Chapter 8

1369 Words
PLAAK! Cia menyentuh pipi kanannya yang terasa panas akibat tamparan dari Hesti. Ia menyibak rambut yang menutupi pandangannya, lalu Menatap Hesti dengan tatapan tajam. "Apa-apaan lo! Nyeret gue ke sini terus nampar gue?" bentak Cia sambil terus mengusap pipinya. "Sakit? Itu pantas buat Lo!" balas Hesti sembari melipat tangan di d**a. "Ini ganjaran buat cewek kegatelan kayak lo." "b******k!" Cia menatap ke sekeliling. Tak ada yang namanya manusia. Yang ada hanya kursi dan meja yang sudah rusak. Ya, saat ini ia berada di gudang belakang sekolah. "Gue tahu lo naksir sama Al. tapi Lo tau kan, kalau Al itu calon gue. dan gue yakin, lo nggak bakalan lupa peraturan yang ada di geng penguasa sekolah ini. Tapi kalau Lo lupa, baiklah, gue bakal ingatin Lo lagi. pertama, dilarang mendekati pria yang disukai oleh cewek yang ada di geng gue." Hesti menatap Cia dengan tatapan meremehkan. Ia lalu berjalan selangkah mendekati Cia dan mendekatkan wajahnya pada telinga Cia, "Tapi, baru peraturan nomor satu yang gue sebut, lo udah langgar dengan sangat beraninya. jadi buat apa gue sebutin peraturan kedua ketiga keempat dan seterusnya kalau di satu aja lu udah melanggar." Hesti menjauhkan tubuhnya, ia kembali berkacak pinggang, "Dan ini peringatan pertama buat lo. kalau nanti lo tetap deketin Al, nggak ada peringatan kedua lagi. Suci yang kedua akan hadir kembali, Lo ingat kata-kata gue!." Hesti tersenyum menakutkan. Namun senyuman yang Gadis itu keluarkan terlihat begitu menjijikkan di mata Cia. Hesti mulai berbalik badan dan melangkah meninggalkan Cia sendirian di dalam gudang. "Tunggu!" langkah Hesti terhenti saat mendengar intruksi dari Cia. Gadis itu lalu memutar tubuhnya ke belakang dan menatap Cia berjalan ke arahnya. "Mungkin lo salah, kalau lo pikir gue bakalan diam saat ada yang nyakitin gue. Gue nggak pernah menerima tamparan seumur hidup gua dan baru lo yang bikin gue bisa rasain sakitnya sebuah tamparan itu, jadi," PLAAK! Cia langsung menampar Hesti balik bahkan lebih keras dari tamparan Hesti padanya. Hesti yang syok tak bisa berkata-kata. Ia menatap tajam Cia. Takut? Tidak. Cia bukan gadis penakut seperti yang ada dalam anggapan Hesti. ia tak akan menyerah. Tak semua orang bisa Hesti tindas. "Gue nggak mau ngerasain sakitnya ditampar itu sendirian. bye". Cia tersenyum sinis lalu melangkah berlalu meninggalkan Hesti yang masih syok di tempatnya. Setelah mendapatkan tamparan dari Hesti, tujuan utama Cia sekarang adalah perpustakaan. Ia tahu Al ada di sana saat ini. Bersusah payah Cia menyembunyikan wajahnya agar tak terlihat oleh yang lain. Sampai ia pun masuk ke dalam pustaka dan menemukan Al yang sedang duduk lesehan di lantai yang ada di sudut rak buku paling belakang. "Al." Al yang sedang fokus langsung mendongak ke atas. Ia menatap Cia dan langsung melotot kaget. "Bibir Lo kenapa?" Tanya Al yang langsung berdiri. Ia mendekatkan jaraknya pada Cia. Meringis saat jemarinya menyentuh darah yang ada di sudut bibir gadis tersebut. "Siapa yang lakuin ini sama Lo?" Tanya Al lagi. Namun bukannya menjawab, Cia justru sibuk memperbaiki detak jantungnya akibat ulah perlakuan Al padanya barusan. "Woi! Ditanyain malah bengong. Bibir Lo kenapa?" "Biasalah. Dihajar Hesti." Jawab Cia jujur. Ia ingin sedikit memberi jarak padanya dan Al, namun Al justru menariknya duduk di tempat ia duduk tadi. Al mengambil jaketnya yang ia letakkan di lantai lalu mengeluarkan tisu dari saku jaket. "Tahan sedikit." Ucap Al. Jujur, Cia tak tahu lagi harus bagaimana ia menyelamatkan jantungnya. Apa ia butuh dokter jantung setelah ini?. "Al, udah. Aku baik kok. Ini cuma--" "Baik apanya. Lo berdarah gini. Kalau baik itu nggak begini. Diam aja kenapa sih." Cia pun akhirnya diam. Ia memilih menatap wajah Al yang terlihat serius menghapus luka darah di bibirnya. Sesekali Al meringis dan meminta maaf saat Cia ikut meringis. "Sudah." Al memberikan bekas tisu tersebut pada Cia. "Lain kali, Lo hubungi gue. Percuma Lo minta nomor gue kalau ujung-ujungnya buat Lo bawa tidur aja di ponsel Lo." Ucap Al kesal. Ia duduk di sebelah Cia. Cia tersenyum, "Makasi ya." Ucap Cia sembari tersenyum manis. Al hanya bergumam menjawabnya. Al masih menatap Cia. Melihat Cia seperti tadi langsung membuatnya mengingat sang Adik. Alya pernah terluka seperti ini, walaupun cara mendapatkan lukanya sangat berbeda, tapi tetap saja ia langsung khawatir. "Kenapa Hesti nampar Lo?" Tanya Al. "Katanya sih ya, karena aku ngambil gebetan dia." Al mengernyitkan dahinya bingung, "Gebetan dia? Lo mau jadi pelakor?" "Ck! Peka dikit kenapa sih? Kan gebetan Hesti itu kamu." "WHAT?" Al langsung menutup mulutnya spontan saat sadar mereka sedang di perpustakaan. "Apaan. Kagak. Enak aja Lo nyablak begitu." "Bukannya nyablak Al, dia sendiri yang bilang begitu. Lagian ni ya, kayaknya ini bakalan jadi kesempatan bagus deh buat kamu selesaikan kasus pembullyan tersebut." Al terdiam. Ia menatap Cia, "Caranya? Gue nggak punya bukti." "Gini, saat ini Hesti lagi marah-marahnya sama aku. Aku bisa jadiin diri aku umpan untuk manggil semuanya." "Gak lah. Gila Lo. Ini tugas gue, nggak ada hubungannya sama Lo." "Ih ada lah. Aku kan pacarnya kamu." Al tersedak, ia batuk-batuk kecil. "Sejak kapan? Jangan asal ny--" "Bukan asal nyablak. Tapi memang iya. Selama di sini, kamu pacar aku. Jadi bantuin pacar itu boleh dong. Demi selesainya misi kamu." Al menatap Cia horor. Tak terbayang olehnya, ia akan menjadi kekasih Cia. Bahkan dalam benaknya saat ini tak ada pacar-pacaran. Apalagi ia hanya menganggap Cia sebagai adik, sama seperti Alya. Al mendekatkan wajahnya pada Cia, "Bangun neng." Ucap Al lalu menepuk kening Cia dengan telapak tangannya. Al kembali fokus pada buku yang tadi ia baca. Cia berdecak kesal, "Pokoknya gini, kalau aku telpon, kamu harus angkat dan rekam suaranya. Geng Hesti itu bukan geng kaleng-kaleng." "Gue nggak minta Lo buat bantu gue. Jangan sampai karena kerjaan gue, Lo jadi kenapa-napa." "Cieeee, perhatian ni ye." "Kagak. Jangan pede. Gue cuma nggak mau hutang Budi." "Hutang cinta boleh Nggak?" Al mendengus, "Nggak jelas." Cia tersenyum. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Tak lama setelahnya, ponsel Al tiba-tiba berdering. Pria itu langsung mengambil ponselnya dan dalam sekejap mata, ponsel tersebut langsung berpindah tangan pada Cia. "Eh, itu ponsel gue. Balikin!" "Sssst. Ini perpus. Bisa diusir kalau ribut. Udah diem aja deh. Yang nelpon barusan itu aku. Jadi nggak usah ngarep dapat panggilan dari yang lain." "Ya udah sini-in. Ponsel gue mau Lo apain?" "Ih! Diem dulu." Cia mengotak-atik ponsel Al. Tak terlalu lama sampai Cia mengembalikan lagi pada Al. Al melirik layar ponselnya. Cayangku Cia. Itulah kata yang tertulis di sana untuk menamai kontak Cia. Baru Al ingin menghapusnya Cia langsung melirik kesal, "Jangan dihapus. Setidaknya sampai misi kamu selesai deh." Pinta Cia memohon. Entah dapat rasukan dari mana, Al menurut begitu saja. Ia kembali menyimpan ponselnya dan menatap Cia, "Lo punya mental apa sih?" Tanya Al. Cia menatap bingung ,"Maksudnya?" "Lo tahu kan gue polisi. Gue juga lagi nyari keburukan sekolah Lo, tapi kenapa Lo terima gitu aja?" "Hmmm, tahu kalimat ini nggak? Jika suatu tempat dipergunakan untuk menyimpan dan menyembunyikan sesuatu hal yang buruk, pasti tak akan ada kenyamanan di sana." "Lo kutip dari mana?" Cia langsung menatap Al kesal. Ia tak percaya dengan Al yang tak kunjung peka. Terbuat darimana sih hati Al? Kenapa nggak peka juga. "Kamu ini manusia apa robot sih? Kok nggak peka banget jadi cowok." Al paham. Paham pake banget malahan. Hanya saja ia tak ingin terlihat kalah debat dengan Cia, jadilah ia berpura-pura tak tahu. "Aku tu mau bantu kamu. Aku justru berterima kasih kalau kamu mau hapus semua kejahatan di sekolah ini. Kamu tahu? Sekolah ini jadi nggak nyaman kalau ada bully bully begitu. Jadi paham kan? Susah banget sih peka nya." Kesal Cia. Al menatap Cia. Untuk kali ini, ia akui Cia terlihat menggemaskan. Tapi untuk bantuan dari Cia, sebaiknya ia menolak. Ia tak mau melibatkan orang lain dibalik kerjaan dia yang cukup berbahaya ini. Sedangkan ini, Cia sudah merasakan sudut bibir yang pecah. Apalagi nanti. "Al," "Hm?" "Kamu umurnya berapa sih?" Al menatap Cia, "Buat apa Lo nanya umur gue?" "Ck! Nanya doang kok sewot sih." "Bukan sewot, tapi untungnya buat Lo itu nggak ada." "Ada lah." "Apaan?" "Aku jadi tahu umur pacar aku." "Ck! Berapa kali sih gue bilang, kalau gue itu bukan--" "Selama di sini doang ih. Kalau kasusnya selesai juga kita nggak bakalan ketemu." Cia tertunduk lesu. Namun hanya sebentar karena ia langsung menatap Al kembali, "setelah kasus ini selesai, kita masih bisa ketemu nggak?" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD