part 5

2686 Words
Mobil terus melaju menyusuri jalanan Egham yang cukup lengang. Sesekali Mary melirik Aaric yang masih lekat memandangnya. Tatapannya membangkitkan sisi seorang gadis remaja pada diri Mary. Malu, itulah yang bercokol di dadanya. "Kau suka bunga, Mary?" tanya Aaric memecah kesunyian. "Iya. Aku suka warna-warni dan wanginya," jawab Mary seraya menatap pantulan wajahnya sendiri pada kaca mobil di belakang Aaric lalu beralih memandang pemuda itu dan berkata, "di dekat kolam renang di sekitar gazebo aku menanam banyak anggrek, lili, bakung juga mawar." "Bunga di depanku ini lebih indah dari semua itu," tukas Aaric. Mata birunya berkilau di antara temaram lampu membuat pipi gadis itu merona. "Apa kau juga suka bunga dalam arti yang sesungguhnya, Mr. Fox?" "Kenapa bertanya begitu?" Aaric terkejut hingga alis sebelah kirinya terangkat. "Aku melihat bunga lavender di meja kantormu." "Oh itu, hadiah dari ibuku. Aku meminta Ashley merawatnya," jawab Aaric dengan tawa kecil. Pertanyaan Mary sebuah kekonyolan baginya. Namun, bagi Mary itu tentang kedalaman perhatian Aaric. Seberapa peduli Aaric pada sekitarnya. Saat Aaric membenarkan letak dasinya Mary menyadari pakaian mereka berwarna serupa. Chemistry kah? Tentu saja bukan, Alice yang memilihkan gaunnya. Betapa heboh Alice jika tahu ia pergi bersama Aaric malam itu, pria yang selalu jadi bahan gosip yang menarik. Mereka menyusuri Denman Street kota Westminster, melewati Piccadilly Circus dan berhenti di sebuah hotel megah di dekat Piccadilly Theatre West End. Beberapa pengawal berdiri di pintu utama. Para tamu undangan berjejer di pintu masuk. Seorang petugas memeriksa undangan para tetamu yang berpakaian mewah-mewah. Seperti sebuah pesta. Merasa janggal Mary pun bertanya, "kita akan kemana, Mr. Fox?" "Ini pesta peresmian hotel baruku. Kau pegang tanganku dan bersikaplah normal," jawab Aaric seraya mengulas senyum dan langsung menggamit lengan Mary yang tengah terkejut. Ini sebuah acara resmi, bukan sekedar makan malam. Seharusnya ia diundang secara terhormat untuk acara ini, bukan sekedar hukuman karena mengotori jas, pikirnya lagi. Belum keluar dari kubangan rasa terkejut mendadak Aaric malah mengecup bibirnya sekilas, meninggalkan rasa panas di sana. "Tenanglah," ujar Aaric menyadari ketegangan gadis istimewanya. Ketika melihat dua orang konglomerat itu berjalan beriringan para pengawal yang memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih satu ragam langsung memberi hormat. Mereka memang petugas keamanan khusus, bukan anggota kepolisian. Mary merasa seperti berjalan di red carpet pada sebuah premier film dimana ia dan Aaric adalah tokoh utamanya sampai Aaric menemui beberapa kenalannya pun, Mary Jenkinson masih dalam khayalan dikenalkan sebagai wanitanya. Ia terlalu berharap untuk hal itu sehingga cukup kecewa ketika Aaric hanya mengenalkannya sebagai putri keluarga Jenkinson. Entah apa yang direncanakan Aaric untuknya sampai-sampai belum genap satu jam bersama hati Mary sudah dibolak-balik sedemikian rupa. Di tengah ruangan telah disiapkan panggung setinggi setengah meter. Aaric membawa Mary ke salah satu meja di depan panggung itu. Beberapa orang tengah berbincang di meja lainnya. Aaric menuang wine yang tak dapat ditolak oleh Mary. Mary lalu meneguknya, berharap bisa meredakan gelora di hatinya. "Kau lihat, Mary," ujar Aaric sembari menunjuk seseorang yang duduk dua meja di seberang mereka. "Adam Green, penyanyi yang disebut-sebut sebagai plagiat. Ratusan juta orang berbondong membeli albumnya untuk membuktikan sebutan tersebut. Itulah yang membuatnya terkenal. Lalu yang di sampingnya, Ellizabeth Jones. Penulis yang terkenal karena dia adalah anggota dari sebuah forum besar beranggota lima puluh juta orang dari seluruh dunia. Jumlah orang di forum itu saja sudah cukup menjadikannya terkenal. Yang memakai kemeja putih di meja sebelahnya, Daniel Zolotoy. Seorang pencetus teori paling tidak masuk akal. Banyak ilmuwan membuat bantahan akan hal itu yang justru membuatnya semakin terkenal. Kadang aku meragukan kemampuan dan kecerdasan mereka," tambahnya. Perkataan Aaric menggelitik Mary. Akhirnya, gadis itu menyampaikan, "bukankah dunia memang berjalan seperti itu, Tuan Fox? Tingkat kecerdasan kurasa tidak begitu berpengaruh pada kesuksesan seseorang. Mereka yang sebenarnya begitu cerdas tidak jarang berakhir sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan atau justru mengalami masalah mental disebabkan cara berpikir yang berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. Aku tidak tahu seberapa besar kerja keras mengambil bagian dalam sebuah kesuksesan. Menurutku, semua itu erat kaitannya dengan takdir yang sudah digariskan untuk kita dan keberuntungan." "Kau mempercayai takdir?" "Tentu saja, Tuan Fox. Manusia adalah ciptaan berharga dari Tuhan. Menurut buku yang k****a karya Harun Yahya seorang penganut teori penciptaan dari Turki, satu sel manusia pada bumi purba jutaan tahun yang lalu seperti sebuah mobil canggih di dalam hutan belantara. Logikanya, tentu mobil itu dibuat oleh pabrik dan ada yang membawanya ke dalam hutan tersebut. Tidak mungkin bukan kita berpikir bahwa pepohonan, bebatuan dan tanah di hutan tersebut karena serangkaian peristiwa alam yang terjadi secara kebetulan membentuk mobil canggih itu dengan sendirinya? Jika sel sekecil itu saja tidak terjadi secara kebetulan, maka setiap peristiwa yang terjadi di dunia tentu saja sudah ada yang mengatur sedemikian rupa." "Aku pernah mendengar hal itu tapi tidak mempelajarinya, Mary. Kupikir aku akan mulai mempelajarinya darimu. Menurutku, kesuksesan itu tentang bagaimana seseorang menaruh rasa hormat dan keyakinan pada dirinya sendiri. Oh ya, kumohon tunggulah disini. Aku segera kembali," ucap Aaric diiringi senyum sebelum melangkah meninggalkan Mary untuk menyelesaikan urusannya apalagi sang sekretaris tidak bisa hadir karena harus mengurus proyeknya yang lain. Sementara Mary merasa aneh karena bisa bicara sebanyak itu pada seorang pria asing di sebuah pesta bukan pada forum debat. Aaric membuatnya membuka diri tanpa ia sadari. Aaric benar-benar sukses menyingkap tirai keasingan di antara mereka. Kecupan tadi yang serta merta tanpa ijin, menegaskan jiwa liar Aaric yang memancing hal serupa dalam diri gadis itu. Aaric melangkah menuju panggung dimana beberapa orang yang wajahnya tidak asing bagi Mary telah menunggu di sana. Mereka adalah Han Seo Jin, Mark Brickman dan Kenny Lee. Mereka juga pernah menjadi rival dan partner bisnis mendiang kakeknya. Lalu gadis itu mengedarkan pandangan pada para wanita yang semuanya memakai baju mewah berwarna putih meski dengan aneka desain. Ia tak memperhatikannya saat datang tadi. Para pria juga memakai tuxedo hitam satu ragam. Khas pakaian pesta dansa klasik sosialita yang rutin diadakan setiap tahun. Mary merasa asing karena gaunnya justru berwarna gelap. Setelah Mark Brickman menyampaikan kata sambutan, Kenny Lee mempersilahkan Aaric Fox menyampaikan sambutan sebagai presiden direktur. Seketika mata Mary kembali tertuju pada pria maskulin itu. Mary memperhatikan dengan seksama hingga lupa berkedip. Ketika Aaric yang berada di podium menatap ke arah Mary, gadis itu langsung salah tingkah seperti hantu muncul di siang bolong. Mary meneguk lagi sisa wine tadi untuk mengalihkan perhatian. Tubuhnya seketika terasa lebih hangat. Beberapa pasangan bergandengan menuju pintu mewah di samping panggung, orang-orang yang disebut Aaric tadi juga ikut bergabung bersama mereka. "Kau sendirian, Nona?" seorang pria beramput pirang menggeser kursi dan duduk di sebelah gadis itu. "Mary Jenkinson," ucapnya mengenalkan diri. "Senang bertemu wanita secantik dirimu, Nona Jenkinson. Namaku Brad Braxter." Pria itu merogoh ke dalam jasnya, menyodorkan selembar kartu nama pada Mary. "Aku tadi melihatmu datang bersama Aaric. Sebelumnya dia tidak pernah mendatangi sebuah acara dengan seorang wanita. Apa kalian berkencan?" tanya Brad menguji. Insting yang peka dan tajam sudah memberi tahunya bahwa sesuatu yang tidak biasa tengah melanda dua sejoli itu. Apalagi sejak mereka baru datang tadi mata Brad tak lepas dari gerak-gerik Mary, gadis yang tampak terhormat. "Jangan campuri urusanku, Brad!" ketus Aaric seketika dengan sorot dingin di mata birunya. Saat melihat Brad ia berubah jadi kucing yang terbakar ekornya hingga meninggalkan podium dengan tergesa untuk menghampiri mereka berdua. Aaric menawarkan pada Mary untuk pindah tempat yang langsung disetujui gadis itu. Kartu nama Brad di atas meja serta merta Aaric jatuhkan ke lantai. Brad terkekeh di kursinya. Menertawakan penderitaan sendiri adalah kegemarannya. Pria itu lalu menatap Mary dengan pancaran yang tak mudah diartikan membuat Mary menggelengkan kepala guna menghapus efek pandangan Brad dari ingatannya. Ia berusaha mengimbangi langkah panjang Aaric yang membawanya ke sisi lain ruangan melalui pintu yang di lewati para pasangan tadi. Sebuah ruang dansa yang mewah dan luas. Semua orang yang ada di ruangan itu berdansa mesra, hanyut dalam irama musik klasik. Aaric menuntun Mary ke tengah ruangan, mencari celah di antara orang-orang itu. Lalu menarik gadis itu dalam pelukannya. Lengan kekarnya melingkar di pinggang Mary dan perlahan menggerakkan tubuh, berdansa. "Beradaptasilah," ucap Aaric berusaha tersenyum. Mary memahami maksudnya karena acara serupa sudah biasa ia ikuti. Kakeknya sering mengadakan pesta dansa juga. Mary melingkarkan lengannya ke leher Aaric. Posisi itu memaksanya sedikit menengadah membuat pandangan mereka bertemu. Aaric lebih tinggi darinya beberapa senti. Tubuh Mary setinggi hidung lancip pemuda itu. "Sepertinya aku salah kostum. Ini terlihat seperti pesta dansa klasik sosialita," ujarnya agak kecewa. "Ini pestaku, ini tempatku dan kau wanitaku. Anggap saja kita adalah pemain utama malam ini. Bukankah pemain utama harus lebih menonjol dari para pemain lainnya? Aku bersamamu, Mary. Kau tak perlu khawatirkan apapun." Kata-kata Aaric terdengar begitu manis, membuat Mary hanyut dan tenggelam dalam perasaan yang tak pernah lelaki itu tahu. Ia menunduk menyembunyikan raut bahagia dari Aaric. "Jangan membuatku merasa asing dengan menghindar begitu. Tataplah aku, Mary," bisiknya diiringi sentuhan lembut di wajah gadis itu. Lalu mengangkatnya hingga mata mereka kembali bertemu. Jantung Mary berdesir-desir hebat karena pertama kalinya gadis itu memperhatikan Aaric sedemikian dekat. Mata birunya membuat Mary ingin menari-nari di sana, menjajah relung hati Aaric. "Tuan Fox, apa alasanmu membawaku ke pesta seresmi ini? Logikaku mulai menolak ini sebagai hukuman." Mary tak dapat menahan diri. Mengharap Aaric menganggapnya lebih dari itu. Aaric semakin erat melingkarkan lengannya di pinggang Mary. Matanya memancarkan sesuatu yang lain seperti menyelam ke dalam jiwa gadis itu menyulut api. Sesuatu dalam diri Mary menuntut lebih. "Alasanku, aku yakin logikamu sudah memberimu jawabannya." Bibir Aaric mengatup membuatnya tidak sabar. "Aku mengagumimu, Mary," akunya. Mary tahu bahwa tatapan itu bukan pancaran kekaguman, melainkan tatapan liar seorang pria yang menginginkan seorang wanita secara harfiah. Tatapan yang membakar hasrat keperempuanannya yang telah Aaric nyalakan sedari tadi. Pipi Mary memanas ketika bibir Aaric mendarat lembut di lehernya. Sebuah perasaan asing menyusup halus, mengeruhkan akal sehat. Lalu bibir Aaric memagut lembut bibirnya, memberi hisapan-hisapan kecil. Mary tak kuasa melawan perasaan asing itu. Beradaptasi, ia mencoba melakukan seperti yang Aaric lakukan. Mendapat respons mata Aaric terbuka, seperti mendapat persetujuan pemuda itu semakin liar dengan aksinya. Mary hampir kehabisan nafas saat secara mengejutkan seberkas blizt kamera menerpa mereka yang membuat Aaric melepaskan pagutannya. Pesta berakhir lewat tengah malam. Selama di mobil mereka tak berkata-kata. Mary pikir Aaric lebih santai karena menurut gosip yang ia dengar, Aaric sudah sering melakukan itu. Sedangkan dia? Ini pertama baginya. Bahkan rasa itu belum hilang dari bibir Mary. "Diluar dingin," ujar Aaric sembari memakaian jasnya pada Mary ketika gadis itu hendak turun dari mobil. Pria itu berlalu dengan sesungging senyum yang teramat manis. Mary langsung meraba bekasnya di bibir. *** Ia berada di dalam gedung berbahan keramik dengan pintu-pintu dan jendela berukir indah sedemikian rupa seperti Casa de Giulietta, rumah Juliet di Verona yang sering ia lihat di layar laptop. Aaric menggenggam tangannya dengan senyum mengembang. Genggaman laki-laki itu terasa hangat menyenangkan. Aaric menuntunnya ke sebuah balkon yang dipercaya sebagai tempat Juliet berdiri ketika Romeo menyatakan cinta. Tempat paling romantis di dunia. Aaric mengecup punggung tangannya. Kembali menggenggam erat dan mengajaknya berdansa. Alunan sexophone mendayu-dayu, membuatnya semakin hanyut dalam perasaan bahagia. Suasana begitu indah dan mesra hingga ia bisa melihat pantulan dirinya sendiri melalui mata indah pemuda itu. Namun, alunan sexophone semakin lama terdengar semakin sumbang, semakin lirih, timbul tenggelam, lalu berganti bunyi dentingan Fur Elise milik Beethoven. Itu nada dering gawainyanya. Mary tersentak. Matanya mengerjap seketika. Benar saja, gawainya meraung-raung di atas nakas. "Ini terlalu pagi untuk memaksa seseorang bangun dari mimpi indah," gerutu Mary. "Halo." "Apa yang kau lakukan, Mary?" teriak Alice dari seberang. "b***h! b***h! b***h!" umpatnya berapi-api. "What happen, Alice?" Mary tidak suka kebiasaannya mengganggu di pagi hari. Setidaknya tidak hari itu saat ia sedang bersama Aaric dalam mimpi. "Gila! Parah! Stupid! Lihatlah wajahmu dan Mr. Fox terpampang di halaman utama seluruh surat kabar. Bukan cuma surat kabar, semua media, tv, radio, sosial media juga. Aku yakin sekarang semua wartawan sudah memenuhi halamanmu." "Apa kau bilang?" Mary mencoba memahami kata-kata yang sahabatnya itu ucapkan dengan sangat cepat. "Kau benar-benar belum melihatnya?" "Apa yang .... " Tiba-tiba seseorang mengetuk kamar sebelum Mary menyelesaikan perkataannya. Itu pasti Sarah, duganya. Tidak biasa pelayannya itu mengetuk pintu dengan keras. Mary agak kesal karena semua orang mengganggunya padahal ia baru tidur selama dua jam setelah pesta semalam. Sarah memasuki kamar disertai senyum mengembang menampakkan lesung pipit di wajah tuanya. Kecuali Ellena di rumah Mary memang jarang mengunci pintu. Sarah selalu masuk setelah mengetuk pintu rentang satu menit, Mary yang memintanya begitu. "Selamat pagi, Nona. Para wartawan memenuhi rumah kita untuk meminta konfirmasi dari berita ini, Nona," kata Sarah seraya menunjukkan selembar surat kabar padanya tepat di halaman pertama. Tepat pada tulisan dicetak tebal. This is Mary Jenkinson the Future Wife of Aaric Fox. Di bawahnya terpajang foto mereka berciuman. Mata Mary terbelalak seketika. Apa yang salah dengan ini? Bukankah ini bagus? Pikirnya. Calon istri Aaric Fox. Betapa lamanya ia mendamba hal itu. Hati Mary terasa seringan kapas menari-nari di awan. Namun, kebahagiaan itu segera sirna mengingat semua itu hanya rumor yang tersebar akibat ulah paparazi. "Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Anda, Nona. Sejujurnya aku sendiri sangat terkejut." "Kebahagiaan palsu. Ini hanya rumor, Sarah. Aku akan mengatakan pada para wartawan itu sebelum mereka gaduh dan mengganggu para tetangga kita," ujar Mary seraya bangkit mencampakkan surat kabar itu sehingga terjatuh ke ranjang. "Tidak, Nona. Tuan Fox telah membuat konferensi pers membenarkan berita ini satu jam yang lalu. Aku melihatnya di televisi." Mary terpaku di tempatnya mendengar ucapan Sarah. Ia meminta Sarah mengulangi untuk memastikan pendengarannya. "Benar, Nona. Bahkan Tuan Rudolf Hill telah tiga kali menelpon ke rumah ini. Beliau ingin bicara denganmu," ujar Sarah setelah merapikan ranjang dan mengambil gelas bekas air di nakas. Ia melepaskan senyum pada nona mudanya sebelum berjalan keluar kamar. Gadis itu hampir saja berteriak histeris jika tak segera membenamkan wajah di bawah bantal. Calon istrinya Aaric Fox. Ia tak percaya, itu manis sekali. Betapa romantisnya Cassanovanya itu. Pipi Mary terasa hangat karena bahagia. Euforianya diakhiri oleh deringan gawai. Sebuah panggilan telpon dari Rudolf Hill, adik kandung kakeknya yang mengurus perusahaan selama ini. Beliau mengatakan keterkejutannya mendengar kabar itu. "Aku berencana menanyakan padamu tentang perjodohan dengan Aaric Fox sepulang dari Vatikan tapi kalian mengejutkanku pagi ini dengan berita kontroversial ini." "Perjodohan?" Mary menyipitkan mata secara refleks. "Iya. Aku dan Aaric melakukan kerja sama. Dia akan sangat berguna untuk perusahaan kita, Sayang. Kurasa menikahkanmu dengannya adalah hal yang tepat untuk memperkuat posisi kita." "Kakek menjualku?" "Ayolah, Lof. Kau cukup dewasa untuk memahami posisinya, bukan? Kita bisa mendapat segalanya dengan uang dan kekuasaan, Sayang. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan untuk memperluas kekuasaan kita. Aaric Fox kurasa juga memikirkan hal yang sama." Seperti tersengat listrik Mary mendengarnya. Persendian terasa lolos dari tubuhnya mengetahui ternyata semua itu hanya sebuah permainan bisnis. "Lihatlah posisi kalian berdua di foto itu, Sayang. Aku yakin Robert Jenkinson akan mengusirmu jika ia masih hidup. Seperti yang dilakukannya pada Ellena, ibumu. Aku takkan sekuat itu pada keyakinanku seperti kakakku. Bagaimana bisa dia memusuhi anak satu-satunya hanya karena hamil di luar nikah. Itu seharusnya bukan hal yang perlu dilebih-lebihkan. Apa hubunganmu dengan ibumu sudah baik, Sayangku?" "Sejak kapan kita membicarakan orang yang sudah meninggal? Sudah seharusnya seseorang memegang teguh apa yang ia yakini, bukan hanya meyakini sebagian dan mengingkari sebagian yang lain. Dia akan senang sekali berkunjung ke Vatikan bersamamu jika masih ada." Sarkasme keluar dari bibir gadis itu. "Ha ha ha. Kau selalu melepaskan panahmu tepat sasaran, Sayang. Baiklah, aku minta maaf untuk perkataanku tadi." Itu kalimat terakhir Rudolf Hill sebelum Mary memutus sambungan. Ia memandang halaman rumah yang telah di penuhi wartawan dari balkon kamar. Kegirangannya beberapa saat lalu kini berbalik menjadi duka karena itu semua ternyata hanya hubungan palsu berdasarkan dollar dan euro. "Aaric tak menginginkanku lebih dari itu. Mengapa aku terlalu berharap bahwa dia menginginkanku? Wanita seksi yang keluar dari ruangannya waktu itu, itulah seleranya. Bukan sepertiku! Bahkan dia mengencani ratusan wanita. Bagaimana mungkin aku akan tahan dengan hubungan seperti itu? Itu akan sangat menyakiti hatiku. Betapa sulitnya mencintaimu Aaric. Seperti menggenggam bara api. Kau mengoyak jantungku Aaric," keluhnya setengah berbisik pada diri sendiri. "Mengapa kau menangis, Nona?" Suara Sarah mengejutkan. Wanita itu telah berdiri di ambang pintu dengan segelas teh dan roti panggang di tangannya. "Katakan pada para wartawan itu aku tidak ada di rumah," ujar Mary seraya melangkah dan membanting tubuhnya di ranjang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD