Lila kembali menahan tangis untuk kali ke-3 Arshangga memaksakan sesuatu menerobos pada dirinya, masih dalam situasi yang sama deru nafas laki-laki itu menjelaskan ia sedang kesal.
Demi Tuhan sakit bukan main, Lila meringis meremasi bantal yang Arshangga beri untuk menutupi wajah Lila.
Bisa Lila rasakan tangan Arshangga yang mecengkram tangannya, sangat kuat memaksa benda yang terasa besar menerobos masuk sangat susah payah.
“Argh sial!” Arshangga hanya membuat pinggangnya sakit sebab menahan tubuhnya sendiri untuk memaksa memasuki.
Gadis ini teramat belia, bisa Arshangga lihat titik dirinya saja begitu mulus tampak tak terjamah hanya sedikit rambut halus yang menutupi, lalu tangannya di atas bantal Arshangga lihat menggeram di sana, ia tampak takut padahal Arshangga sudah kembali bangkit.
Lelaki itu kemudian duduk melantai dibawah ranjangnya, kepalanya menunduk dan ia pijati frustasi.
Lila di atas sana terheran-heran tidak lagi ada pergerakan, tidak lagi terasa lelaki itu dia atas ranjang.
Lila pun membuka bantal yang menutupi wajahnya itu dan mencari dimana laki-laki itu berada.
Dia tidak di tempat tidur namun terlihat dibawah sana. Lila tidak mendapatkan perintah menyudahi apakah dia akan di marahi jika membenahi celananya.
Di dalam perjanjian tertulis jelas, Lila harus menurut dan menjalankan perintah dari Arshangga dan Samara.
Lila tidak menaikan celananya namun menarik selimut menutupi sebagian tubuhnya yang terekspos itu.
Arshangga bermonolog pada dirinya sendiri, kenapa Samara harus memaksanya menyentuh wanita lain.
Apakah cintanya sudah luntur. Tidakkah dia sakit membayangkan suaminya menggauli gadis lain, padahal dia sendiri tidak peduli dengan keturunan, apa salahnya jika mereka mengambil anak dari panti tidak harus darah daging dari Arshangga sendiri.
Waktu terus merangkak maju suasana kamar begitu hening, suara dengkuran halus Lila yang terpejam mulai terdengar, Arshangga tidak lama pun bangkit ia masih memakai handuk yang membalut pinggangnya, Arshangga lihat Lila masih memeluk bantal yang ia tutupi wajahnya tadi.
Lelaki itu pun naik ke ranjang, sudah merasa ngantuk namun di larang kembali ke kamar oleh Samara, tidak ada tempat tidur lain atau sofa panjang Arshangga pun tidur di ranjang yang sama dengan lila, menyingkirkan bantal yang menutupi wajah Lila lalu memunggungi gadis itu untuk segera tidur.
*
Pagi hari yang cerah di kediaman keluarga besar itu, semuanya sedang menyantapi sarapan di meja besar itu, kedua orang tua Arshangga, Samara, hingga Mauren adik dari Arshangga ada disana. Arshangga tampak telat bangun, belum terlihat lelaki itu disana.
Para pembantu tampak menghidangi makanan silih berganti, tidak terkecuali Lila ia membawa nampan berisi salad milik Arshangga dan Samara.
Langkahnya begitu pelan ia merasakan sakit saat berjalan, jelas saja perlakuan kasar Arshangga yang menekan paha hingga berulang kali berusaha memasuki membuat disana memberi bekas lecet dan kemerahan.
Lila yang terlalu polos berjalan pelan sekali dengan santainya, ia membuat ibu dan nenek Arshangga melihat kepadanya, fikiran yang tidak-tidak langsung menjalari keduanya dimana Arshangga juga telat bangun.
“Lila, kenapa kamu ikut membantu di dapur. Duduklah dan santap segera sarapanmu. Yeni mana sarapan buat Lila yang sudah saya perintahkan semalam, jangan kurang sedikit pun.” Perintah Wilma ibu dari Arshangga.
“Iya Bu ini sudah siap.” Sahut seorang pembantu.
Lila yang sedang meletakkan makan bingung, ibunya yang memerintah dia agar membantu di dapur.
“Iya saya sarapan sama ibu nanti di belakang.”
“Lila duduk!”
Gadis itu menjadi bingung di sangat tidak nyaman disana, yang mana ada Samara di kursi rodanya, lalu anggota keluarga lain, siapa dia harus duduk disana.
“Duduklah Lila.” Perintah Samara dengan lembut kemudian.
Lila tidak lagi bisa membantah dia pun menarik kursi dengan perlahan lalu duduk disebelah ibu dari Arshangga tersebut.
Beberapa menit kemudian makannya datang, nenek dari Arshangga juga menyodorkan Lila potongan buah, “Habiskan ini Lila, buah-buahan ini bagus untuk kamu, jangan lupa Wilma, minuman rempah yang sudah aku racik berikan pada Arshangga.”
Tiba-tiba Arshangga muncul di ruangan makan itu, “Pagi semua, pagi sayang!” Sapa Arshangga pada semua orang disana juga istrinya lalu ia merendahkan tubuh mengecup rambut Samara.
“Ehem tumben telat bangun?” Sindir sang nenek,”Ingat jangan terlena dan lupa tujuan awal.”
“Oma!” Tegur Wilma sang ibu.
Nenek kembali tersenyum dan Lila semakin di buat canggung disana, Arshangga tidak ingin merespon ucapan neneknya memilih berbincang dengan istrinya itu.
“Kau ingin kemana sore nanti?”
Nenek di sisi lain menyapa Lila dan berbisik, “Sakit? Nanti kalau mandi berendam di air hangat, tetesi essential oil, pasti akan cepat reda dan nyaman.”
Lila sedikit terperangah namun ia mencoba mengangguk saja seraya tersenyum.
“Lila nanti sore ikut saya dan mas Arsh belanja pakaian ya.” Ucap Samara.
Arshangga hanya bisa menarik nafasnya bingung harus bersikap apa, padahal ia ingin berduaan bersama istrinya kenapa Samara harus mengajak Lila.
*
Seperginya Arshangga ke kantor, Lila di kamarnya di datangi Samara, wanita dengan kursi rodanya itu menghampiri Lila di kamarnya, ketukan pintu mengudara kuat Lila segera membuka pintu.
“Mba Samara?” Terkesiap Lila.
“Sudah? Mas Ars sudah melakukan kewajibannya?”
Arshangga sebelumnya sudah mengancam Lila lewat pesan siapapun yang bertanya jawab saja sudah melakukannya, tutup mulut kamu dari hal-hal tentang saya dan apapun yang terjadi.
Dengan ragu Lila menganggukkan kepalanya, Samara sedikit sedih namun ia juga tersenyum, Arshangga dan dia melakukan hubungan itu namun penuh keterbatasan dan mungkin Arshangga tidak mendapatkan yang namanya kepuasan itu. Tetap saja Arshangga selalu mencintainya.
“Jangan terlena Lila, kamu sempurna bisa dapatkan yang lebih baik dari Mas Arshangga, saya wanita lumpuh siapa yang mau dengan saya selain suami saya.”
Loh, kenapa jadi berfikir kesana?
Lila tersenyum,”Tugas saya hanya mengandung anak mas Arshangga bukan melayaninya, maaf jika saya lancang mba Samara, jadi tidak perlu takuti hal itu.”
“Hemm bagus jika mengerti, tanamkan itu di diri dan kepala kamu.”