Mary menyibak gorden tebal yang menjuntai ke lantai menutupi pintu kaca, memandangi jas Aaric yang sengaja ia gantung di antara pilar-pilar balkon kamar. d**a Mary serasa melambung tinggi, melayang-layang mendapati benda milik penguasa rimba itu bermalam di sana.
"Aku menerima hukuman manis atas kesalahan yang kau lakukan. Kau yang menabrakku sehingga minuman itu tumpah di jasmu. Aaric, bahkan aku membersihkannya dengan tanganku sendiri. Aku tak ingin orang lain menyentuhnya, menyentuhmu," gumamnya pada diri sendiri. Melepaskan rasa yang telah lama tersimpan.
Tatapan Aaric yang tajam, tubuhnya yang kokoh seperti singa yang melumpuhkan sebelum menerkam. Teringat aroma tubuh Aaric yang menempel di jas itu sebelum Mary bersihkan tadi, membuatnya kedinginan di malam yang panas itu. Seberapa besar dosa yang kutanggung jika menjadikan bayangannya fantasi liarku, Tuhan? Pikirnya.
"Ooh Antony, I like that, Baby ...."
Suara Ellena dari dalam kamarnya terdengar nyaring oleh Mary saat gadis itu berjalan menuruni tangga menuju dapur, bermaksud membuat segelas jus alpukat untuk menyegarkan tubuh. Oleh sebab Mary lahir dari hubungan tidak sah, kakeknya Robert Jenkinson menyematkan nama gadis itu sebagai anak keduanya dalam catatan sipil negara. Pencatatan yang membuat Mary secara otomatis mewarisi setengah dari harta mendiang sang kakek. Robert Jenkinson membalik nama rumah itu dan setengah hartanya atas nama gadis itu satu tahun sebelum meninggal karena telah kehilangan kepercayaan pada putri kandung satu-satunya, Ellena. Itu sebuah usaha untuk menyelamatkan Mary dari keserakahan Ellena. Masih belum cukup, Robert Jenkinson berwasiat bahwa sisa hartanya harus dibagi rata antara dua anaknya sebagaimana hukum yang berlaku di negara itu.
"Jika perlu sesuatu panggil saja aku, Nona," ujar Sarah yang sedang mencuci piring bekas makan malam ketika Mary sampai di dapur.
"Aku ingin jus. Istirahatlah sana, panggil Cleaning Service Online saja untuk mencuci itu," ujar gadis itu sembari mengambil sebuah alpukat dari lemari pendingin.
"Tidak apa-apa. Ini pekerjaanku dan aku menjalaninya dengan bahagia. Aku akan merindukan ini saat kembali ke Sheffield nanti."
"Hei, kau tidak akan kembali ke sana. Kau akan tetap di sini bersamaku. Kau tidak punya siapa-siapa di sana dan aku sama sepertimu. Jangan berpikir kembali ke Sheffield. Lagipula, maafkan aku mengatakan ini, pasti banyak kenangan di rumah lamamu yang tidak bisa kau lupakan. Biarkan itu terkubur jangan membongkarnya lagi."
"Nona, aku sudah terlalu lama lari. Aku ingin berdamai dengan semua itu," ujar Sarah menatap setumpuk piring di depannya. Tangan keriputnya mulai mengelap piring itu satu per satu.
"Seandainya hari itu aku mencegahnya pergi, saat ini pastilah kami tengah duduk di teras rumah dan minum teh menunggu anak-anak yang kami sayangi berkunjung. Tapi, semua itu tak akan terjadi. Tidak akan pernah!
"Hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Meski begitu aku cukup bersyukur karena pemerintah melakukan upacara setiap tahun untuk mengenang suamiku hingga banyak orang yang mengingatnya," ratap Sarah berkubang di masa lalu mengenang suaminya yang menjadi salah satu korban dari tewasnya 96 fans Liverpool pada pertandingan semifinal piala FA, 15 April 1989 di stadion Hillsborough.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, Sarah. Semua itu bukanlah pilihan." Mary menatap wajah wanita tua yang masih fokus pada piring-piringnya.
"Jika itu pilihan, aku akan memilih lahir di keluarga yang utuh. Dipeluk ayah dan ibuku waktu kecil. Dari siapakah kuwarisi rambut ikal? Dari siapakah kuwarisi keras kepalaku, ayah atau ibuku? Ada beberapa hal yang tidak bisa kita pilih."
"Kau benar, Nona. Sebagian dari hidup ini memang bukan pilihan," ujarnya akhirnya, menghela nafas panjang, melepas beban yang menekan dadanya. Mary menepuk bahu wanita itu membesarkan hatinya. Wanita yang sudah menganggapnya seperti keluarga padahal Sarah masih memiliki dua saudara kandung di kota Liverpool. Dengan segelas jus di tangan Mary berlalu, mengalihkan perhatian dari Sarah. Saat berbalik tiba-tiba ia membentur pintu dapur. Seketika jus alpukat tumpah ruah mengotori lantai. Namun, untunglah gelasnya tidak pecah.
"Aduh," pekik Mary merasakan kebas di tangannya.
Sarah yang melihat kejadian itu tergopoh mendekati Mary sambil mengusap-usap tangan basahnya pada clemek yang ia kenakan. Mulut tuanya pun langsung beraksi.
"Aku sudah bilang kau harus hati-hati, Nak. Luka di tumitmu bahkan belum sembuh," tuturnya penuh perhatian sambil membersihkan tangan Mary.
"Aku sudah hati-hati, Sarah."
"Kau mau bilang pintunya pindah sendiri, begitu?" terka Sarah yang paham betul tabiat nona mudanya.
"Ayo kuantar. Jusnya nanti kubuatkan lagi." Ia tak membiarkan Mary kembali sendirian ke dalam kamar.
"Mungkin aku kena anemia.
Akhir-akhir ini sering jatuh."
"Aku selalu memasak daging untukmu tapi kau selalu tidak memakannya. Keras kepala tidak baik dipelihara."
"Iya, nanti aku makan, Sarah."
"Ah, mana mungkin ...."
***
Mary berjalan menapaki lantai parket di dalam gedung berpelengkung runcing yang menjadi pusat administrasi di kampus itu. Hiasan kaca berwarna-warni membentuk mozaik digenangi cahaya di sana-sini. Ia menghela nafas mengumpulkan kepercayaan diri memenuhi panggilan menggetarkan dari Aaric Fox. Sebenar-benarnya orang dari kasta rendah pasti lebih benar petinggi, seperti itu karakter Aaric menurut si Alice temannya. Mary adalah mahasiswi itu berarti kasta rendah. Kemarin Mary melupakan rumor yang mungkin saja benar sehingga dengan begitu polosnya membela diri di hadapan Aaric. Kebiasaan dari kecil yang selalu diajari untuk mempertahankan diri apapun yang terjadi.
Sekilas gadis itu melayangkan pandangan pada kuncup-kuncup bakung yang mulai bermekaran di bawah pohon Plum lalu membuka pintu yang berukir indah menyerupai hiasan renda setelah mengetuknya lebih dulu. Ashley tengah menatap layar laptop pada sebuah meja yang terletak di sebelah kiri pintu masuk ketika Mary berjalan mendekatinya. Mary mengatakan bahwa Aaric Fox memanggilnya hari ini seraya menyerahkan jas Aaric pada wanita itu. Ashley menekan intercom untuk terhubung dengan Aaric.
"Mr. Fox sedang menerima tamu saat ini, Nona. Anda dimohon menunggunya," ucapnya sopan sembari mengulurkan tangan menunjukkan tempat duduk pada Mary.
Kursi tunggu dengan bunga lavender di dalam pot mungil di atas meja kaca membuat Mary bertanya-tanya. Bunga dalam habitat singa bukan hal yang biasa. Lalu Mary mulai meragukan gosip yang beredar tentang kegarangan pria itu. Apa karena ia menanam lavender? Mary tahu jawabannya karena pria itu memiliki tatapan yang lebih memabukkan dari champagne.
Telah lima belas menit Mary menunggu dengan sabar saat seorang wanita berwajah Chinese keluar dari ruangan Aaric. Wanita itu berjalan melenggak-lenggok mengabaikan dirinya dan Ashley. Rambut panjangnya tergerai sepanjang pinggang. Mary lemas melihat betapa padatnya tubuh wanita yang berjalan angkuh itu. Perasaan muak melandanya seketika.
"Apa dia yang ke sembilan puluh sembilan?" gumamnya lirih.
Ashley tersenyum dan membuka pintu dengan lebar. Aaric tengah mengancingkan kemejanya ketika Mary memasuki ruangan. Gadis itu memberi salam lalu tersenyum. Aaric intens menatapnya. Tatapan mata biru yang membuat gentar. Ia melangkah mengitari meja, menarik kursi di depan Mary.
"Duduklah, Mary," ujarnya lembut.
Mendengarnya Mary terkejut. Itu pertama kali seorang pria asing memanggil namanya langsung. Tidakkah dia tahu aku bangsawan terhormat dengan segudang euro? Bahkan aku bisa membeli yayasannya sekarang juga, pikirnya. Bagi Mary, Aaric telah melanggar batas kesopanan dengan memanggilnya begitu. Membuatnya merasa jengah karena dianggap harga diri dan kehormatannya disamakan dengan wanita yang membuat peluh membasahi ujung rambut Aaric dan menyisakan aroma percintaan yang masih mengambang samar di ruangan itu. Mood baik Mary langsung terjun ke skala terendah.
"Thank you, Mr. Fox," ujarnya berusaha tenang seraya duduk di kursi itu.
"You are welcome, Mary. Aku menunggumu sejak tadi." Bukannya kembali ke kursinya, Aaric malah duduk di meja, sangat dekat dengan Mary hingga gadis itu memundurkan kursinya membuat jarak.
Sekali lagi Aaric mengulangi panggilan tidak sopan yang memberinya kesan seperti pria urakan. Anehnya, kekurang ajaran pria itu malah memiliki efek pada Mary, membuatnya semakin luluh. Mungkin karena Aaric telah menyingkap batas lebih jauh. Menghapus keasingan di antara mereka. Gemuruh suaranya pun menggetarkan hati gadis itu.
"Makan malam bersamaku besok malam. Itu hukumanmu, Mary." Aaric mencondongkan tubuhnya ke arah Mary. Mata birunya bergerak lincah menyusuri wajah gadis itu, mengunci tepat di sana. Bayangan kepuasan yang gagal dipahami Mary berkilat di mata Aaric.
"Bersiaplah, aku akan menjemputmu." Seringai singa terbayang di mata itu memaksa Mary mengangguk pelan.
Kecipak air kolam oleh gerakan ikan-ikan menjadi tanda masih adanya kehidupan lain di taman ini selain Mary yang tengah berdebar-debar karena efek tatapan tadi. Mahasiswa yang lain pasti tengah tenggelam dalam dunianya masing-masing, bergelut dengan formula dan teori-teori. Mary bertanya-tanya makan malam seperti apa yang Aaric sebut hukuman itu. Mungkinkah ia santapan selanjutnya? Sebuah keadaan yang sulit ditolak oleh gadis manapun. Begitu juga halnya Mary seandainya ia hidup di bumi antah berantah tanpa aturan moral sama sekali.
"Mary," teriak seseorang dari kejauhan membuat Mary memutar pandangan mencari asal suara. Alice berlari dari arah kantin. Rambut panjang gadis itu berkibar di terpa angin musim dingin hingga menutupi sebagian wajah manisnya.
"Kau ada disini rupanya. Aku mencarimu ke mana-mana." ujar Alice terengah. Membenarkan letak kacamata besarnya.
"Apa kau ada kelas, Alice? Mau tidak cari angin segar?" Sebuah pertanyaan yang selalu mendapat jawaban khas dari Alice. Senyum dan geleng-geleng kepala, itu artinya 'ya'. Keluar dari kampus adalah hal yang sangat disukainya.
Mary mengatakan kawannya itu bahwa seseorang mengajaknya makan malam. Alice dengan antusias memilihkan gaun malam tanpa lengan di butik langganan mereka. Alice memiliki selera yang bagus dan mendetail, soal style dia teman berunding yang baik.
"Siapa orang itu, Mary? Apa aku mengenalnya? Apa teman kuliah?" tanyanya disela suara derap kaki mereka meninggalkan butik itu.
Sudah menjadi rutinitas bagi dua serangkai itu menghabiskan waktu di cafe menunggu matahari terbenam begitu kuliah selesai. Alice memiliki keahlian unik, yaitu mengumpulkan rumor. Bahkan jika ada jarum jatuh di kutub utara, Mary yakin Alice akan tahu berapa senti panjangnya. Gadis itu juga memiliki story telling yang baik, membuat Mary selalu bersemangat mendengar cerita-ceritanya.
"Di negaraku, Mary. Ada ibu-ibu dengan pekerjaan unik. Mereka tidak dibayar rupee atau dollar, tapi anting-anting yang besar atau kalung yang membuat mereka sampai harus membungkuk saking beratnya. Kau mau tahu pekerjaan apa itu, Mary?" Alice condongkan tubuhnya, bola matanya membesar, menatap Mary dengan tajam mengharap persetujuan. Selalu seperti itu, Makhluk ekstrovert yang membuat ramai dunia kecil Mary.
"Sure, Alice. Aku sangat ingin tahu," jawab Mary seraya membalas email dari dr. Carlotte, psikolog kenamaan sahabat kakeknya yang Mary harap akan menjadi pembimbingnya menulis tesis begitu lulus nanti.
"Pekerjaan itu adalah," Alice sengaja membuat jeda pada pernyataannya, "mak comblang," jarinya mengacung bersemangat diiringi tawa mengikik.
"Kami saling menyapa seperti ini," Alice menyatukan kedua tangannya lalu tersenyum, "salam paman, salam bibi.
"Keluarga besar kami tinggal dalam satu rumah. Paman, bibi, kakek, nenek, sepupu. Itu belum tetanggaku yang suka berkunjung. Setiap ruangan selalu dipenuhi orang-orang. Sangat jauh berbeda dengan UK. Semua orang berjalan cepat-cepat mengabaikan sekitar. Setidaknya kau sedikit lebih hangat dari mereka, meski kau sama saja tinggal seorang diri di negara yang membuatku selalu kedinginan ini, Mary."
"Aku tinggal bersama Tommy dan Sarah, jangan lupa itu. Suatu saat aku akan main ke negaramu, Nona Patel," ujar Mary melepas senyum pada gadis berdarah Wales-India yang baru dua tahun di London.
Pukul delapan malam Mary tiba di tempat tinggalnya yang berada di kota Egham. Kota sunyi yang lumayan jauh dari London. Koper berwarna navy di kaki tangga adalah obyek pertama yang ia lihat begitu memasuki rumah. Ellena berdiri di samping koper itu dengan blazer hitam dan rok span potongan selutut berwarna senada. Tas mewah limited edition, hanya ada dua puluh di dunia ia tenteng penuh percaya diri.
"Aku akan ke New York dan kembali dalam beberapa bulan ke depan," ujar Ellena sembari mengecup kening gadis itu.
"Take care of yourself, Mom."
"Kau juga, Sayang."
Cristhoper, sopir pribadi Ellena membawa koper itu keluar, mungkin akan dimasukkan ke bagasi. Ellena mengikuti di belakangnya seraya melambaikan tangan pada Sarah yang tengah mengganti bunga dalam vas keramik klasik hadiah dari mendiang Robert Jenkinson untuk cucu emasnya.
Mary menaiki tangga dengan cepat untuk segera merebahkan badan. Kepergian Ellena membuatnya bernafas lega dan menormalkan kembali detak jantungnya yang selalu tak beraturan setiap kali berdekatan dengan wanita itu. Tiba-tiba Langkahnya terhenti saat mendengar sang ibu memanggilnya. Ellena mematung di depan pintu menatapnya.
"Kuharap kau sudah mengubah keputusanmu saat aku kembali," ujarnya penuh harap. Ellena menatap Mary iba. Pancaran mata yang selalu gagal Mary analisa.
"Itu tidak mungkin, Ibu. Jangan memaksakan diri. Ayo kita berdamai saja, Ibu."
"Kau meminta sesuatu yang tidak bisa kuberikan, Anakku."
"Aku tak pernah meminta apapun sebelumnya."
"Hentikan, Mary!" Ellena melangkah cepat mendekati gadis itu. Lalu, "Antony membantu mengembangkan bisnisku di Prancis. Aku harus menjadi istrinya secara sah untuk memiliki semua itu seutuhnya, Mary. Aku memimpikan bidang ini sejak masih ingusan dan sekarang selangkah lagi aku mendapatkannya."
"Jangan kau menyiksaku dengan keluhanmu, Mom. Ini perkara yang sangat sederhana, beri tahu siapa ayahku dan menikahlah dengan Antony. Bisnismu aman dan setengah sisa harta kakek akan kuserahkan seluruhnya padamu. Ayolah, Ibu." Sebuah perjanjian yang selalu Mary tawarkan, tapi selalu Ellena tolak.
"Tidakkah cukup aku saja yang menjadi ibu juga ayah bagimu?" lirih Ellena. Mata coklatnya menggelap. Amarah tergambar jelas disana.
"Apa kau semacam makhluk hermafrodit yang bisa berubah jenis pada waktu tertentu, Ibu? jika aku menerimamu sebagai ayah sekaligus ibu, itu sama dengan aku membohongi diri sendiri."
"Aku mengandungmu sembilan bulan penuh penderitaan dan ini balasanmu? Seolah kau berhak mengatur hidupku! Aku tidak akan meminta persetujuanmu lagi. Aku akan tetap menikah dengan Antony," teriak Ellena geram.
"Kalau begitu aku tidak akan membagi apapun denganmu. Bukankah bisnismu itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan warisanmu? Bisnis dan warisanmu menyatu. Lihatlah betapa jayanya hidupmu dengan itu. Itu yang selalu kau impikan, Ibu. Tidakkah kau melihatku, Ibu? Siapa aku bagimu, Ibu? Bahkan kau menunggu balasan karena telah melahirkanku."
Mary nanar menatapnya. Sebilah belati terasa mengoyak dadanya. Merobek jiwanya. Sontak Ellena mengayunkan tangan yang dengan sigap ditangkap Mary sebelum sekali lagi mendarat kasar di wajahnya.
"Aku akan menuntutmu jika melakukannya sekali lagi," ucap Mary melindungi diri.
"Ayahku sukses menjadikanmu duplikatnya!" teriak Ellena nyaring memenuhi seisi ruangan.
"Seharusnya kuikuti ibuku, menggugurkanmu!" Wajah Ellena merah padam. Amarahnya mencapai puncak. Ia menarik tangannya kasar, dengan langkah cepat keluar dari ruangan ini.
Keheningan menyeruak seolah turut berduka atas apa yang baru saja terjadi. Mary terduduk lemas di kaki tangga. Membenamkan wajahnya dalam telapak tangan. Rasanya pedih tak tertangguhkan. Gadis malang itu tergugu sampai sebuah tangan halus menyentuh pundaknya.
"Nona, bangunlah. Bersihkan dirimu. Aku sudah menyiapkan makan malam," kata Sarah menghiburnya. Entah sejak kapan ia duduk di samping gadis itu. Tatapan matanya menunjukkan belas kasih yang mendalam. Mary langsung menjatuhkan diri dalam pelukan wanita yang telah mengasuhnya selama delapan belas tahun. Selalu memberi tempat untuk Mary membagi segalanya.
"Nenekku bahkan tidak menginginkanku, Sarah. Siapa ayahku? Apakah perampok? Penjahat? Atau ... gig ... gigolo?" Mary tak dapat menahannya. Tangisku pecah membayangkan kemungkinan menjijikkan itu.
"Seberapa memalukan ia untuk disebut, Sarah?"
"Tenanglah, Nona. Itu tidak benar. Nenekmu sangat mencintaimu sejak kecil," ujarnya sembari membelai punggung Mary.
Pertemuan Mary dengan perempuan yang ia panggil ibu selalu berakhir dramatis. Seandainya Ellena sedikit saja membuka diri. Maka, gadis itu pasti sudah menemukan ayahnya. Pria yang telah mewariskan genetik pada dirinya.
***