"Kamu ngapain kirim surat ke rumah? Pake bunga kangkung segala. Emangnya aku keong racun, sukanya bunga kangkung?" tegurku saat berpapasan dengan gadis cantik depan rumah.
"Ih, kalau enggak suka, enggak usah ngegas gitu. Biasa aja kali ngomongnya. Tuh, bibirnya juga sampai monyong lima senti." Cewek nyebelin! Di surat sama di kehidupan sehari-harinya sangat beda.
Kata-kata di surat itu sangat ramah, eh, malah aslinya persis kayak badak.
"Kalau aku enggak suka gimana? Kamu tahu enggak, yang nemuin surat kamu itu ayahku. Malu tahu aku jadinya. Untung ayahku pernah muda, jadi ayah bilang wajar. Dasar cewek nyebelin!"
Sekilas perempuan berambut panjang itu tampak terkejut saat mengetahui kalau ayahku ikut membaca surat darinya.
"Makanya kalau kirim surat itu yang benar. Titipin kek suratnya. Jangan lempar ke halaman. Dibaca juga kan akhirnya sama ayahku."
"Dih, aku juga gak tau kalau ayah kamu baca. Ya, udah sih gak usah semarah itu. Itukan cuma surat."
Cuma surat katanya. Dia tidak tahu saja, itu bukan hanya sekadar surat, melainkan sebuah ungkapan hati dan itu bikin aku tidak nyenyak tidur selama beberapa hari.
"Dasar aneh!"
"Kamu juga, cowok aneh!"
~~~~~
Percakapan singkat itu membawaku mengenal karakter aslinya. Meski ia berkata kasar begitu, aku tetap ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
Hari ini, Ibu mengizinkan aku bermain diluar. mengenal karakter anak-anak yang seumuran denganku. Ternyata, mereka semua sangat baik. Tidak ada pembulliyan di sini. Tidak seperti di sekolahku yang dulu. Aku selalu dipandang sebelah mata hanya karena jabatan ayah sebagai Tentara.
"Mbak Desi!" seru seorang gadis di kejauhan. Gadis itu melambaikan tangannya.
"Mbak, main yuk. Aku udah bikin ini Mbak, kita main lompat karet yuk?" ajaknya sambil memperlihatkan apa yang ia bawa.
Beberapa detik kemudian, gadis itu menoleh ke arahku yang tepat berada di samping gadis bernama Desi.
"Gebetan baru ya, Mbak," celetuknya.
"Eh, bukan! Dia ini baru pindah ke sini, Wi. Sok atuh kenalan. Siapa tahu berjodoh," jelasnya. Kulihat tangannya memegang tangan gadis berkulit sawo matang, lalu tangan satunya lagi meraih tanganku.
Deg!
Darahku berdesir hebat saat tangan ini disentuh olehnya. Ya, ampun ... kenapa bisa seperti ini? Apa ini yang dinamakan cinta? Semuanya terasa indah.
Dengan cepat aku menepisnya. Bukan, bukan karena aku tidak mau berkenalan, hanya saja jantungku sedang tidak aman.
"Cuma kenalan aja malah enggak mau." Lagi-lagi ia menggerutu.
"Cukup dengan mengucapkan nama aja bisa kan?"
"Iya, bisa untuk kamu yang nyebelin!"
"Udah deh Mbak jangan berantem aja. Jadi enggak nih main lompat karetnya? Yang lain udah pada nungguin Mbak Desi."
"Iya, jadi dong, Wi. Yuk, ah, kita cus ke lapangan." Sebelum pergi, Desi melihat ke arahku. "Kamu mau ikutan enggak? Apa mau pulang?"
Aku hanya tersenyum melihat tingkah Desi. Tadi dia marah-marah, sekarang malah mengajakku ikut bermain dengannya.
"Ih, kamu kayaknya kurang seons, ya? Mau ikut enggak Aziz Al Kautsar?"
"Iya-iya, bawel. Aku ikut. Kita mau ke mana?"
"Ke lapangan."
"Ada siapa aja di sana?"
"Ada Rudi, Dimas, Andri, Tegar, Tatang, Ika, Nita, Nuri, Irma dan juga aku."
"Aku enggak nanya kamu. Aku nanyain yang ada di lapangan, Desi Cantik."
Ah, sial! Aku tidak sengaja bilang cewek ngeselin itu dengan sebutan cantik, Dewi mendadak tertawa. Parahnya ia tidak bisa berhenti tertawa dan itu membuat Desi mencubit pinggangku.
"Ih, sakit tahu!" gerutuku.
"Siapa suruh bilang aku cantik? Kamu itu ya ... nyebelin banget!"
Akhirnya, aku ditinggal sendiri. Gadis cantik itu dengan cepat berjalan mendahuluiku. Meski aku memanggil namanya berulang kali, ia tetap saja tidak menghentikan langkahnya.
Inilah yang membuatku semakin jatuh hati padanya. Desi beda dari yang lain. []