Chapter 6

1213 Words
Suasana tegang masih terasa di dalam kelas. Hesti masih betah menatap Cia dengan tatapan tajamnya, sementara Cia bersikap masa bodoh. Alvaro yang duduk ditengah-tengah kedua gadis itu hanya bisa menghela nafas. Entah deheman yang ke berapa yang Al keluarkan, yang jelas sedari tadi ia sudah memberi kode pada Hesti dan Cia untuk menyingkir dari hadapannya. Seolah mendapatkan bantuan dari Dewi Fortuna, guru yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas langsung membubarkan Hesti. Sebenarnya belum jam masuk juga. Jadi semua yang di kelas tak punya alasan kenapa guru olahraga itu masuk ke dalam kelas. "Kalian pagi ini sampai nanti jam sebelas, nggak ada kelas dulu. Buk Arin yang ngajar pagi ini masuk rumah sakit. Sudah waktunya dia melahirkan. Jadi untuk hari ini saja, kelas kalian kosong sampai jam sebelas. Sampai buk Arin pulih, mata pelajaran matematika ini akan digantikan oleh guru pengganti sementara." Al melirik siswa di kelas tersebut. Tak ada satupun yang berteriak. Mereka diam seperti kuburan. Tumben, biasanya kelas bakalan heboh kalau ada kabar begini. Batin Al. "Kalian paham?" "Paham pak." "Bagus. Saya harus ke lapangan lagi." Guru olahraga tersebut keluar dari kelas. Terdengar suara seseorang menghitung oleh Al, dan ternyata suara tersebut berasa dari ketua kelas. Hitungan tersebut terdengar hitungan mundur dari sepuluh. Dan setelah hitungan 'satu' selesai diucapkan, kelas yang tadinya sunyi senyap, langsung berubah seperti pasar ikan saat situasi pedagang ikan berteriak menjajakkan ikan mereka. Berisiknya bukan main. Bahkan Al sampai dibuat bingung. Tak tahan dengan suara ribut tersebut, Al langsung memutuskan untuk keluar dari kelas. Dan langkah Al terpantau oleh Cia. Cia pun ikut berdiri. Ia melangkah secara pelan mengikuti Al. Ternyata cowok itu masuk ke dalam perpustakaan. Cia masih mencoba mengikuti Al. Namun saat ia sampai di dalam perpustakaan, ia tak menemukan Al sama sekali. Setelah mengisi buku pengunjung, Cia langsung melangkah masuk ke dalam kelas. Tak banyak siswa yang ada di perpustakaan. Ia berjalan menuju rak rak buku dan mulai menelusuri satu per satu. "Cepat banget ngilangnya." Gumam Cia. Ia memasuki lorong rak satu persatu, sampai pada rak paling ujung, ia tiba-tiba merasakan tubuhnya ditarik seseorang. Cia merasakan punggungnya menghantam dinding dan mulutnya langsung disekap. Cia langsung membuka matanya dan mendapati Al ada di hadapannya. Jujur, Cia sangat ingin menghilang dari sana, namun tak bisa. Ia bukan manusia yang terlahir sebagai makhluk ajaib yang memiliki kekuatan supranatural. "Lo ngikutin gue? Mau apa Lo ngikutin gue?" Tanya Al dingin. Cia menjawab, namun jawabannya hanya terdengar bergumam karena Al masih menutup mulut Cia. Sadar, Al langsung menyingkirkan telapak tangannya. "Aku cari buku." Jawab Cia yang tentu saja tak ada yang akan percaya termasuk Al. Al menatap tajam gadis yang kini ada di depannya. Tatapan Bima membuat Cia langsung panas dingin. Ia tak bisa ditatap seperti itu. "Lo pikir gue bakalan percaya?" "O? Ha--harus. Soalnya di sini kan perpustakaan. Jadi--" "Sssstt, gue tanya sekali lagi, apa tujuan Lo ngikutin gue." Desak Al. Cia meneguk salivanya kesusahan. Ia mencari alasan yang bisa ia sebutkan, namun entah kenapa otaknya ini mendadak buntu. Ia akhirnya menghela nafas. Dengan yakin, ia menatap mata Al, "Benar. Aku ngikutin kamu. Nggak boleh emangnya?" "Nggak." Jawab Al cepat. "Kenapa? Kamu punyak hak apa larang aku? Badan badan aku, kaki kaki aku, mata mata aku. Apa hak kamu larang-larang." Al memejamkan matanya kesal, "Tapi Lo udah ngusik ketenangan gue." Cia mencibir. Ia tak peduli. Tujuannya ke sini memang ingin mengikuti Al. Terusik atau tidak itu bukan urusannya. Al mendengus kesal. Ia lalu beranjak dari Cia. Berjalan menjauhi gadis tersebut. "Hei, Kau mau ke mana??" Cia berlari kecil. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tak mengeluarkan suara apapun yang akan membuatnya ditegur. "Kau mau ke mana?" Tanya Cia lagi. saat langkahnya sudah sampai di hadapan Al. Ia menengadah menatap Al, "Boleh aku ikut?" "Mau apa Lo?" "Nggak mau apa-apa. Cuma mau kenalan sama Al aja." "Itu Lo kenal." "Ck! Bisa bedakan tahu dengan kenal nggak sih?" "Gue sibuk." Al berjalan meninggalkan Cia. Otak Cia langsung mengingat markas polisi yang ia datangi dulu. "Kamu mau tahu nggak kasus besar yang terjadi di sekolah ini." Al yang tadi sedang berjalan langsung menghentikan langkahnya. Membuat Cia yang ada di belakang Al langsung bersorak senang. Sepertinya ia punya satu senjata untuk mendekati Al. Batinnya. Al memutar tubuhnya ke belakang. Ia menatap Cia dengan seksama. "Bukan urusan gue." Senyum Cia seketika lenyap saat respon Al seperti itu. Al kembali melangkah meninggalkan Cia. "Ta--tapi, ini hal yang fatal." "Berisik!" "Al, aku serius. Kalau kamu mau tenang di sini, sebaiknya kamu tahu tentang kasus ini." Cia terus berlari menyamai langkahnya dengan Al. Mereka sudah keluar dari perpustakaan. Al menghentikan langkahnya seketika. Ia menatap Cia yang sudah berdiri di depannya. Tatapan Al sangat dalam pada Cia. Jujur, tak munafik sebenarnya, inilah tujuan Al ke sini, tapi ia tahu siasat Cia. Entah apa maksud Cia memancingnya dengan hal ini, apa Cia tahu penyamarannya. "Hubungannya sama gue apa?" "Banyak. Apalagi Hesti yang berusaha deketin kamu. Hesti itu nggak sebaik yang kamu kira. Kamu hanya lihat dia senyum-senyum dan bersikap lembut sama kamu, padahal aslinya bikin merinding." "Kenapa? Dia aslinya kuntilanak?" "Ha.? Ih, Al gaje banget sih. Kok larinya ke kuntilanak." "Kalau aslinya bukan kuntilanak, apanya yang bikin merinding." Ucap Al kesal. "Ya bukan Kunti juga yang harus dibawa - bawa, kasihan Kunti nya." Al berdecak,"Terus, nggak baiknya di mana? Merindingnya di mana?" Cia nampak berpikir. Tak mungkin ia mengatakan jika Hesti dalang dari pembullyan yang membuat Suci mati bunuh diri. "Hhmm pokoknya gitu deh. Dia nggak baik. Jangan dekat-dekat pokoknya." Al tersenyum miring. Ia melangkah pelan namun membuat Cia mundur. "Sampai sekarang, gue nggak tahu apa tujuan Lo ngikutin gue." Al terus maju. "Jika untuk hati-hati, gue bisa lebih hati-hati dari yang Lo pikir. Jadi," Cia tersudut. Ia melirik ke sekeliling, tak ada orang di sekitar mereka dan lagi, kenapa ia bisa masuk ke lorong yang mengarahkannya ke taman belakang. "Al, ini--" "Menyingkir dari kehidupan gue." Gertak Al. Pria itu kembali mundur membuat Cia bernafas lega. Al kembali melangkah, namun untuk kesekian kalinya, Cia lagi-lagi menahan langkah Al membuat Al langsung muak dan kesal. "Mau Lo apa sih sebenarnya?" "Namanya Suci. Anak IPA 3 kelas 3." "Ha?" "Suci mati bunuh diri karena mengalami pembullyan oleh adik kelasnya yang duduk di bangku kelas dua." Al mendadak diam. Ia menatap Cia yang bercerita. "Hampir setahun ini Suci alami perundungan karena seorang cowok yang sayang sama dia. Setelah Suci mati, cowok tersebut memutuskan untuk keluar dari sekolah." Cia menatap Al yang juga sedang menatapnya, ia berdehem sekali, lalu kembali melanjutkan ceritanya "Pihak sekolah menutupi kasus ini karena para pelaku adalah anak orang kaya yang menjadi penyumbang dana terbesar di sekolah ini. Jadi bisa dikatakan, anak-anak tak tahu diri itu, mereka memanfaatkan jabatan dan kekayaan orang tua mereka. " "Hubungannya dengan cowok itu apa?" Tanya Al terhipnotis. Cia langsung bersorak dalam hatinya. "Salah satu dari anak penguasa itu menyukai cowok itu. Tapi si cowok sukanya sama Suci. Karena itu, Suci dibully habis-habisan. Bahkan orang tua Suci sampai mereka bawa-bawa dan ancam, walaupun ancamnya lewat suci." Al mengangguk paham. Al bahkan tak sadar jika saat ini Cia sedang menjebaknya. Cia berhenti bercerita membuat Al tersadar. Ia langsung berdehem. "Sudah? Ya udah gue cabut." Ucap Al. Namun baru juga dua langkah Al menjauhi Cia, langkahnya kembali terhenti dan kali ini malah jauh lebih membuat Al syok. "Kenapa, polisi seperti kamu bisa ada di sini?" Booomm!!! *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD