Om Imam

819 Words
Cinta bisa mendatangkan luka, tetapi cinta juga bisa mendatangkan kebahagiaan bagi orang yang sedang jatuh cinta. Seperti halnya denganku, aku jatuh cinta pada Desi sejak pandangan pertama. Entah kenapa waktu itu aku langsung tertarik padanya. Seperti ada magnet yang seakan menarikku untuk selalu memperhatikan dirinya. Usiaku waktu itu masih terbilang muda. Bahkan, untuk seumuranku itu, agak janggal kalau sudah memendam perasaan cinta yang begitu dalam untuk Desi. Jujur saja, di tahun 90-an, pikiran anak-anak jaman dulu masih suci, ya meski aku sadar ada perasaan aneh menggebu di dalam hati. Aku tak selebay anak jaman sekarang yang sudah pandai berpacaran dan berani berciuman. Jatuh cinta ala jaman dulu hanya bisa dipendam tanpa diucapkan apalagi mengajaknya sampai pacaran. Hari itu, tepatnya di tanggal tujuh belas Agustus tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan, di tempat tinggal ku selalu diadakan malam puncak kreasi anak-anak. Diawali dengan hiburan tarian anak-anak dan ditutup oleh acara hiburan bodoran. Kalian tahu bodoran? Itu tuh acara mirip stan komedi. Semacam itulah ya. Aku dan juga beberapa temanku pernah diajak untuk mengikuti acara tarian anak. Akan tetapi, aku menolaknya karena memang aku anak yang pemalu dan juga tidak jago dalam hal menari apa pun. Di saat bersamaan, kudengar Desi pun ikut serta dalam kegiatan itu. Dia bersama beberapa teman perempuannya berlatih menari di rumah Dewi. Kebetulan rumah Dewi selalu kosong karena orangtua Dewi dan kedua kakaknya sedang sibuk bekerja. Jadi, setiap hari selalu dipakai untuk latihan menari. Sebenarnya aku mendukungnya menari, hanya saja aku tidak suka kalau dia dekat dengan Om Imam. Apalagi Om Imam selalu sering memperhatikan Desi dengan tatapan mata yang kuanggap sebagai sainganku. Ya, aku cemburu untuk yang pertama kalinya. Cemburu pada seorang laki-laki yang usianya jauh dari usiaku dan juga Desi. Sampai pada akhirnya, di malam Desi dan teman-temannya tampil. Mereka tampil luar biasa cantiknya. Mengenakan pakaian yang sudah ditentukan dan juga dandanan yang super duper mencolok. Ditambah lagi, Om Imam selalu saja mendekati bidadariku. "Desi cantik, ya, Ziz?" katanya saat itu. Kala itu aku hanya bisa tersenyum simpul dengan hati dongkol. "Sayang, dia masih SMP. Coba aja kalau udah kuliah, Om pacarin deh tuh anak." Om Imam tertawa renyah. Itu membuatku sakit. Lebih tepatnya dongkol sampai ke ubun-ubun. "Pacarin aja, Om. Bentar lagi mau lulus ini, kok," sahutku ketus. Berbicara pun tanpa melihat arahnya. Tiba-tiba Om Imam tertawa. Sosok bertubuh tinggi itu menepuk pundakku dan masih tertawa. Entah apa yang dia tertawakan. Yang jelas, malam ini aku benar-benar kesal. "Gak, lah, Ziz. Masa anak kuliahan kayak Om pacaran sama anak ingusan. Yang ada Om malah dikira aneh. Kamu ini ada-ada saja. Kalau kamu mau, kamu saja yang pacaran sama Desi." Aku mendelik ke arahnya. "Kita cuma temenan, Om." "Ya, siapa tahu aja awalnya dari berteman, berubah menjadi pacar. Om bener bukan?" Lagi-lagi Om Imam tertawa. "Eh, kamu beneran temennya? Apa jangan-jangan kamu diam-diam suka, ya?" tanya Om Imam, dengan nada menyelidik. "Beneran temen, Om. Kami cuma temenan gak lebih dari itu." "Ah, masa? Tapi, kok, Om ngerasa kamu kayak yang perhatian sama Desi. Saran Om sih, mending kamu nyatain cinta deh. Daripada-daripada nantinya kan, bener gak?" Sial! Tebakan Om Imam malam itu benar sekali. Aku memang sudah menaruh rasa sama Desi. Bahkan sebelum Om Imam kenal dengannya pun, aku sudah lebih dulu suka sama Desi. Hanya saja aku merahasiakan semua ini dari orang-orang. Perkataan Om Imam ada benarnya juga. Sampai-sampai aku kepikiran dengan ucapannya tadi. Desi kan orangnya humble. Sama semua orang, dia ramah. Mana mungkin tidak ada yang tertarik sama Desi. Terlebih lagi, aku ingat ucapan Nuri, sudah banyak gebetannya yang malah berpindah hati gegara mereka sama-sama menyukai Desi. **** Dua hari berlalu. Hari ini, suasana di komplek perumahan Bumi Asih Pamengkang, ramai. Beberapa dari temanku berbicara tentang foto yang waktu itu Om Imam poto saat acara malam puncak dirgahayu republik Indonesia. Adikku~Rizal pun sangat antusias sekali karena ingin melihat potonya pada waktu ia menari. "Om, mau lihat potonya boleh gak?" "Om, ini berapa harganya?" "Om, gratis aja bolehkan, ya?" Berbagai pertanyaan muncul pada saat Om Imam memperlihatkan album poto pada anak-anak. Di antara rimbunan anak-anak yang sedang mengantri untuk melihat poto, kulihat Desi pun ikut mengantri. Ia pun sangat antusias sekali melihat hasil jepretan Om Imam. "Harganya murah, kok. Gak sampai lima ribu. cuma seribu aja," katanya memulai pembicaraan. "Wah, yang bener Om? Ya, udah aku mau minta uang dulu sama Mama. Tungguin ya Om." Om Imam pun mengangguk. Pada waktu itu aku berniat untuk melihat saja. Namun, Om Imam malah menggodaku. Ia berkata lantang pada Desi. "Kalau untuk Desi, Om kasih gratis gak usah bayar." "Loh, kenapa gratis, Om?" tanya Desi. Ia masih standby di sana. "Iya, gratis. Beneran Om gak bohong. Asal, Ada syaratnya." "Apa Om syaratnya?" "Syaratnya adalah, Aziz menyatakan cinta sama kamu, Des." Eh, sumpah ya ini Om-om omongannya sadis bener. Ngapain juga dia sampai bikin persyaratan gitu. Jadinya, kan Desi malah menatapku dengan tatapan mata yang tajam. Iya, tajam banget loh. Setajam mata burung elang. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD