Al melempar tas sekolahnya ke atas sofa ruang TV di rumahnya. Ia lalu melenggang menuju dapur tanpa perlu menyapa Alya yang saat itu sedang nonton di ruang TV tersebut.
Gadis itu kebingungan melihat abangnya yang pulang-pulang tak ada semangat.
"Apa ada masalah hari ini?" Tanya Alya yang mendadak peka.
Alvaro melihat adiknya. Ia lalu berjalan mendekati Alya dan duduk di samping adiknya tersebut.
"Sedikit." Jawabnya.
"Masalah apa? Kasusnya belum terbongkar juga?" Al menggeleng.
"Bukan soal kasus. Tapi soal seorang gadis yang mau melukai dirinya sendiri untuk kasus ini."
Alya seketika bingung. "Maksud Abang?"
"Abang ketahuan lagi nyamar."
"WHAT? KOK BISA?"
"Salah satu gadis di kelas Abang, ngikutin Abang pulang ke markas."
Alya dibuat takjub, "Hebat. Belum juga seminggu udah ketahuan."gumam Alya. "Terus? Kelanjutannya gimana? Dia ngadu ke yang lain nggak?"
Alvaro menggeleng, "Dia justru ingin ikut bantuin Abang."
"Bagus dong. Kerjaan Abang jadi makin cepat."
"Bagus dari mananya?"
"Ya kan kerjaan Abang jadi sedikit ringan. Cepat selesai cepat juga Abang keluar dari sekolah itu."
"Dengan ngorbanin orang?"
"Itu bukan ngorbanin Abang. Bukannya dia yang mau sendiri?"
"Tapi kan jatuhnya sama saja Alya. Ini kasus Abang, masa libatkan orang?"
Alya menghela nafas panjang, "Abang, minta bantuan itu hal biasa. Kalau nggak begitu, ngga ada polisi yang bisa tahu di suatu tempat ada penyelundupan n*****a, kalau nggak ada laporan dari warga. Dan nggak mungkin juga atau sangat jarang terjadi jika ada polisi nangkap maling, kalau malingnya nggak dihajar dulu sama warga karena ketahuan. Itu hal biasa Abang. Toh Abang nggak mungkin biarin dia mati kan? Kalau dia bilang mau bantu, berarti dia sudah tahu resikonya apa."
Alvaro menatap Adiknya. Yang Alya katakan ada benarnya juga. Kenapa mendadak ia merasa bodoh seperti ini. Semuanya hanya main logika, tapi kenapa ia sebodoh ini.
"Ya udah kalau gitu. Abang ke kamar dulu."
Alya mengangguk, "Nih buat abang. Biar makin segar." Alya menyodorkan segelas besar minuman segar rasa jeruk yang tadi ia buat sendiri.
"Buat kamu?"
"Dapur luas banget Abang. Dan dekat juga dari Alya. Tinggal bikin lagi, selesai."
Al tersenyum, "Makasi ya."
"Sama-sama. Semangat Abang."
Al langsung berjalan menuju kamarnya. Ia meletakkan minuman yang tadi Alya berikan padanya di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur.
*****
Sementara di tempat lain, Cia baru sampai di rumahnya. Langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seorang wanita modis duduk di ruang tamu rumahnya.
Ia menatap wanita tersebut dengan wajah tak bersahabat. Ini bukan kali pertamanya ia melihat wanita itu. Jika ia hitung, sudah lebih dari enam kali wanita ini ke rumahnya.
Tapi seperti biasanya, Cia sama sekali tak mempedulikannya. Ia memilih untuk berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai satu rumahnya.
"Cia! Kenapa nyelonong masuk begitu. Salaman dulu sama Tante Ineke." Tegur Sean papanya Cia.
Cia menatap papanya, "Cia capek pa. Cia mau ke kamar dulu. Ngantuk juga."
"Cia!"
"Mas. Sudah jangan dipaksa. Nanti Cia bakalan mau sama aku kok."
Cia tersenyum sinis dengan sembunyi, "Pandai-pandailah bermimpi." Ucap Cia cukup keras.
Sean ingin memukul anaknya tersebut namun langsung dihalangi oleh Ineke. Entah tujuan Ineke tulus atau tidak, yang jelas, Cia tak suka sama sekali.
Cia melenggang masuk menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Kejadian diluar tadi ia tak mau ambil pusing sama sekali. Justru sekarang otaknya lebih memilih untuk mengingat Alvaro. Seorang polisi yang menyamar sebagai siswa SMA dan itu cocok untuk wajah Al. Diumur yang menginjak dua puluh tujuh tahun, Al sangat sangat terlihat muda. Bahkan jika pria itu ingin menyamar sebagai anak SMP kelas tiga, Al masih bisa melakukannya.
Cia meraih ponselnya. Ia melihat wallpaper ponselnya yang kini menampilkan wajah Al yang sedang tertidur pulas. Ia mengambil ini saat mereka di perpustakaan. Pria itu tertidur dan nampak sangat lelah.
Cia mengusap foto tersebut. Sembari tersipu malu, Cia pun mengecupnya.
"Ganteng banget sih anak orang. Pasti orang tua kamu cantik dan tampan juga." Ucap Cia sembari terus mengusap wajah Al di ponselnya.
"Apa setelah misi mu di sekolah selesai, kamu bakalan pergi? Kita nggak ketemu lagi?"
"Jangan sampai ya Al. Kita harus terus sama-sama." Cia kembali ingin mengecup foto Al namun terhenti karena suara notifikasi masuk di ponselnya.
Ia langsung melihatnya. Cia tak mengenal nomor tersebut. Namun ia tetap membukanya. Kening Cia berkerut saat ia membaca dengan jelas beberapa kata yang ada di layar ponselnya.
Jauhi Alvaro, atau Lo akan berakhir seperti Suci, bahkan bisa lebih parah dari itu.
Cia berdecak kesal. Ia tak suka diancam seperti ini. Dan tak perlu juga dengan nomor baru. Ia bahkan bisa menebak siapa yang mengiriminya pesan.
Dengan senyum sinis, Cia mulai mengetik pesan balasan.
"Kenapa? Lo takut? Makanya, percantik wajah Lo. Biar Al mau ngelirik Lo. Hesti Hesti, beraninya ngancem." Cia membaca ulang pesannya dan langsung mengirim saat kata-katanya dirasa sudah pas.
Pesan tersebut terbaca, namun tak ada jawaban. Hal itu membuat Cia tertawa. Ia tahu apa yang akan menantinya besok di sekolah, tapi ia tak peduli sama sekali. Seorang Sean tak akan membiarkan putri kecilnya ini tersakiti.
Cia mencari kontak Al. Beruntung, Al sedang Online.
Halo Mas polisi tampan. (Send)
Cia menunggu Al membacanya. Ia yakin Al akan cepat membuka pesannya, secara pria tersebut sedang online. Namun lima menit setelah menunggu, Al tetap tak membaca pesan yang ia kirim. Lepas dari lima menit, sepuluh menit pun berlalu. Cia yang kesal langsung mengirim pesan kembali.
Hai ganteng. Sibuk amat sih. Sampai pesan aku dicuekin. (Send)
Cia kembali menunggu. Namun detik setelahnya, Cia dibuat mencelos. Pasalnya Al langsung offline tanpa membaca pesan darinya. Tanpa pikir panjang, Cia langsung menekan tombol panggilan.
Panggilan pertama tak diangkat. Cia tak mau menyerah. Ia terus menghubungi Al bahkan sampai panggilan ke empat, Al tetap tak mau mengangkatnya.
"Ih, Al apa-apaan sih! Kan aku nelpon." Kesal Cia. Ia kembali mencoba menghubungi Al namun tetap tak ada jawaban. Bukan Cia namanya kalau sampai menyerah begitu saja.
Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskanya secara perlahan. Sebelum mencoba peruntungannya kali ini, ia membaca doa terlebih dahulu.
"Semoga diangkat kali ini."
Cia menekan tombol panggil kembali yang langsung menghubungkannya pada Alvaro. Panggilan kali ini tetap seperti tadi, tak dijawab sama sekali. kembali Cia merapalkan doa dan mencoba menghubungi Al lagi.
"Ha--"
"Siapa sih ni? Ganggu orang tidur aja. Bang Al lagi mandi."
Cia menjauhkan telinganya dari gagang ponsel.
"Suara cewek? Lo siapa? Kenapa ponsel Al ada sama Lo?"
Suasana hati Cia mendadak kesal.
Dasar cabe-cabean, Gumam Cia seketika.
******