "Aku bisa bantu. Siswi itu namanya Suci. Seperti yang aku ceritakan tadi. Aku bisa bantu kamu." Cia meyakinkan Al jika ia bisa membantu Al dalam mengungkap kasusnya. "Aku tahu siapa-siapa saja pelakunya." "Lo lihat?" Cia mengangguk. "Lalu kenapa Lo diam? Apa susah bantuin teman Lo yang di bully?" "Nggak semudah itu Al. Bahkan ketua disiplin siswa saja tak berani dengan mereka." "Walau sudah separah ini?" Tanya Al. Cia mengangguk. "Ini bukan kasus pertama kali di sini. Sebelum Suci, ada juga Aldo. Pelakunya masih sama dan sekolah kembali bungkam. Tapi, Aldo lebih beruntung dari Suci. Aldo punya sahabat yang berani mengabarkan orang tua Aldo jika Aldo mendapatkan pembullyan. Jadilah Aldo pindah sekolah. Tapi kemalangan bagi Suci. Tak ada yang berani membantu. Karena ada anggota baru yang memperkuat anak-anak sampah masyarakat tersebut." Al mengernyitkan dahinya, "Anggota baru?" Tanya Al. Cia mengangguk, "Siapa?" "Hesti." Al terdiam. Ia tak percaya sekaligus tak menyangka dengan nama yang Cia sebutkan. "Itulah alasannya kenapa aku bilang kalau Hesti itu tak sebaik dan Se lugu yang kamu lihat." "Walaupun begitu, ini tugas gue. Dan ini misi gue ke sini. Jadi mau nggak mau, gue harus selesaikan itu semua." "Kalau kasus ini selesai, kamu keluar?" "Ya iyalah, ngapain gue lama-lama di sini." Cia seketika cemberut, "Terus aku gimana?" Al terdiam seketika. Ia menatap Cia dengan tatapan horor. Sedikit merinding, Ia pun pergi berlalu meninggalkan Cia begitu saja. Bukan Cia namanya kalau harus diam melihat pangerannya pergi begitu saja. Dari pada berdiam diri juga, Cia pun memutuskan untuk kembali mengejar Al. Kebetulan mereka sekelas. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Al, termasuk umur Al sebenarnya. Karena dari segi wajah dan postur tubuh, Al masih sangat layak dianggap anak SMA. Bahkan SMP kelas tiga pun masih bisa saking imutnya. ***** Bel istirahat pun berbunyi. Al yang saat itu sedang menghabiskan waktunya di perpustakaan dengan ditemani tanpa minta oleh Cia, ia pun langsung menutup buku yang ia baca dan berdiri. "Mau ke mana?" Tanya Cia. "Kantin." "Aku ikut ya." Al berdecak, namun ia tak melarang. Pria itu melangkah lebih dulu disusul Cia yang mengekor di belakang Al sampai langkah mereka pun sejajar. "Pulang sekolah nanti, kamu ke mana?" "Buat apa Lo tanya-tanya." "Ih, Al kok gitu sih jawabnya. Aku nanyanya baik-baik." "Tapi tujuan Lo nanya begituan sama gue tu apa?" "Ikut." Jawab Cia singkat namun terdengar menakutkan bagi Al. Apalagi Cia mengatakan kata ikut tersebut sambil mendekatkan wajahnya pada Al. Al langsung mendorong kepala Cia dengan telunjuknya, "Jan ngadi-ngadi deh Lo. Gue masih banyak urusan." "Iya nggak apa-apa. Tapi aku ikut. Janji aku nggak bakalan ganggu. Setidaknya aku sudah bantu kamu hari ini." Al menatap Cia sinis, "Lo nyogok gue?" "Nggak. Sama sekali nggak." "Terus? Apa namanya tadi kalau bukan sogokan?" Cia menggeleng-gelengkan kepalanya menolak tuduhan Al padanya, "Bedain atuh, mana sogokan mana yang nolong." "Jadi berarti Lo nolong gue?" Cia mengangguk antusias, "Jadi nggak perlu dong gue balas?" Kali ini Cia menggeleng. "Bagus." Lanjut Al. Jawaban Al membuat Cia mengernyit seketika. "Ih, Al jangan gitu. Aku kan--" "Alvaro!" Langkah Cia dan Al terhenti saat mendengar teriakkan seseorang dari belakang. "Kamu mau makan? Kebetulan aku ke kantin juga. Yuk bareng!" Cia seketika mengumpat saat yang muncul ternyata Hesti. "Lo nggak bisa makan sendiri?" Tanya Cia kesal. Kenapa Hesti jadi mengincar Alvaro sekarang. Hesti tak mempedulikan pertanyaan Cia padanya. Ia langsung berlari ke samping Al dan menggandeng pria tersebut. Melihat itu, Cia langsung mendorong Hesti kuat. "Lo, kalau ke sini cuma untuk ganggu, mending cabut deh." "Siapa Lo berani nyuruh gue cabut." "Gue temannya Al." "Cih! Bukannya Lo sendiri yang bilang Al nggak mau berteman semenjak masuk ke sini." "Betul. Gue yang bilang. Karena teman Al cuma gue." Hesti seketika tertawa. Tawa yang terdengar menakutkan. "Bisa berpikir lebih realistis nggak neng. Minggir Lo!" Rangkulan tangan Hesti pada lengan Al langsung terlepas. "Ayok Al!" Cia mendorong punggung Al untuk masuk ke dalam kantin. Hesti yang melihat itu langsung mengumpat dengan kasar. Ia terlihat seperti gadis yang mempunyai dendam kesumat. Ia menatap Cia dari kejauhan dengan tatapan mengerikan. "Jangan pernah main-main sama gue Cia. Lo bakal terima ganjarannya kalau berani macam-macam sama gue." Ucap Hesti tajam sembari terus menatap Cia. Sementara di tempatnya, Cia sadar Hesti sedang melirik ke arahnya. Ia pun tahu apa yang akan terjadi dengannya setelah ini. Tapi tak masalah. Itu yang sebenarnya ia mau. Dengan ini, Al bisa menyelesaikan misinya dengan cepat. Walaupun sedikit takut, namun ia yakin, Al juga tak akan tega melihatnya dirundung oleh komplotan dari Hesti. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD