part 4

1575 Words
Lebih dari satu jam Aaric duduk di ruang tamu rumahnya sambil sesekali memeriksa jarum jam yang melingkar mewah di pergelangan tangan. Waktu terasa berjalan begitu lambat malam itu saat Aaric menginginkan sebaliknya. Satu stel jas mewah telah membalut tubuhnya dengan gagah yang akan menghadiri acara istimewa bersama Mary Jenkinson. Entahlah, Aaric menjadi begitu terburu-buru lebih dari biasanya. Rudolf Hill sedang berada di Vatikan menjumpai seorang pendeta, ia sekeluarga penganut kristen yang taat. Assistentnya mengatakan dia akan kembali dini hari nanti sehingga tak bisa menghadiri acara penting Aaric. Rudolf hill juga tak tahu pemuda itu akan membawa Mary malam ini. Biarlah, Aaric ingin sedikit berimprovisasi. Aaric ingin Mary tertarik padanya secara alami. Memangnya gadis mana yang bersedia menjalin hubungan karena bisnis? Jikapun awalnya gadis itu menyukainya begitu ada kata bisnis yang menyertai pasti akan ditolak mentah-mentah atas nama harga diri, pikirnya. Sekali lagi Aaric melihat jam, tepat menunjukkan pukul sembilan malam. Ia pun bergegas menuju mobil di halaman yang telah siap sedari tadi. "Egham, Surrey," katanya pada Jim. Pria itu pun mengirim pesan pada Mary. Ia menerka-nerka reaksi gadis itu saat melihat dirinya berdiri di ambang pintu rumahnya. Pesona seorang gadis muda seperti bunga yang baru mekar. Segar dan menarik. Dari kota London ke Egham dapat ditempuh sekitar empat puluh menit perjalanan. Namun, lagi-lagi waktu terasa enggan berjalan. Guna mengalihkan perhatian Aaric membuka berkas-berkas hotel barunya. Lembar demi lembar menunjukkan prospek yang bagus, membuat dadanya membuncah bangga karena usaha kerasnya memeras otak dan keringat serta lebih sering memarahi pegawai akhirnya membuahkan hasil yang sempurna. Sebuah panggilan masuk dari sang ibu membuat Aaric mengabaikan berkas-berkas itu sesaat. "Hallo, Mom." "Oh, Sweety. I miss you so much. Bagaimana keadaanmu, Sayang?" "Aku baik, Ibu. Bagaimana denganmu?" "Tidak baik jika tanpamu, Sayang." "Aku menyesal untuk itu, Ibu. Maaf aku belum bisa mengunjungimu." "Never mind, Sweetheart. Aku minta luangkanlah waktumu untuk mengunjungiku. Apa kau ingat dengan Bibi Kate, Sayang?" "Ah ya. Sahabat ibu yang pernah memukul suaminya dengan pengering rambut saat kita camping bersama itu." Aaric terkekeh mengingat kekonyolan karib ibunya. "Kau masih ingat itu rupanya. Sayang, putrinya Kate yaitu Anna sudah dewasa. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Ibu berniat mengenalkanmu dengannya." "Ibu, kita bicarakan itu lain kali ya. Aku ada acara penting malam ini. Bye, Mom. I love you." Aaric memutus sambungan seperti biasanya, ibunya pun sudah paham benar kesibukan putranya itu sehingga tidak terlalu menuntut. Padahal Aaric sedang tak berminat dengan topik yang dibahas ibunya. Ia tak ingin membahas lain-lain saat tengah berbahagia menjemput gadis rupawan yang menyita seluruh ketertarikannya di Inggris. Aaric menyapukan pandangan ke luar mobil setelah merasa cukup lama menyusuri jalanan. Tampak dari kejauhan gedung megah berwarna merah bata dengan beberapa tempat diterangi lampu-lampu. Itu Universitas Royal Holloway, universitas dengan jumlah mahasiswa internasional terbesar di Inggris sekaligus menjadi tanda bahwa mereka sudah dekat dengan tujuan. Kota Egham banyak di huni pelajar asing, suasana yang lengang memang kondusif untuk belajar. Selama berkeliling mencari rumah Mary mereka hanya berpapasan dengan sedikit pejalan kaki dan tiga mobil. Aaric hampir tak percaya Mary tinggal di kota sepi itu. Ia pikir hingar bingar London lebih cocok untuk Mary. Orang suruhan Aaric telah mendapatkan alamat Mary dengan jelas sehingga mereka tak perlu lama-lama berkeliling mencari rumah gadis itu. Akhirnya, mobil mereka berhenti di sebuah rumah besar berlantai dua dengan pilar-pilar berdesain Romawi. Lampu-lampu yang menyiramkan cahaya kekuningan di teras menegaskan kesan klasik pada rumah itu. Di depan pintu masuk terdapat taman kecil dengan air mancur di tengahnya. Rerumputan dan bunga Daffodil menambah indah dekorasi taman. Wanita paruh baya dengan tubuh sedikit bungkuk membukakan pintu saat Aaric melangkah di beranda. Seperti sudah tahu kedatangannya wanita itu menyambut dengan senyum ramah. "Saya Aaric Fox, saya ada janji dengan Nona Jenkinson," ucap Aaric memperkenalkan diri sebagai sopan santun meski wajahnya sudah sangat biasa muncul di berbagai media. "My name is Sarah Kelly. Senang bertemu Anda, Mister Fox. Silahkan masuk, aku akan memanggil nona untuk Anda." Suaranya agak sengau dengan aksen yang kasar. Aaric ingat itu adalah aksen Scouse, meski tak terlalu kental. Aksen penduduk asli Liverpool yang paling tidak suka ia dengar. Bagaimana tidak, Aaric punya pengalaman buruk tentang itu. Ibunya penggemar The Beatles. Saat mereka baru pulang dari LA, kampung halaman sang ibu. Wanita kesayangannya itu antusias mengunjungi museum The Beatles di Liverpool dan meminta Aaric menjemputnya di hotel dekat museum. Aaric yang baru pertama kali ke Liverpool tak tahu alamat, ia bertanya sana-sini pada penduduk sekitar. Karena aksen yang aneh itu Aaric sulit memahami ucapan mereka, ia hanya menjawab yes dan no. Scouser mengucapkan I'm fine dengan I'm sound, come on dengan come'ed. Aaric tidak tahan dengan itu. Sarah mempersilahkannya duduk dan menawarkan minuman. Tapi, Aaric menolaknya karena tak ingin berlama-lama. Mengerti maksud Aaric, Sarah berjalan menaiki tangga yang terletak di dekat pintu masuk. Sebuah karpet merah dengan corak bebungaan tergelar di sepanjang anak tangga. Mata pria itu menyapu sekeliling. Rumah dengan ornamen-ornamen antik yang memesona. Panel-panel dindingnya penuh variasi profil dan ukiran klasik. Tak ada foto-foto. Benar-benar sengaja menonjolkan ukiran pada panel-panel dinding itu. Lampu kristal menggantung pada kubah emas tepat di tengah ruangan. Di bawahnya tertata satu set sofa mewah edisi terbatas. Dalam hati Aaric memuji selera tuan rumahnya. Mary kah atau Robert Jenkinson yang mendekorasi rumah ini? bathinnya bertanya-tanya. Akhirnya, pandangan pria itu menangkap lukisan seorang wanita yang terpasang di dinding jauh di seberang ruangan. Agak samar wajah itu tidak asing, menarik perhatian Aaric untuk melangkahkan kaki mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti saat tertimpa bayangan seseorang yang turun dari tangga. Aaric mendongak mengira itu Mary ternyata wanita paruh baya itu yang datang. Ia menghela nafas kecewa. "Nona meminta Anda menunggunya sebentar lagi. Saya akan siapkan coklat hangat untuk Anda," ucap Sarah. Aaric tak dapat menolaknya kali ini. Sebenarnya bukankah wanita itu sudah cukup tua untuk jadi pelayan. Apakah tidak ada pelayan lain di rumah sebesar ini? Negara itu telah menjamin kehidupan layak untuk para lansia. Lalu kenapa Mary masih mempekerjakannya? Aaric terus bertanya-tanya. Mengesankan membayangkan kemandirian gadis itu. Tak berapa lama Sarah kembali dengan nampan berisi mug dan setoples biskuit. Wanita itu meletakkannya berdampingan dengan bunga mawar putih dalam vas klasik di atas meja sembari berujar, "nona kami tidak akan membiarkan tamunya pergi sebelum mencicipi makanan dari rumah ini." Lalu Sarah berbalik hendak pergi. Aaric yang tidak suka kebiasaan mengabaikan orang lain seperti itu langsung meraih lengannya bermaksud menghentikan. "Duduklah disini, Bibi. Aku akan senang jika kau menemaniku," pintanya ramah. Sarah memandang Aaric, tak biasanya diperlakukan seperti itu oleh tamu-tamu majikannya. Ia tersenyum membalas keramahannya kemudian memutuskan duduk di kursi yang lain di dekat Aaric. Aaric mengambil mug dan menyeruput sedikit coklat cair yang tadi dihidangkan Sarah menunjukkan respect. Rasa manis dan hangat langsung menjalari lidahnya. "Bukankah udara sangat dingin, Bibi? Tadi pagi bahkan kabut menyelimuti kota London," ujar Aaric membuka percakapan. "Iya, sangat labil. Kemarin bahkan masih ada di suhu tiga puluh derajat celcius. Jangan memanggilku bibi, panggil Sarah saja, Tuan. Saya lebih nyaman seperti itu." "Ok. Sarah, apakah kalian sudah lama tinggal di kawasan ini?" Aaric tak sanggup menahan rasa ingin tahunya. "Keluarga Jenkinson dulu tinggal di pusat kota London. Namun, Tuan and Nyonya Jenkinson menginginkan ketenangan di usia senja sehingga keluarga ini pindah ke kota ini. Nona Jenkinson juga memiliki keinginan yang sama, ia selalu mengatakan suka menghabiskan siang hari di London dan malam di tempat tenang ini. Sepertinya ia tak ingin kembali ke London." "Saya baru pertama kali ini mengunjungi kediaman Mr. Jenkinson. Semasa hidupnya saya bertemu beliau dua kali dalam acara pelelangan. Saat beliau berpulang saya sedang mengurus bisnis di Turki dan saat Mrs. Jenkinson berpulang saya sedang mengunjungi ibuku di Los Angeles, jadi tidak sempat berkunjung," terang Aaric pada Sarah. Ia melanjutkan, "apa kalian hanya tinggal berdua?" "Bertiga bersama sopir di rumah ini. Mungkin sekarang sedang keluar." "Sarah, dimana Anda belajar aksen Scouse?" "Ha..ha..ha itu aksen pertama yang saya dengar, Tuan. Saya lahir di Liverpool tepatnya Knowsley." "Sudah kuduga. Meski sudah samar tapi masih bisa dikenali." "Itu karena saya sudah lama meninggalkan Liverpool. Setelah menikah saya tinggal bersama suami di Sheffield. Semenjak ia meninggal saya bekerja di London sampai akhirnya bertemu keluarga ini." Aaric mengangguk paham dan kembali meneguk coklat yang tinggal setengah mug. "Sebenarnya saya sudah cukup tua untuk bekerja, tapi saya tidak enak meninggalkan nona. Bahkan saat saya ingin mengunjungi saudara saya di Liverpool nona meminta Tommy supirnya untuk mengantar dan menjemputku. Dia bilang membutuhkan saya untuk menemaninya tanpa harus bekerja. Siapa yang bisa menolak ketulusannya itu? Meski aku tak memiliki anak, tapi perhatiannya seperti anakku sendiri." "Sepertinya Mary sangat menyayangimu." "Kurasa dia menyayangi siapa saja yang ia temui. Wilayah ini banyak dihuni mahasiswa asing dari seluruh dunia. Nona tidak segan-segan mengunjungi rumah mereka bahkan membantu memotong rumput halaman mereka. Untuk seorang konglomerat bukankah itu sedikit berlebihan? Dia hanya mengatakan suka berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki warna mata, kulit, rambut, aksen dan makanan yang berbeda darinya. Menurutnya itu membuat hidupnya berwarna." Aaric hendak menimpali ucapan Sarah saat seorang wanita dengan langkah anggun menuruni tangga. Seketika Aaric terpesona. Wanita itu tampak istimewa dalam balutan gaun malam biru tua. Bulu matanya begitu lentik. Leher jenjangnya menjadi godaan yang nyata. Rambut ikalnya yang berkilau pun digelung sedemikian rupa. Anggun, itu kata pertama yang terlintas begitu melihatnya. Kecantikannya menyilaukan dan menghangatkan malam yang dingin itu. Aaric bangkit mendekatinya, mengabaikan pelayan itu. Tak dapat berkata, ia mengulurkan tangan menyambutnya, wanita itu tampak ragu. Namun, akhirnya meraih tangannya juga. Dididik oleh keluarga Jenkinson bercitra aristokrat membuatnya mewarisi keanggunan dan sopan santun seorang putri. Dialah Mary Jenkinson wanita yang menjerat pria itu dalam lika liku kehidupan yang pelik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD