Benar yang dikatakan pepatah orang jaman dulu. Tak kenal maka tak sayang. Setelah kenal, sayangnya datang. Itulah yang terjadi padaku. Awal mula melihat Gadis bermata belo, ingin rasanya aku mengenalnya.
Hingga hari ini pun, pandanganku tak luput darinya. Setiap gerak-geriknya, selalu berhasil membuat kedua mataku tidak dapat berpaling. Si Gadis lincah nan periang, itulah sifatnya. Ia tidak pernah membedakan usia dengan teman-temannya. Meski aku tahu, beberapa temannya itu terpaut usia yang cukup jauh dengannya. Ada yang masih kelas empat sekolah dasar, ada juga yang satu sekolah dengannya.
Ingin rasanya aku satu sekolahan dengan Desi, tetapi ayah sudah mendaftarkan aku ke sekolah favorit di kota ini. Katanya biar aku makin tambah pintar karena bersekolah di sekolah yang terbaik dan juga dikelilingi oleh teman-teman yang baik pula.
"Ibu perhatikan kamu kayak yang lagi kasmaran, ya?" sahut Ibu tiba-tiba. "Siapa ceweknya yang bisa buat kamu jatuh cinta?"
"Enggak ada kok, Bu. Cuma perasaan Ibu aja kali," dalihku.
"Mas Aziz bohong tuh, Bu. Mas Aziz sempat dapat surat cinta dari perempuan." Rizal adikku tiba-tiba menyahut.
"Apaan sih kamu, Zal. Sok tahu kamu," elakku.
"Mas Aziz enggak boleh bohong. Dosa loh, Mas."
"Ck! Dibilangin enggak percaya. Mana buktinya coba? Enggak punya kan kamu?" balasku sengit.
"Eh, udah-udah jangan pada ribut gitu. Lagian juga kalau kamu lagi suka sama perempuan, enggak apa-apa kok. Cuma pesan Ibu, kamu enggak boleh melewati batas. Harus bisa jaga batasan. Enggak boleh melakukan hal yang dilarang. Paham kamu, Ziz?"
"Iya, Bu ... Aziz paham, kok."
"Nah, gitu. Anak-anak Ibu adalah anak yang soleh. Harus bisa mematuhi apa yang Ibu sampaikan," ucap Ibu. Beliau membelai rambutku.
"Ngomong-ngomong, siapa sih perempuan yang kamu suka, Ziz? Boleh Ibu tahu kan? Siapa tahu Ibu juga sreg sama pilihan kamu, terus Ibu mau datang ke rumahnya buat melamar biar enggak diambil laki-laki lain."
Waduh! Kacau. Kalau sudah begini, aku tidak bisa berkata apa-apa sama Ibu. Kalau aku bilang perempuan itu adalah tetangga depan rumah, bisa-bisa geger satu komplek. Yang ada Desi marah sama aku dan menjadi bulan-bulanan teman-teman.
No! Untuk sementara aku rahasiakan dulu identitas Desi. Nanti kalau sudah waktunya, aku akan jujur sama Ibu. Itu pasti.
~~~~
Seperti biasanya, setiap habis melaksanakan ibadah salat Isya di Masjid Jami Al-Husna, kawan-kawan mengajakku bermain diluar. Masih di sekitar rumah. Cuma kalau sudah main, suka lupa waktu. Kadang kami bubar pas sudah mendekati waktu salat Subuh.
Permainan macam apa sampai pulangnya selarut itu? Kami cuma main petak umpet, lompat karet dan juga gobak sodor. Permainan yang menyenangkan saat itu. Kalian pun pasti masih mengingatnya. Bahkan, ada yang pernah memainkan permainan itu bukan?
Tetangga yang tinggal di sekitar komplek pun tidak pernah merasa keberatan apalagi terganggu dengan kebisingan kami. Malah katanya senang karena suasana malam yang ramai.
"Eh, bentar-bentar. Ini malam apa, ya?" tanya Ika, sebelum memulai permainan petak umpet.
"Malam Minggu lah, Ka. Emangnya kenapa?" jawab Nita dengan lantang.
"Oh, berarti aman. Aku kira malam Jumat," tukas Ika, lagi.
"Ya, kalau malam Jumat, kenapa? Takut gitu sama hantu? Ada juga hantu yang takut sama kita-kita. Benar kan teman-teman?" celetuk Nuri.
"Nah, iya, itu Nuri bener. Lah, ngapain takut ma Hantu. Kan kita ini rajin salat rajin ngaji juga. Enggak usah takut lah sama hantu," sambung Dewi.
"Hahahaha, kamu bener juga, Wi. Tumben kamu pinter ngomongnya," sindirku.
"Dih, dari lahir juga aku udah pinter, Mas Aziz."
Mendengar penuturan Dewi, serentak mereka semua tertawa. Aku beruntung bisa tinggal di tempat ini. Teman-temannya ramah semua. Saling dukung dan pastinya tidak ada bully membully.
~~~~
Sudah empat jam aku bermain bersama teman-teman. Sudah empat jam itu pula aku menunggu Gadis cantik yang sudah mencuri hatiku. Siapa lagi kalau bukan Desi. Namun, malam itu kata Dewi, Gadis cantikku tidak bisa ikut bermain. Ada tugas yang harus dia kerjakan. Tugas dari sekolah dan juga Desi harus menghafal pelajaran Sejarah, karena ada ulangan harian di sekolah. Meski ini malam Minggu, untuk urusan tugas sekolah, Desi selalu mengutamakan untuk belajar.
Tak terasa waktu pun mulai merangkak naik. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 12.00 dini hari. Aku dan teman-teman pun pulang ke rumah masing-masing. Namun, sebelum aku menutup pintu rumah, kulirik pintu rumah orangtua Desi. Mataku menatap ke arah jendela kamar utama.
Lampunya masih menyala. Itu tandanya Desi masih belajar. Atau mungkin memang Desi tidak pernah mematikan lampu ketika sedang tidur?
Kugaruk kepala yang tidak terasa gatal. Kenapa juga aku seperti orang bodoh? Baru kali ini aku jatuh cinta dan rasanya ada yang hilang saat yang disukai tidak nampak di pelupuk mata.
~~~~~
Keesokan harinya, aku terbangun lebih awal. Entah apa yang membuatku terbangun pagi hari. Seperti ada yang dirindukan, tetapi aku masih menyangkal itu.
Aku masih terlalu muda untuk hal percintaan. Namun, rasa di hati ini makin lama makin bertambah. Kalian pun pernah mengalaminya bukan? Bagaimana rasanya? Pasti tidak jauh beda dengan yang aku rasakan saat ini.
Sehari saja tidak bertemu dengan pujaan hati, rasanya ada yang kurang. Tidak ada semangat untuk beraktivitas. Yang ada hanya berdiam diri di kamar sambil menatap langit-langit kamarku.
"Hai, Ziz. Tumben kamu udah bangun," sapa Desi.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seseorang yang aku rindukan, sekarang hadir di hadapan mata. Seketika itu, aku merasa energiku bertambah. Makin bersemangat untuk beraktivitas.
"Iya, dong. Aku kan anak rajin. Pagi-pagi suka nyapu halaman rumah. Kamu aja yang enggak tahu," cebikku. Sengaja kulakukan karena aku sudah rindu omelannya.
"Dih, pede banget. Biasanya juga ayah kamu yang suka nyapuin halaman."
"Kamu sok tahu. Ayahku cuma lanjutin aja."
"Masa?" selidiknya.
"Eh, ini cewek enggak percayaan juga."
Kulihat Desi hanya mengulum senyumnya. Dia masih belum percaya apa yang aku katakan.
Kulihat pula tangannya merogoh saku celananya. Seperti sedang mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Benar saja, beberapa detik berlalu akhirnya aku melihat sepucuk kertas yang sudah dilipat rapih.
Tangannya meraih tanganku dan langsung menyerahkan kertas itu padaku.
"Ini surat cinta dari pengagum rahasia yang suka sama kamu," bisiknya. Seolah dia tahu kalau aku pasti menanyakan kertas ini.
"Siapa?" tanyaku berpura-pura tidak tahu siapa pengagum rahasia itu. Padahal aku tahu, dialah pengagum rahasianya.
"Baca aja suratnya. Nanti juga tahu," sambungnya lagi. "Eh, udah dulu, ya? Aku mau siap-siap berangkat ke pasar. Biasa nemenin Mama."
"Jangan lupa, bacanya dengan perasaan jatuh cinta, ya? Biar deg-deg set gitu deh."
Gadis cantik itu masih berbicara sebelum dirinya pergi dan memasuki rumah orangtuanya. Dia benar-benar tidak memberikan aku kesempatan untuk berbicara. Bahkan, untuk menanyakan surat ini saja, dia sudah meninggalkan aku yang masih mematung di depan gerbang rumah.
Kubuka perlahan kertas yang Desi kasih. Tertera dengan jelas nama pengirim pesan ini.
"Nuri?" Akhirnya, k****a nama pengirim pesan ini dengan suara sedikit lantang.
Tak memakan waktu lama, akhirnya k****a juga isi pesan itu.
Dear
Aziz.
Aku suka sama kamu. Maaf aku lantang menulis surat ini, tapi hatiku yang memaksanya menulis surat ini dan menitipkan pesan ini sama Mbak Desi.
Tolong balas suratku, ya. Biar aku tahu jawaban dari kamu, iya atau tidak.
Dari
Pengagum rahasiamu,
Nuri Maulida.
~~~~
Apa-apaan ini? Kenapa Nuri yang menulis surat ini? Padahal aku berharap, surat ini dari Desi. Mesti kuapakan suratnya? Apa aku buang aja? Ya, lebih baik kubuang saja. []