Hari Patah Hati.

906 Words
Cinta itu tidak bisa dipaksakan bukan? Jika dipaksakan, tidak akan pernah bisa bersatu. Yang ada hanya keributan dan keributan. Bukan kerinduan. Seorang Gadis berusia lebih muda dariku mencoba menyatakan perasaannya padaku. Jelas saja aku menolak cintanya, karena hati ini sudah terisi penuh oleh Desi~si Gadis berwajah bulat bermata belo. Aku pun tidak bisa membalas perasaan Nuri, dia terlalu muda untukku. Usianya denganku beda empat tahun. Dia masih sekolah di sekolah dasar sedangkan aku sekolah menengah pertama. Masa iya aku berpacaran dengan anak SD? Bisa-bisa aku dibully sama teman-teman dan juga diomelin orangtuaku. "Kalau enggak suka sama Nuri, bilang dong, Mas Aziz. Jangan main buang suratku ke selokan. Sama aja Mas Aziz jijik dapat surat dari aku." Kucoba mencerna apa yang dikatakan Nuri. Tahu darimana kalau suratnya aku buang? Apa Desi melihat kalau surat itu sengaja kubuang? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku saat ini. "Surat yang mana, Nur?" tanyaku berpura-pura tidak tahu. Dia masih terisak di hadapanku. Airmatanya mengalir. Ada perasaan tidak tega juga pada Gadis tomboi itu. Berasa aku yang jahat karena membuatnya menangis. Sebenarnya, Nuri itu gadis yang manis. Perawakannya tidak tinggi dan tidak pendek. Untuk seumuran dia, itu tinggi yang normal. Di bagian sisi bibirnya maju ke depan, ada tahi lalat menempel di sana. Membuat wajahnya semakin manis. Matanya tampak sipit seperti keturunan cina. Deretan giginya cantik, tetapi sayang gigi-giginya terlalu maju sehingga dia dijuluki Gadis Bimoli; Bibir monyong lima senti. "Kamu itu enggak tahu atau pura-pura enggak tahu, Mas Aziz?" tanyanya dan masih terisak. "Surat yang aku titip ke Mbak Desi tadi pagi," timpalnya kemudian. "Surat yang ini." Nuri menyerahkan sepucuk surat cinta yang tadi pagi aku buang. "Kamu dapet dari siapa surat itu, Nur? Dari Mbak Desi bukan?" Dia menggeleng pelan. "Lalu, dapat dari mana?" "Gak penting dapat suratnya dari siapa. Yang aku pengin denger saat ini adalah jawaban dari Mas Aziz, iya atau tidak?" Anak ingusan ini masih terus meminta jawaban dariku soal perasaanku sama dia. Aku harus jawab apa? Tidak mungkin jika aku mengiakannya, sedangkan di hati ini sudah tersimpan satu nama. "Mas Aziz .... Jawab dong! Jangan diem aja!" Nuri berkata dengan suara lantang. Aku masih terdiam sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang melewati jalanan sekitar masjid. Namun, dari kejauhan aku melihat perempuan yang kusukai sedang berjalan beriringan dengan ibunya. Aku sempat tersenyum simpul ketika melihatnya kerepotan membawa barang belanjaan di tangan kanannya. Ingin sekali aku datang mendekati Desi lalu menawarkan diri membantunya, andai saja tidak ada Nuri di sampingku. "Mas Aziz suka sama Mbak Desi, ya?" tanya Nuri. Seketika itu, aku tersadar dan langsung melihat ke arah Nuri. "Jangan sotoy, deh! Siapa juga yang suka sama Desi." Aku mencoba mengelak agar Nuri tidak curiga. Nuri terlihat mengembuskan napasnya. Anak ini terlihat seperti anak dewasa. Kelakuannya berbanding jauh dengan usianya saat ini. "Apa sih yang menarik dari Mbak Desi? Setiap cowok yang Nuri suka, selalu aja suka sama Mbak Desi," lirihnya. "Emangnya siapa aja yang nolak kamu, Nur?" tanyaku. "Dimas, Mas Cahyo, Rudi, Tegar dan Ucok," jawabnya lirih. "Serius? Terus, sama Desi diterima enggak?" Nuri mendelik tajam. Matanya mengisyaratkan seperti hendak menerkamku. "Ih, sebel deh Nuri. Udahlah Mas Aziz pacaran aja sana sama Mbak Desi! Lama-lama kesel Nuri sama Mbak Desi. Lagi-lagi Mbak Desi yang disuka sama gebetan Nuri." Anak ingusan itu menggerutu. "Loh? Kan aku cuma nanya, Nur." "Udah ah, Nuri lagi sebel! Nuri enggak mau main lagi sama Mbak Desi!" Dih, ini anak emosinya labil terus. "Tuh, orangnya datang ke sini. deketin sana! Nuri mau pulang aja. Bye!" ujarnya ketus. Benar saja ketika Desi datang mendekat ke arah masjid, Nuri dengan cepat berjalan meninggalkan aku yang masih duduk. Tak lama kemudian, Desi pun sudah berada di hadapanku. "Itu Nuri kenapa, Ziz? Kayak yang marah sama aku?" tanya Desi. "Lagi diapet kali," jawabku sekenanya. "Dih, ngaco! Mana mungkin dia diapet. Dia kan sehat-sehat aja." Aku hampir keselek mendengar penuturan Desi. Dia kira aku bilang diare, padahal kan itu perumpamaan saat perempuan sedang menstruasi. "Kamu semalam ke mana? Kenapa enggak ikut main?" tanyaku. Mencoba untuk membuyarkan pembahasan soal Nuri. "Aku belajar. Besok ada ujian di sekolah," jawabnya. "Sampai larut malam?" "Enggak. Aku udah tidur jam sembilan juga." "Oh, gitu? Tapi kan, kenapa lampu kamar kamu masih menyala? Aku kira kamu masih belajar." Desi tertawa. "Aku lupa matikan lampu. Soalnya, aku ketiduran pas lagi belajar," katanya. Gadis cantik itu berbicara sambil menggoyangkan kakinya hingga keduanya terayun pelan. Rasanya hari ini tidak ingin waktu cepat berlalu. Mengobrol berdua dengannya pun bisa mengobati rasa rindu ini. Setidaknya sudah terobati karena semalam tidak berjumpa dengannya. "Tumben kamu nanyain itu? Ada apa, nih?" tanyanya dan yang bikin aku salah tingkah, Desi berbicara sambil melihat ke arahku. Kalian tahu kan gimana rasanya menahan luapan bahagia saat ditatap orang yang disuka? Ya, seperti itulah yang aku rasakan. Campur aduk. "Ya, kali aja kamu enggak biasa tidur kalau lampu kamar mati." "Enggak juga, sih. Aku udah biasa dimatiin lampunya. Cuma ya itu tadi, aku ketiduran." Desi pun bangkit dari duduknya. Kemudian tangannya menarik tanganku. Dia mengajakku bermain polisi-polisian dan yang menjadi pencurinya adalah aku. "Kita main polisi-polisian yuk?! Aku jadi polisinya, kamu jadi pencurinya." "Tapi, cuma berdua enggak asyik loh, Des." "Enggak apa-apa. Daripada aku pulang ke rumah. Aku lagi mau main, nih." "Ya, udah ayo! Kamu siap, ya ngejar aku?" "Oke. Akan aku kejar kamu sampai dapat!" Desi terkekeh-kekeh sebelum dia lari mengejarku. Hari ini benar-benar hari yang indah buatku. Bermain bersama dengannya, dan kuharap Desi terus mengejarku hingga ia pun berkata, "Aku suka kamu, Aziz." [] []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD