part 6

1731 Words
Sonata ABC dari denting piano yang Mary mainkan memenuhi seisi ruangan. Hembusan angin musim dingin menyeruak melalui pintu besar balkon family room, mengibarkan tirai-tirai sifon tipis dengan anggun. Memainkan alat musik adalah usahanya menghibur diri melupakan kenangan manis berujung tikaman yang terus menggelayut di kepala. Kejadian semalam hanyalah bentuk penyesuaian diri Aaric terhadap hubungan palsu mereka, Mary menancapkan pikiran itu di kepalanya. Ia berusaha meyakinkan diri sebelum Aaric mengambil ruang lebih banyak lagi dalam hatinya. Nama besar yang ia miliki tiba-tiba terasa seperti bumerang yang kembali menyerang pemiliknya. Segala sesuatu yang menggunakan perasaan memang selalu tidak mudah. Sarah mendekatiknya dari arah tangga dengan langkah tergopoh. "Mr. Fox ada di sini, Nona. Ingin bertemu denganmu," ucapnya dengan wajah gusar. Seolah sudah tahu respon apa yang akan ia terima. "Untuk alasan apa aku menemuinya?" jawab Mary tanpa berhenti menggerakkan jemari pada tuts-tuts piano. Sekuat mungkin menahan diri untuk peduli. "Tapi kalian terikat hubungan sekarang." "Perusahaan yang memiliki hubungan itu, bukan aku," tukasnya. "Tidak begitu, Nona." Sarah memegang tangannya dengan erat, membuat denting tak diinginkan pada tuts karena tekanan tangan itu. "Aku bisa melihat binar di mata kalian saat semalam bersama dan dia juga pria yang ramah. Dia bahkan mengajakku, pelayan tua ini ngobrol semalam. Temuilah dia barang satu atau dua menit, Nona. Tidakkah kau kasihan melihatnya menerjang udara dingin dari London ke sini?" ratap Sarah memelas penuh harap. Mary diam tak menghiraukannya. "Awalnya bisa saja hanya perusahaan. Tapi, dengan seringnya bersama pasti hubungan itu akan menjadi hubungan sesungguhnya. Lagipula tidakkah kau merasa dia mungkin saja menyukaimu sehingga rela berkali-kali menjemputmu kemari? Tidak banyak pria mau melakukan itu, Nona," ujar Sarah meyakinkan seolah dialah yang takut kehilangan bukan Mary. Mary memikirkan benar ucapan orang yang sudah ia anggap seperti neneknya itu. Ia berperang melawan keegoisan. Rasa senang yang menyusup tak dapat dipungkiri karena akan melihat Aaric lagi, harga diri yang direndahkan oleh perjodohan itu dan masa depan berkabut karena dasar hubungan yang rapuh tumpang tindih dalam benaknya. Akhirnya, gadis itu menyerah. Melangkah gontai menuruni tangga mendekati Aaric yang tengah memandangi bunga mawar dalam vas di meja ruang tamu. Wajah pria itu berbinar begitu melihat Mary. Segera Mary menundukkan wajah sebelum kembali tersihir oleh matanya. "Apa kau baik-baik saja, Mary? Kau tampak lesu." Ternyata dia sangat suka mencari perhatian, pikir Mary. "Hal penting apa yang membawamu kemari?" tanyanya dengan datar. Berharap Aaric tidak memintanya menandatangani sebuah berkas perjanjian bisnis. Hatinya pilu mengingat itu. "Aku ingin afternoon tea, jadi hari ini aku pulang awal. Apa kau mau menemaniku, Mary?" tawarnya dengan hangat. "Aku rasa .... " "Jangan lupa memakai mantel, Nona. Menurut berita BBC tadi pagi suhu malam ini akan turun sampai -9°C," ujar Sarah seraya menyerahkan mantel Mary sebelum gadis itu menyelesaikan kalimat penolakan pada Aaric. Sarah sedari tadi telah mengekor di belakang Mary seolah ia tahanan yang akan kabur. "Tidak. Cuaca sangat dingin. Aku menghadapi cuaca dingin seumur hidup jadi aku ingin menghangatkan diri di perapian hari ini," sergah Mary. Sekilas Mary mengarahkan pandangan pada Aaric yang berdiri tak jauh. Kening pemuda itu berkerut. Jelas ia terkejut dengan jawaban itu. Lalu tersenyum, manis sekali. "Aku juga tidak suka dingin. Mobilku ada penghangatnya dan kita akan pulang sebelum suhu turun sampai angka itu," ujarnya sembari meraih tangan Mary. Aaric melangkah keluar dengan cepat sebelum Mary sempat membuat penolakan lagi. Sebuah mobil sport keluaran Italia terparkir di halaman. Seolah mengetahui bahwa Mary akan menolaknya, kembali dengan gesit Aaric membukakan pintu dan mendorong gadis itu dengan lembut agar duduk di sana. Langit gelap dan jalanan berkabut. Sorot lampu mobil cukup membantu jarak pandang mereka. Sepanjang jalan terlihat para mahasiswa yang pulang dengan berjalan kaki. Mereka mahasiswa dari Asia yang sedang menempuh program master di Universitas Royal Holloway. Beberapa bahkan Mary kenal, tapi sore itu ia tidak tertarik untuk menyapa karena kortisol telah membuatnya merasa sesak. Ini pertama kali Mary dan Aaric berduaan di dalam mobil. Aaric tidak memakai sopir hari itu. Nampak sekali dari pakaiannya, kemeja dengan dua kancing atas terbuka dan bagian lengan yang dilingkis sekedarnya, bahwa Aaric sedang mencuri jam kerja. d**a bidang mengintip dari tepi kancing kemeja itu, memunculkan bayangan liarnya dalam benak Mary. Nafas Mary tertahan melihatnya. Lalu segera menyingkirkan bayangan itu dan menata hati. Itu hubungan palsu. Ia tak boleh hanyut di dalamnya. Aaric bisa meninggalkannya kapan saja ketika dirasa ia tak lagi menguntungkan bagi pria itu. Begitu pikir Mary. "Aku terkejut sekali ketika para wartawan menggrebek rumahku pagi-pagi. Bahkan, aku belum sempat cuci muka ketika menemui mereka di depan gerbang. Pasti tampangku kusut sekali, ya 'kan?" ucap Aaric seraya tergelak meluruhkan dinding-dinding kesunyian dalam kebersamaan yang seperti dipaksakan itu. "Aku tidak sempat melihat teve." Mary menanggapinya acuh. Tetap memperhatikan jalanan yang mereka lalui. Pun begitu Mary dapat merasakan reaksi terkejut Aaric oleh sikapnya yang tidak mengenakkan. "Oh begitu. Sayang sekali," ujar Aaric. Mary merasa beruntung ponsel Aaric terus berdering yang pria itu jawab dengan kesal berkali-kali sehingga Mary punya kesempatan untuk menghindar mengobrol dengan Aaric. "Kurasa aku harus merubah personil perusahaan. Bahkan aku tak punya waktu untuk istirahat sebentar saja," ujar Aaric kesal seraya membelokkan mobil memasuki area taman Kensington. Pria itu membawa Mary ke round pound. Sebuah kolam melingkar dengan angsa-angsa yang berenang di tengahnya. Perasaan Mary seketika terasa lebih baik hingga tanpa pikir panjang langsung menghamburkan diri ke arah kolam itu. Suasana begitu sepi, mungkin karena cuaca yang dingin. Hanya terlihat dua orang pria tengah berbincang dari kejauhan. Mary berjalan menyusuri tepian kolam untuk membuat jarak antara mereka. Sayup-sayup ia dengar langkah kaki Aaric yang mengikuti dari belakang. "Waktu kecil aku sering kemari bersama ibu. Membeli pakan angsa dan memberi makan mereka," ujar Aaric antusias setelah berhasil menyusul langkah Mary. Mary mengabaikannya dengan menekuk tubuh di tepian kolam. Menyentuhkan jemari disana. Dingin. Namun, Mary menyukainya. Aaric melakukan hal yang sama, sangat dekat hingga mampu menghalau udara dingin di sekitar mereka. Aaric memasukkan pula tangannya dan meraih tangan Mary. Untuk sejenak gadis itu kehilangan dirinya. "Seperti ini," ujar Aaric sembari meletakkan pakan angsa yang ia bawa di telapak tangan Mary lalu membawanya kembali mengambang di air. Beberapa angsa mendekat dan mematuki telapak tangan gadis itu yang membuatnya merasa geli. Mereka pun tertawa kegirangan bersama. Hati Mary terasa hangat. Namun, begitu sadar, ia langsung menarik tangannya dari Aaric dan melonjak bangkit. Mary melangkahkan kaki menjauh, tapi Aaric berhasil meraih lengannya. "Kau terlihat tidak baik. Adakah sikapku yang mungkin menyinggungmu?" tanya pria itu. Menelisik sikap janggal Mary pada perjumpaan mereka hari itu. Mary menghela nafas panjang. Kembali menata hati dan pikirannya sebelum mengucapkan dengan tegas, "aku hanya mencoba berada di tempat yang seharusnya. Aku tidak ingin melewati batasku." Sontak Aaric membalikkan tubuh Mary hingga saling berhadapan. "Tidak ada batas apapun. Kau tahu kita begitu dekat semalam." Rasa panik Mary tangkap di dalam mata biru pria itu. Mary melepaskan diri dari kungkungan Aaric. Lalu melempar pandangan pada rerumputan hijau yang terhampar di sekitar kolam, membiarkan kegundahannya lebur bersama sendu suasana sore itu. Ingin rasanya Mary menyambut pria itu sama hangatnya, namun ketakutan memenjaranya. "Itu palsu! Hubungan ini hanya diatas kertas. Disanalah posisiku. Jadi, jangan membuatku merasa lebih," ucapnya ketus membunuh perasaannya sendiri. Mary tidak mau diperdaya oleh siapapun termasuk oleh Aaric. Untuk sesaat mereka terdiam. Hanya deru nafas Aaric yang Mary dengar, itupun sangat berat. Pada dua angsa yang sedang berebut ikan hasil tangkapan Mary memancangkan pandangan, meski pikirannya tidak benar-benar ada di sana hingga merasakan lengan Aaric melingkari tubuhnya dari belakang. Kedua tangan pria itu menggenggam lembut tangan Mary. Genggaman yang terasa hangat. "Kelihatannya memang begitu. Tapi, yang sebenarnya, Mary," ucapnya menggantung. Nafas Aaric terasa hangat di telinganya, membuat tubuh Mary meremang. "Selama ini aku kelihatan memiliki kehidupan yang sempurna. Aku memiliki bisnis yang luar biasa. Tapi, ada harga yang harus ku bayar. Aku tidak punya waktu untuk melakukan dan memikirkan hal yang lainnya. Aku menutup hati dengan ambisi sebagai tirainya. Kini ambisi itu dengan kerja keras telah ku capai. Tirai itu perlahan mulai tersibak dan aku melihatmu ada di sana, Mary. Bertahta ratu di singgasana hatiku." Jawaban itu membuat Mary benar-benar terpaku dilanda mimpi tengah hari. "Aku tak menginginkan selain dirimu, Mary." Tangan Aaric menyusuri kepala gadis itu, membelai lembut rambutnya. Tubuh Mary telah merasa begitu nyaman dalam dekapan Aaric sebelum ia mencerna dengan baik kata-kata pria itu. "Aku menerima tawaran Rudolf Hill karena melihatmu terlibat di dalamnya. Jika tidak denganku, dia akan menawarkan hal itu pada orang lain. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk terlibat denganmu, Mary. Hatiku telah lama tertambat pada gadis bermata jeli ini yang selalu duduk di taman, di depan ruanganku." Mendengarnya kesejukan menyeruak di hati Mary. Begitu ringan dan terpuaskan. Malu sekaligus bahagia. Mary merasa Aaric sudah mengungkap jauh melebihi dirinya. Mary putuskan melenyapkan segala keraguannya saat itu juga. Sebutir salju jatuh di tangannya yang kemudian kugenggam erat seperti moment indah itu. Terasa lembut dan dingin. "Tapi, aku tak bisa membagi singgasana itu dengan perempuan manapun. Tidak sekarang ataupun nanti." Aaric diam sesaat mendengarnya. Lalu, "kau telah membuat batasan. Bukan. Bagiku itu ancaman. Kita akan mulai saling mengenal hari ini. Jadi, mulailah awal kita ini dengan kepercayaan bukan kecurigaan apalagi ancaman. Aku tidak bisa menjanjikan segalanya padamu, Mary. Tapi, jika itu membuatmu menerimaku, aku akan berusaha mematuhi batas itu." Terkejut mendengar jawabannya Mary membalikkan badan. Benarkah Aaric bisa meninggalkan kebiasaan mengencani ratusan wanita untuknya? Mary meyakinkan diri dengan menatap Aaric seksama. Mata pria itu lembut memandanginya. Tidak ada keraguan disana. Kenyataan itu membelai lembut hati Mary dan membuatnya terpasung pada tatapan mata indah Aaric Fox. Sesak yang menekan dadanya seketika lindap dihantam pengakuan pemuda itu. Suara riuh angsa-angsa yang masih berebut ikan adalah orkestra yang mengiringi nyanyian jiwa Mary. Angin berhembus. Dingin mulai terasa menusuk hingga ke tulangnya. Beberapa butir salju mengotori rambut dan pundak Aaric. Mary berinisiatif membersihkannya seraya mengulas senyum. Menghindari mata Aaric yang terus menatapnya, Mary melayangkan pandangan pada angsa yang mulai naik ke permukaan, hendak kembali ke kandangnya. Tiba-tiba Aaric mengecup bibir Mary sekilas seraya melepaskan pelukannya. "Ayo kita pulang. Aku tidak mau tertimbun salju di hari pertama hubungan kita," ujar Aaric. Ia melangkah pergi membiarkan gadis itu larut dalam bunga-bunga asmara yang baru saja ia tanam. "Jarang ada salju tebal di London. Kau mengatakan begitu seperti orang asing saja," ujar Mary setengah berteriak. "Aku orang Amerika." Mary berlari kecil mengejarnya. "Oh ya? Tapi kau bermarga Fox." "Ayahku orang Inggris." "Pantas saja Sarah bilang kau sangat ramah," ujar Maru sembari bergayut di lengan pria itu. "Dia bilang begitu?" "Sure, My man." "My man?" Aaric tergelak. "Aku suka panggilan itu, Sayang," lanjutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD